Kamis, 29 November 2012

PENTHOL KOREK API



Oleh  : pak Agus Balung

Pernah seorang teman menceritakan pengalamannya pada saya.  Dikarenakan berbagai masalah yang mendera dirinya, maka dia mendatangai seorang kyai kecil didesanya, disampaikannya semua persoalan yang menimpanya,  memang pada umumnya di masyarakat kita, orang yang berpredikat sebagai ulama atau kyai, atau mereka yang dinobatkan masyarakat sebagai ulama/kyai, maka disamping sebagai tempat tumpuan bertanya dan nasehat segala sesuatu tentang agama,  mereka sekaligus berperan sebagai psikolog kampung dimasyarakat sekitar, sosok konsultan informal yang diharapkan dapat memberikan solusi dari berbagai masalah di masyarakat.   Dan yang diceritakannya pada saya kali ini,  adalah kedatanganya yang kesekian kalinya ke kyai itu.  Begini ceritanya.


Teman saya datang ke kyai tersebut jam 8 malam, eh, sampai jam 12 tengah malam belum juga dipanggil menghadap. Boro boro diajak bicara, diajak mendekatpun tidak. Memang awal datang sih dia diajak bicara, tapi bicaranya kethus banget. “Koq datang lagi ?”
Teman sayapun menjawab : “Ya, kyai, sebab masalahnya belum selesai”
“Ya, sudah, tunggu sana” katanya, sambil menunjuk satu sudut teras majelisnya.
Dengan sikap patuh, teman saya itupun pergi kesudut yang ditunjuk oleh kyai tersebut, dan dengan sabar menunggu giliran untuk mendapatkan pencerahan atas dirinya yang sedang galau.  Tak urung terselip juga rasa  gatel di hati ketika dia melirik jam tangannya. Amboi, sudah empat jam dia menunggu tanpa kepastian yang jelas.  Maka dengan memberanikan diri, teman saya menghadap kyai tanpa dipanggil terlebih dulu, saat itu dia melihat tamunya tinggal beberapa orang lagi.
“Maaf kyai, sudah jam 12 malam, kapan giliran saya untuk diberi kesempatan berbicara pada kyai ?”
Eh, ternyata dugaan teman tadi salah, walau tamu tinggal sedikit saja, tapi jawaban kyai tetap saja membuat hati gak enak.
“Yang nyuruh kamu datang kesini, siapa ?”
“Gak ada kyai, saya datang sendiri”
“Ya sudah, tunggu saja dulu disana” sambil tangannya menunjuk tempat teman saya semula duduk menunggu.


Masya Allah, andai teman saya tadi tidak punya khusnudz dzon, positif thinking, niscaya dia sudah amat kesal bukan kepalang. Pasti akan keluar kata kata pada kyai, tidak menghargai tamu, tapi ya itu lah, teman saya menerima apa kata guru, dan dia memilih menerima dengan lapang dada perlakuan guru terhadapnya saat itu.
Kira kira jam 1 dini hari, menjelang jam 2, teman saya baru dipanggilnya. Kemudian beliau bertanya.
“Tau IBM gak ?”
Walaupun teman saya itu tau apa itu IBM, karena memang pengetahuan informatikanya lumayan juga,  namun ternyata dia bingung juga. Apa hubungannya masalah saya dengan IBM segala, tentu saja dalam hati. Dia gak berani bertanya langsung,  dan teman sayapun  menjawab : “ya, tau kyai”
“Nah, IBM itu punya  VPN, Virtual Private Network, jaringan jalur khusus. Ntar kamu saya kasih VPN yang bisa jadi jalur khusus kamu berdoa pada Allah. Insya Allah hutang kamu yang segede bukit, kempes deh.”


Kejadian ini terjadi sekitar tahun 2008, kata teman saya, dan ternyata kyai kita yang satu ini paham banget dan akrab dengan istilah tekhnologi.
Saat itu dalam hati teman saya bersuka cita, terbersiat dalam benaknya  dia akan menerima sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang gimana gitu, sesuatu yang besar yang bakal instan yang membuat masalah dia jadi beres. Ternyata dugaan teman saya sepenuhnya tidak benar. Malah dahinya sempat berkernyit dan ketawa kecil.
Pak Kyai masuk kedalam, sesaat kemudian beliau keluar lagi sambil membawa dua buah penthol korek api. Penthoi korek api tersbut dilempar kearah teman saya, seraya berkata :
“Nih, VPN buat kamu, gunakan yang bener, kinsya Allah masalahnya beres, udah pulang sana.”
Ngasihnya keteman saya benar benar dengan dilempar, sebab teman saya lagi bersila, sedang pak kyai berdiri. Dan teman sayapun pulang.


Bayangkan, kurang lebih menunggu selama 6 jam, dari sore sampai dini hari,  hasilnya cuma dua buah  penthol korek api  itu saja, gak ada yang lain. Tak ada saran, nasehat, apa lagi ilmu, tidak ada.
Dalam hati teman saya menggerutu, itu pasti.  Tapi diapun berpikir, pasti ini ada maksud yang terkandung didalamnya. Belajarnya kudu sedikit demi sedikit. Tapi  apa maksudnya. Pelan pelan teman saya mikir. Akhirnya dia mampu mengkaitkan dengan kalimat yang pak kyai ucapkan.
“Nah, IBM itu punya VPN, Virtual Private Network, jaringan jalur khusus. Ntar saya kasih kamu VPN yang bisa jadi jalur khusus kamu berdoa pada Allah. Insya Allah semua hutang kamu segede bukit akan kempes, deh.”

Atas ijin Allah, teman saya mampu mengkorelasikan dua buah penthol korek api yang nyaris tanpa kata kata itu dengan kalimta singkat kyai. Rupnya kita disuruh bangun malam. Jangan banyakin tidur.  Sebuah penthol korek api dipakai buat ngeganjel mata  yang kanan, dan penthol korek api yang satunya lagi dipakai buat ngeganjel mata yang kiri. Agar supaya gak kebanyakan tidur. Masya Allah.
Bukankah Rasulullah menginformasikan pada kita, disaat orang lain terlelap dibalik kehatangan selimut, sementara kita dianjurkan untuk bangun, mengambil air wudhu, menghamparkan sajadah, lalu shalattul lail, berdzikir, dan berdoa pada Allah, maka doa itu tanpa hijab langsung didengar Allah, tanpa hijab.
Satu hal yang bisa kita ambil hikmahnya dari pengalaman teman tadi adalah, kita harus bersabar. Belajar itu harus sabar, mencari ilmu harus bersabar. Brikhtiar itu juga  harus bersabar. Kita sama sama berdoa pada Allah, agar Allah benar benar memberikan ilmu yang bermanfaat pada kita, manfaat di dunia dan manfaat juga di akherat. Apa guna kita mendapatkan manfaat didunia, tapi diakherat akan celaka, na’udzu billahi mindzlik.

Sesuatu yang sedikit yang diberiNya manfaat dan ada ridhoNya, niscaya akan menjadi sesuatu yang betul betul pengaruh positif bagi kehidupan kita. Insya Allah
Semoga yang sedikit dan sederhana ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.   

Kamis, 15 November 2012

TERNYATA KITA GAK PUNYA APA APA




Oleh : pak Agus Balung

Suatu statement yang indah muncul dalam acara Indonesia Emas, semalam, Kamis, 15 Nopember 2012, bertepatan dengan 1 Muharam 1434 H di TVRI,  begini statementnya Perbanyaklah meringankan beban orang lain,  niscaya kau akan diringankan beban hidupmu oleh Allah, statement itu dikeluarkan oleh seseorang yang dijumpai oleh Opick, seorang musikus relegius, dan orang itu dimintai saran untuk suatu solusi atas berbagai masalah yang mendera  dirinya.  Acara itu sendiri dimotori oleh Ari Ginanjar Agustian, seorang motivator, ESQ.

Disebutkan dalam acara tersebut, dalam keterpurukan Opick bertemu seseorang dan menyampaikan semua permasalahan hidupnya. “Apa yang harus saya lakukan, saya sudah habis, terpuruk, rusak, dan seterusnya, dan seterusnya, apa mungkin saya bisa jadi orang lagi ?”   Lalu orang tersebut memberikan nasehat seperti tersebut diatas. Perbanyaklah meringankan beban orang, niscaya kau akan diringankan beban hidupmu.
Untuk mengaktualisasikan saran solusi tersbut,  maka Opick mulai mencoba berbagi rizqi dan meringankan beban orang lain dengan cara memberi makan pada orang lain, dimulai dari satu piring, lalu berkembang jadi sepuluh piring, lalu seratus, dan, last but not least, Opick mampu memberi makan orang lain seribu piring. Tapi tidak disebutkan, sekian piring  itu diberikan dalam setiap hari, seminggu, sebulan, atau setahun sekali.

