Kamis, 05 September 2013

RASULULLAH MENANGIS KETIKA MENERIMA WAHYU TENTANG LANGIT & BUMI



RASULULLAH MENANGIS KETIKA MENERIMA WAHYU TENTANG LANGIT & BUMI

Oleh : pak Agus Balung

Ratusan kali Allah memotivasi umat Islam untuk memahami alam semesta. Ada perintah untuk mempelajari langit, memahami bumi, meneliti tumbuh-tumbuhan, mengobservasi hewan, mencermati atmosfer, sungai, gunung-gunung, lautan, bebatuan, dan sebagainya. Termasuk mempelajari tentang betapa mengagumkannya diri kita sendiri sebagai makhluk kompleks yang diciptakan-Nya dalam derajat tertinggi dibandingkan makhluk lainnya.

Umat Islam didorong untuk menjadi ulul albab.  Yakni, seorang pembelajar sejati yang selalu melakukan eksplorasi terhadap kebesaran Allah di alam semesta lewat segala ciptaan-Nya. Namun tidak berhenti disitu, Allah mendorong dan menghargai lebih tinggi orang-orang yang disebut sebagai ulama. Yakni, para ilmuwan yang menguasai ilmu-ilmu Allah dalam kualifikasi yang lebih mendalam.

Ulama dalam istilah Al Qur’an, bukan hanya orang-orang yang pandai bahasa Arab dan hafal Al Qur’an – sebagaimana kesan di kebanyakan kalangan di Indonesia – melainkan orang-orang yang memahami dan mendalami ayat-ayat Allah, secara qauliyah maupun kauniyah. Secara tekstual sebagaimana termaktub di dalam kitab suci maupun yang kontekstual terhampar di alam semesta. Bahkan, jika dicermati lebih jauh, bobotnya lebih kepada mereka yang menguasai dan mendalami ayat-ayat kauniyah yang dihamparkan Allah di alam semesta. Teori dan motivasinya mengambil dari ayat-ayat qauliyah, sedangkan prakteknya langsung menceburi ayat-ayat kauniyah.

Perhatikanlah ayat berikut ini, bagaimana Allah memberikan definisi secara tersirat tentang kualitas seorang ulama. Yang di akhir ayat, disebut sebagai orang yang takut kepada Allah. Hanya para ulama yang benar-benar takut kepada-Nya.

QS. Faathiir : 27-28,  : ‘’Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ULAMA. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.’’

Ya, kalimat innamaa yakhsyallaaha min ‘ibaadihil ‘ulamaa itu menunjuk kepada dua penegasan, yang menyatakan kesungguhan sekaligus kekhususan. Bahwa statement Allah benar-benar terjadi pada para ulama. Dan yang kedua, yang benar-benar punya rasa takut itu HANYALAH para ulama. Yang selainnya tidak terlalu takut. Atau, malah tidak punya rasa takut kepada Allah.

Kenapa para ulama takut kepada Allah? Karena mereka memiliki ilmu yang tinggi dan mendalam, sehingga mengetahui dengan detil betapa dahsyat sebenarnya ciptaan Allah yang dihamparkan di alam semesta ini. Apalagi Sang Penciptanya, subhanallaah.
Tentu, ini berbeda dengan orang-orang yang tidak punya ilmu. Mereka tidak memiliki rasa takut, dikarenakan tidak tahu apa-apa. Mirip anak kecil yang tidak tahu betapa panasnya api, betapa berbahayanya jalan raya, dan betapa menakutkannya gelombang samudera.

Para ulama adalah mereka yang telah memahami betapa hebat dan mengagumkannya ciptaan Allah yang bernama Alam semesta, sekaligus mengetahui kedahsyatan potensi yang tersimpan di dalamnya. Yang sebagiannya disiratkan dalam firman di atas.
Perhatikanlah, sebelum memberikan apresiasi kepada para ulama, Allah membangunkan kesadaran kita terlebih dahulu tentang berbagai fenomena alam, seperti mekanisme hujan yang menghidupkan bumi dengan beragam tetumbuhan dan buah-buahan.
Tentang gunung-gunung yang menghiasi keindahan alam sekaligus menjadi sumber dari segala macam mineral. Tentang berbagai macam binatang, beserta beragamnya suku dan bangsa manusia, dan seterusnya. Lantas, barulah Allah menegaskan bahwa hanya para ulama – yang sudah paham semua itu dengan mendalam – yang bakal memiliki rasa takut kepada Allah, Sang Pencipta dan Sang Penguasa alam semesta.

Sebuah ketakutan yang bercampur dengan kekaguman tiada tara. Antara kengerian dan ketakjuban. Antara ancaman dan keterpesonaan.
Antara ketakberdayaan dan kerinduan dari seorang hamba kepada Tuhannya, Zat Yang Maha Sempurna.
Sebuah suasana jiwa yang khas pada diri seorang ulama, yang memendam kekaguman tiada bandingnya terhadap Allah yang Maha Segala-galanya.

Itulah sebabnya, Rasulullah menangis semalaman saat menerima wahyu QS. Ali Imran: 190-191. Dimana isinya adalah tentang ayat-ayat kauniyah yang dihamparkan Allah di alam semesta. Yang demikian ini, bukan hanya bisa terjadi pada Rasulullah. Melainkan juga bisa terjadi pada siapa saja yang terus berproses sebagai seorang ulul albab dalam mempelajari ayat-ayat-Nya. Khususnya bagi para ulul albab yang telah berproses menjadi seorang ulama. Meskipun, berbeda-beda kedalamannya pada setiap orang.

QS. Al Israa’ : 107-108. ‘’... Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil MENANGIS dan mereka bertambah khusyu'.’’

Siapa saja yang sudah diberi pengetahuan oleh Allah, ketika membaca ayat-ayat Al Qur’an akan bergetar hatinya. Karena, dia tidak hanya menguasai teorinya, melainkan sudah memahami betul apa yang terkandung di dalamnya secara nyata.
Persis seperti Rasulullah yang menangis hebat ketika menerima wahyu tentang langit dan bumi tersebut, sementara beliau sudah mengalami perjalanan Isra’ Mi’raj secara nyata. Maka, beliau pun tak mampu menahan gejolak jiwanya yang pernah merasakan kekaguman tiada tara saat terpesona di Sidratul Muntaha.
 Beliaupun menangis semalaman sebagai seorang ulul albab, dengan kedalaman makna seorang ulama..!

Wallahu a’lam bissawab. 

Tidak ada komentar: