Rabu, 25 September 2013

BERDZIKIR ATAU BERDOA, SIH....?



BERDZIKIR ATAU BERDOA, SIH  ?

Oleh  :  pak Agus Balung

Suatu ketika dalam sebuah guyonan di pos jaga dipojok perempatan jalan, seorang teman bertanya : ‘’Apakah di dalam Al Qur’an ada perintah untuk berdoa sebanyak-banyaknya?’’  Teman yang satunya menjawab  : ‘’tidak ada,  yang ada ialah perintah untuk berdzikir sebanyak-banyaknya.’’    Rupanya, teman tadi  sedang galau tentang banyaknya orang yang sangat suka berdoa, tetapi kurang berusaha. Sehingga, terasa kurang menghargai karunia Allah yang    telah diberikan kepada kita untuk bekerja keras dalam menggapai tujuan.

 Sebenarnya memang ada sih, perintah Allah agar kita berdoa, tetapi tidak sebanyak perintah Allah agar kita banyak banyak berdzikir.

Kita  memang tidak menemukan perintah untuk berdoa sebanyak-banyaknya. Bahkan para nabi dan rasul beserta para pengikutnya yang sedang berjuang menegakkan agama Allah pun ketika sedang menghadapi masalah tidak diperintahkan untuk berdoa, melainkan disuruh banyak-banyak berdzikir.‘’Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan berdzikirlah menyebut (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu memperoleh kemenangan.’’ (QS. Al Anfaal : 45)

Dan perintah itu diulang-ulang di dalam berbagai ayat untuk kepentingan yang lebih umum. Bahwa, dalam kondisi apa pun Allah memerintahkan kepada kita untuk memperbanyak dzikir. ‘’Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.’’ (QS. Al Ahzab: 41)

Kenapakah kita disuruh banyak berdzikir dibandingkan minta tolong ?   Agaknya kita sudah bisa menebak alasan yang ada di baliknya.
Bahwa, orang yang terlalu sering meminta tolong justru akan memperlemah daya juangnya sendiri. Sebaliknya, orang yang banyak berdzikir mengingat Allah akan menguatkan.

Berdzikir memiliki makna selalu merasa dekat dengan Allah secara lahiriah maupun batiniah. Menyebut dengan lisan maupun mengingat dengan hati.
Ada perasaan selalu bersama dengan-Nya kapan saja dan dimana saja, sehingga memunculkan rasa tenteram dan percaya diri untuk memperoleh pertolongan dan perlindungan dari-Nya. ‘’(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir kepada Allah, Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati manusia menjadi tenteram.’’ [QS. Ar Ra’d: 28].

Di dalam dzikir itu, sebenarnya sudah terkandung doa meminta pertolongan dan perlindungan kepada-Nya. Tetapi tidak semata-mata diungkapkan sebagai permintaan tolong yang berkepanjangan.
Yang seringkali, justru melemahkan motivasi untuk berjuang dan bekerja keras mencapai tujuan. Allah sudah memberikan segala anugerah berupa kecerdasan, ilmu pengetahuan, kekuatan, kekuasaan, rezeki, dan sebagainya yang harus kita gunakan secara maksimal. Dalam kerja keras dan perjuangan itulah Allah bakal menilai kita apakah kita pantas memperoleh karunia yang lebih besar lagi.

Karena itu tidak heran, Allah menginformasikan kepada kita bahwa ganjaran surga pun bakal diberikan kepada orang-orang yang telah berusaha dan bekerja keras. Bukan kepada orang-orang yang gemar berdoa sambil bemalas-malasan. ’Apakah kamu mengira akan masuk surga, padahal belum terbukti bagi Allah orang-orang yang berjuang di antaramu, dan belum terbukti orang-orang yang sabar.’’ [QS. Ali Imran: 142].

Dengan kata lain, lha wong belum berjuang dan berusaha keras untuk mencapainya, kok sudah berangan-angan dapat surga.
Demikian pula, belum terbukti bisa menaklukkan masalah dengan penuh kesabaran, kok sudah berharap kesuksesan. Bukan begitu. Hanya orang-orang yang pantas dapat kesuksesanlah yang bakal diberi kesuksesan oleh Allah. Dan hanya orang-orang yang pantas memperoleh kegagalanlah yang akan diberi kegagalan oleh-Nya.

Dalam ayat berikut ini, Allah juga memberikan informasi semacam itu. Kita dipersilakan untuk memilih menjadi orang yang mau maju atau mau mundur. Semua bergantung kepada kita sendiri. Setiap diri bertanggungjawab sepenuhnya atas keputusan yang diambilnya. Liman syaa-a minkum an yataqaddama au yata-akhkhar. Kullu nafsin bimaa kasabat rahiinah – Bagi siapa saja diantara kalian yang mau maju atau mau mundur (silakan). Setiap diri bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya..! [QS. Al Mudatstsir: 37-38]

Maka dalam konteks dzikir dan doa ini, kita diajari untuk melakukannya secara proporsional. Dzikir dianjurkan dilakukan sebanyak-banyaknya agar jiwa kita selalu nyambung dengan Allah. Maka, ketika jiwa sudah tersambung kepada-Nya, doa tidak perlu banyak-banyak, sudah sangat mustajab. Karena jiwanya telah terisi penuh oleh eksistensi Allah.

Sebaliknya, tidak sedikit orang yang berdoa tetapi jiwanya tidak tersambung kepada Allah. Dzikirnya buruk, karena tidak sepenuh hati, sehingga jiwanya pun jauh dari Allah. Bagaimana mungkin doa yang demikian bisa terkabul. Lha wong doa itu hanya meluncur dari lisannya, tanpa melibatkan hatinya. Sementara itu, Allah mengajari agar kita tidak lalai saat berdzikir kepada-Nya dengan merendahkan suara maupun berbisik-bisik mesra di dalam jiwa.

‘’Dan berdzikirlah menyebut (nama) Tuhanmu di dalam jiwamu, dengan merendahkan diri dan rasa takut serta dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang hari. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.’’ [QS. Al A’raaf: 205].

Subhanallah, para saudaraku semuanya,  untuk itu marilah kita merenung, bertanya pada diri kita masing masing sudahkah hati kita ini tersambung pada Allah pada saat kita berdzikir dan berdoa pada Allah.. Semoga dan insya Allah demikian adanya, amin.

Kamis, 19 September 2013

JIN JUGA MAKMUM DIBELAKANG MANUSIA



JIN JUGA MAKMUM DIBELAKANG MANUSIA
Oleh  :  pak Agus Balung

Dalam Surat Az Zariyat : 56, Allah menginformasikan pada kita,  bahwa, tidak hanya manusia yang diwajibkan beribadah kepada Allah, Jin-pun wajib beribadah pada Allah. Sebagaimana manusia, jin juga ada yang beriman, dan ada juga yang kafir.  Dalam tulisan yang kemaren sudah kita bicarakan tentang   Rasulullah yang shalat bersama jin. Kali ini kita ketengahkan bahwa  jin juga  shalat berjamaah dibelakang  ummat Muhammad . Berikut ini kita simak  kisah tentang jin yang shalat dibelakang  anak manusia.

         Pernah suatu ketika, Shafwan bin Mahrazi Al-Mazini sedang melaksanakan shalat Tahajjud di rumahnya. Sebelum shalat, Shafwan sudah merasa ada sesuatu yang aneh di sekitarnya. Tidak seperti biasanya, malam itu ia merasakan kehadiran energi lain yang mengitari dirinya.       Berkali-kali ia mencoba untuk konsentrasi agar bisa melaksanakan shalat dengan khusyuk dan hati tenang. Tetapi, tetap saja ia merasa agak takut, tanpa sebab yang jelas. Bulu kuduknya pun ikut-ikutan merinding. Shafwan merasakan kalau ada makhluk gaib yang tengah mengawasinya. Walaupun diliputi perasaan gelisah, Shafwan tetap melaksanakan shalat Tahajjud-nya malam itu. Ia berpikir, seandainya terus-menerus mengikuti rasa gelisahnya, bisa-bisa keburu datang waktu Shubuh, sehingga nantinya ia tak dapat melaksanakan shalat Tahajjud.

         Ketika Shafwan mulai membaca ayat-ayat al-Qur’an dalam rakaat pertama, tba-tiba ia mendengar suara ribut-ribut di belakangnya. Suara itu terdengar bergemuruh dan sangat ramai seperti di pasar. Tentu saja Shafwan jadi sangat kaget. Tetapi, karena sedang shalat, keterkejutannya itu ia pendam saja. Pada rakaat kedua, kembali terjadi hal yang sama, dan begitu seterusnya. Lama-lama, Shafwan jadi sangat ketakutan. Badannya gemetar. Suaranya pun ikut tersendat-sendat.

            Mendengar suara bacaan Shafwan yang mulai tidak mulus lagi, terdengarlah suara yang mengajaknya berbicara kepada Shafwan, tanpa penampakan kasat mata. “Hai hamba Allah, janganlah engkau takut. Kami ini adalah saudara-saudaramu dari bangsa jin yang ingin ikut beribadah bersamamu,” demikian suara itu berkata kepada Shafwan.

            Setelah mendengar penjelasan tersebut, hati Shafwan jadi tenang kembali. Ia pun tetap melanjutkan shalatnya sampai shalatnya sempurna, dan tak peduli lagi dengan suara ribut yang terdengar dari belakangnya.
Demikianlah kisah jin yang shalat berjamaah bersama manusia.
Wallahu a’lam

Senin, 16 September 2013

JINPUN SHALAT BERSAMA RASULULLAH



Jinpun  Shalat Bersama Rasulullah
Oleh  :  pak Agus Balung

. Sebagai makhluk Allah yang mukallaf, tentu jin juga beribadah kepada Tuhan. Agama mereka pun Islam, Bukankah Allah telah menginformasikan lewat firmnaNya, bahwa  Jin dan manusia tidaklah diciptakan, kecuali hanya untuk beribadah. Sebagai jin Muslim, mereka belajar agama Islam kepada Nabi.  Lantas, pernahkah Nabi mengimami mereka untuk shalat berjamaah ?
Ihwal Nabi mengimami shalat berjamaah bersama jin terdapat dalam hadits yang bersumber dari Abdullah bin Mas’ud. Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad. Berdasarkan hadits ini pula, Ibnu Shairafi, dalam kitabnya yang berjudul Nawazir, memandang sah terhadap shalat berjamaah dengan jin.

Dalam hadits tersebut, Ibnu Mas’ud menyebutkan bahwa pada suatu hari ia dan beberapa sahabat lainnya tengah duduk di sekitar Nabi Muhammad saw. 

Kemudian ia berkata, ”Sebaiknya, ada dua orang di antara kalian yang berdiri dan mengikutiku. Sedang orang yang di dalam hatinya terdapat khianat (tidak setia), maka janganlah mengikutiku.”

Menurut Ibnu Mas’ud, hanya dialah yang kemudian mengikuti Rasulullah saw pergi. Ia membawa satu wadah air dan ia yakin betul  kalau yang ada di dalam wadah itu adalah air. Mereka pergi berdua hingga sampai di dataran tinggi kota Mekkah. Di sana, Ibnu Mas’ud melihat segerombolan bangsa jin yang menyerupai orang yang sudah berkerumun di satu tempat.

Rasulullah saw kemudian membuat garis batas untuk Ibnu Mas’ud, seraya berkata :
 “Berdirilah di sini, sampai aku kembali lagi.”

Ibnu Mas’ud mematuhi pesan Rasulullah saw, ia tetap berdiri di garis yang telah dibuat Rasul untuknya.
Rasul kemudian berjalan ke tempat gerombolan jin tersebut. Ibnu Mas’ud dapat melihat dengan jelas ketika para jin itu bergerak mengitari Rasulullah saw. Ia kemudian menyampaikan ayat-ayat Allah kepada mereka sampai terbit fajar. Setelah itu, ia datang ke tempat Ibnu Mas’ud berdiri.

Rasul bertanya kepadanya, ”Hai Ibnu Mas’ud, apakah kamu masih berdiri seperti tadi?”
Ibnu Mas’ud langsung menjawab, ”Tentu saja, ya Rasulullah. Bukankah engkau menyuruhku berdiri di sini sampai engkau datang?”

Rasulullah saw kemudian bermaksud melakukan wudhu untuk shalat Shubuh. Ia menanyakan air yang dibawa Ibnu mas’ud.Segera Ibnu Mas’ud membuka wadah air yang dibawanya. Namun, betapa terkejutnya ia. Sebab, air yang dibawanya itu telah berubah jadi air anggur.

Rasulullah saw kemudian bersabda, ”Itu adalah buah yang bagus dan air yang suci lagi menyucikan. Berwudhulah dengan air tersebut.” Maka mereka pun berwudhu dengan air tersebut.

Ketika Rasul akan memulai shalat, tiba-tiba datang dua di antara para jin itu yang menyusul. Mereka menyatakan keinginan mereka untuk ikut shalat bersama Nabi saw. Nabi pun kemudian merapikan barisan mereka di belakangnya. Setelah itu, barulah Nabi memulai shalat.

Selesai shalat, Ibnu Mas’ud menanyakan kepada Rasulullah saw tentang jati diri dua orang yang ikut shalat bersama mereka tadi. ”Mereka itu adalah bangsa jin dari daerah Nashibin. Mereka datang kepadaku untuk meminta keputusan dari kasus yang terjadi di antara bangsa jin. Mereka juga meminta bekal padaku. Maka, aku pun telah memberi mereka bekal,” jawab Nabi saw.

Ibnu Mas’ud kemudian menanyakan tentang bekal apa yang telah diberikan Nabi saw pada bangsa jin itu. Ia menjelaskan, bekal yang telah diberikan itu adalah kotoran dan tulang. Setelah mereka terima bekal itu, maka kotoran akan berubah menjadi buah anggur, dan tulang berubah menjadi tulang yang berdaging. Pada saat itulah ia kemudian melarang penggunaan tulang dan kotoran untuk bersuci.

Masih dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dengan sanad berbeda dan bersumber dari Ibnu Mas’ud juga. Disebutkan, setelah Rasulullah saw menyelesaikan pertemuan dengan bangsa jin, datanglah dua dari mereka mendekati Rasulullah. Mereka menyatakan keinginannya untuk melaksanakan shalat bersama Nabi saw.

Kemudian Rasul bertanya kepada Ibnu Mas’ud, ”Apakah kau membawa air?”
Ibnu Mas’ud menjawab, “Tidak, ya Rasulullah. Yang ada hanya wadah yang berisi anggur.”
Rasul lalu bersabda, “Itu buah yang bagus, dan air yang suci dan menyucikan.” Lantas mereka berwudhu dengan air itu, dan menunaikan shalat bersama kedua jin itu.

Selesai shalat, kedua jin itu meminta bekal pada Rasulullah saw. ”Apakah belum kuperintahkan untuk mengambil sesuatu yang baik bagimu dan sebagai bekal untuk kaummu?”
Kedua jin itu serentak menjawab, ”Sudah, ya Rasulullah. Kami tadi hanya ingin shalat bersamamu.”

Rasulullah saw menanyakan asal mereka. Dijawab, asal mereka dari daerah Nashibin.
Rasulullah saw kemudian bersabda, ”Berbahagialah kedua jin ini dan kaumnya. Sebab, telah diperintahkan pada mereka untuk menjadikan tulang dan kotoran sebagai makanan dan lauknya. Karena itulah, Allah melarang siapapun bersuci dengan tulang dan kotoran.”

Demikisan kisah tentang bagaimana Nabi mengimami shalat berjamaah bersama bangsa jin. Saya pikir, tidak itu saja Nabi lakukan. Sebagai soko guru agama dari bangsa jin, mereka pun kerapkali meminta Nabi agar bisa shalat berjamaah bersamanya. Sebab, bagi bangsa jin, bisa shalat berjamaah dengan Rasul adalah suatu berkah yang tak terkira. Tidak ada gantinya.

Wallahu a’lam bisshawab 


Senin, 09 September 2013

TAQWA DAN ULIL ALBAB



TAQWA DAN ULIL ALBAB
Oleh  :  pak Agus Balung

Kita semua tahu, bahwa untuk  mencapai tingkat ketaqwaan tertentu, kita tidak bisa terlepas dari proses pembelajaran. Dengan belajar seseorang menjadi paham. Dengan pemahaman itu, maka  ia akan menjadi yakin. Dengan keyakinan ia akan  menjadi seorang yang beriman. Dan dengan keimanannya, maka ia akan berproses menjadi taqwa.
Dengan demikian, ketaqwaan memiliki kaitan sangat erat dengan sikap pembelajaran itu. Di dalam Al Qur’an, orang yang terus belajar dari lingkungannya disebut sebagai ulul albab. Alias, orang yang terus menerus menggunakan akalnya untuk memahami ayat-ayat Allah. Bukan hanya ayat-ayat yang terdapat di dalam Al Qur’an melainkan juga yang terdapat di alam semesta.

Ayat berikut ini misalnya, menunjukkan bagaimana seorang ulul albab selalu belajar hikmah dari ayat-ayat alam semesta atau yang kita kenal sebagai ayat-ayat kauniyah itu. QS. Ali Imran (3): 190 – ‘’Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi orang-orang yang berakal (ulul albab).’’

Ada dua jenis pembelajaran yang digambarkan dalam ayat tersebut. Yang pertama adalah tentang benda-benda, diwakili oleh ‘langit dan bumi’. Dan yang kedua, adalah tentang peristiwa yang diwakili oleh ‘silih bergantinya’ siang dan malam hari.
Artinya, seorang ulul albab adalah seorang pembelajar sejati terhadap segala peristiwa dan benda-benda yang ada di sekitarnya. Tak ada yang terlewatkan, karena semua itu adalah ilmu Allah yang dihamparkan dengan penuh hikmah.

Penekanan untuk selalu belajar itu sedemikan kuatnya di dalam Al Qur’an, sehingga sampai ditegaskan berulang-ulang dalam ratusan ayat. Mulai dari ayat-ayat yang sekedar bersifat informasi, sindiran, perintah, sampai klaim penegasan bahwa untuk bisa belajar haruslah menggunakan akal kecerdasan sebagai seorang ulul albab.

Ayat berikut ini, bahkan juga memberikan penegasan bagi yang ingin belajar makna Al Qur’an, mau tidak mau harus menjadi seorang ulul albab.
 Jika tidak, maka ia tidak akan bisa memetik hikmah dari firman-firman Allah. Kenapa bisa demikian?
Karena, ayat-ayat Al Qur’an tidaklah selalu mudah untuk dipahami. Ada yang mudah dan sederhana yang disebut sebagai ayat muhkamat, dan ada yang lebih sulit karena maknanya samar dan harus dipahami secara holistik dan merujuk ke sains, yaitu ayat-ayat mutasyabihat .
Hanya orang-orang yang menggunakan akal saja yang bisa mengambil pelajaran darinya. Dialah sang ulul albab.

QS. Ali Imran (3): 7 – ‘’Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamaat (jelas), itulah pokok-pokok isi Alqur'an. Dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat (samar). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyaabihaat untuk menimbulkan fitnah (dan) mencari-cari ta'wilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak bisa mengambil pelajaran (darinya) kecuali orang-orang yang berakal (ulul albab).’’

Maka tidak heran Rasulullah menangis semalaman sampai matanya sembab ketika menerima wahyu tentang ulul albab itu. Yakni, wahyu QS. Ali Imran (3): 190-191.
Padahal, sepanjang hidup beliau tidak pernah menerima wahyu sampai menangis sehebat itu. Sampai-sampai, Bilal yang melihat kondisi beliau di waktu menjelang Subuh itu sangat mengkhawatirkan keadaan Rasulullah, jangan-jangan beliau sakit. Tetapi dengan tersenyum beliau menggelengkan kepala, dan menjelaskan bahwa beliau baru saja menerima wahyu yang membuat jiwa beliau bergetar hebat. Lengkapnya, adalah sebagai berikut.

QS. Ali Imran  : 190-191 – ‘’Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang hari terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ulul albab), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk ataupun berbaring, dan mereka bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi (sehingga memperoleh kesimpulan): "Ya Tuhan kami, tidak ada yang sia-sia segala yang Engkau ciptakan ini. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’’

Kenapa Rasulullah sampai menangis sehebat itu, padahal ayat tersebut bukanlah ayat yang menegur Nabi, atau ayat yang menceritakan kesedihan. Bahkan, sebenarnya ayat itu adalah ayat ilmu pengetahuan. Ayat yang mendorong setiap muslim untuk menjadi seorang ulul albab.
Ya, karena beliau adalah seorang ulul albab sejati yang memiliki kemampuan memahami peristiwa dengan sangat mendalam. Sehingga, ‘sentilan’ tentang penciptaan langit dan bumi itu tergambar dengan sangat mengagumkan bagi beliau.
Apalagi ayat itu diwahyukan di Madinah, dimana Rasulullah sudah mengalami perjalanan Isra’ Mi’raj menembus dimensi langit ketujuh sampai di Sidratul Muntaha. Beliau seperti sedang bernostalgia atas perjalanan fenomenal tersebut.

Selain itu, ayat ini menjadi landasan yang sangat kokoh bagi umat Muhammad untuk meningkatkan kualitas keimanannya menjadi bertaqwa. Cara paling hebat untuk mendekatkan diri bagi seorang hamba kepada Tuhannya. Sehingga dalam sejumlah ayat, Allah menegaskan tidak akan bisa memahami ayat-ayat Allah sebagai pembelajaran jika tidak menjadi seorang ulul albab, sebagaimana  disampaikan di atas.

Umat Islam harus menjadi umat yang ulul albab. Yang mengedepankan akal sehatnya dalam beragama. Sehingga tidak gampang diakal-akali oleh siapa pun.
Inilah agama yang terus menerus memberdayakan umatnya untuk menjadi orang-orang pintar, yang suka bekerja keras dan bekerja cerdas, penuh keikhlasan dan kesabaran, serta mengorientasikan hidupnya karena Allah semata.

Dengan cara ini, umat Islam akan terhindar dari berbagai keburukan, dan bisa mencapai berbagai kebaikan dalam kehidupannya. Meskipun, secara alamiah, tak jarang keburukan bisa terlihat lebih mengesankan dan menarik hati.
Tetapi, karena seorang ulul albab adalah seorang pembelajar sejati yang memiliki kualitas tinggi dalam memahami dan menganalisa masalah, maka insya Allah keputusan-keputusan selalu dalam koridor petunjuk Allah Sang Maha Berilmu lagi Maha Bijaksana. 

Dalam QS. Al Maa-idah : 100, Allah berfirman – ‘’Katakanlah: Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun kebanyakan yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.’’

 Semoga Allah membimbing kita semua menjadi sang pembelajar sejati dalam kehidupan ini. Amin.  Insya Allah.
Wallahua’lam bissawab.