Dan sekarang, Opick mendirikan satu lembaga keuangan yang memberikan pinjaman kepada mereka yang membutuhkan, terutama untuk modal, tanpa bunga dan tanpa agunan. Lembaga ini hanya memberikan pinjaman tanpa menerima simpanan. Jadi bukan lembaga simpan pinjam, tapi murni lembaga “pinjaman”.  Lalu ada yang bertanya kalau ada yang nakal, lalu uangnya hilang gimana, dengan entengnya Opick bilang, “tinggal lapor aja pada Allah,   toch itu bukan uang saya, uang Allah”.   Subhanallah.

Memang kadang kita lupa mengklaim segala sesuatu yang ada dalam genggaman kita adalah milik kita.   Ini rumah saya, hasil kerja saya selama sekian tahun, itu mobil saya, ini tanah saya, itu property saya,   ini perusahaan saya.   Padahal hakekatnya Allahlah yang ada dibalik semua kepemilikan itu. Tidak sulit bagi Allah untuk menarik kembali apa apa yang katanya milik saya itu, entah lewat tangan penipu, lewat pencuri, atau perampok, atau bahkan lewat tangan tangan Allah lainnya yang jauh lebih dahsyat lagi, entah itu banjir, entah kebakaran, gempa, tsunami, atau yang lainnya lagi, yang jauh lebih dahsyat dan mengerikan dari itu semua.  Astaghfirullah.
Nah, kalau begitu apa yang mesti kita banggakan, rumah megah, mobil mewah dan lainnya, ternyata bukan benar benar milik kita.

Jangankan rumah mentereng, mobil mewah, harta berlimpah, yang ternyata bukan milik kita, mata yang kita pakai untuk melihat sesuatu yang indah, adalah ciptaan Allah.  Telinga yang kita gunakan untuk mendengarkan alunan suara merdu ini juga ciptaan Allah. Mulut yang kita gunakan untuk  melantunkan suara dan kata yang merdu dan bijak, adalah ciptaan Allah. Bahkan jantung kita, yang setiap detik selalu setia mendistribusikan darah keseluruh bagian tubuh kita tanpa ada yang terlewatkan dan tanpa mengeluh, itupun ciptaan Allah.    Dan, setiap saat, kapanpun, semua organ tubuh yang katanya milik kita itu bisa saja berhenti (baca : dihentikan) fungsinya, lalu organ organ itu  berhenti,  tak berfungsi.     Eh…., ternyata nyawa kitapun, bukan milik kita.

Jawaban enteng Opick  diatas   “tinggal lapor aja pada Allah, toch uang itu bukan saya, itu uang Allah”  menyadarkan pada kita bahwa sebenarnya kita ini gak punya apa apa. Terlahir kedunia tidak membawa apa apa, matipun juga demikian, tidak membawa satupun harta yang sempat menjadi kebangaan kita semasa kita hidup didunia.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat bagi kita semua, bagi anda dan saya. Amin. Insya Allah.  Setidaknya sangat  indah  untuk jadi renungan kita.


Rabu, 14 November 2012

THE MIRACLE OF SMILING




Oleh : pak Agus Balung

Kisah ini yang saya kutip dari 30 kisah keajaiban sedekah yang saya copy paste dari blognya mas Didik Sugiarto. Sebuah kisah yang didapat dari milis alumni Jerman, atau warga Indonesia yang bermukim atau pernah bermukim di sana. Kisah ini layak untuk dibaca beberapa menit, dan untuk  direnungkan seumur hidup.  Insya Allah

Begini kisahnya :

Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya.

Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama “Smiling”. Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu, setiap siswa diminta untuk mempresentasikan di depan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir, tugas ini sangatlah mudah. Setelah menerima tugas tersebut, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi ke restoran Mcdonald’s yang berada disekitar kampus.

Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong. Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian. Suatu perasaan panic menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir? Saat berbalik itulah saya membaui suatu “bau badan kotor” yang cukup menyengat, ternyata tepat dibelakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil.  Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.

Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang “tersenyum” ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih saying. Ia menatap kearah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima’ kehadirannya’ ditempat itu. Ia menyapa, “ Good Day! “ sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya ‘tugas’ yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan tanganya dengan gerakan aneh berdiri dibelakang temannya.

Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah “penolong” nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka, dan kami bertiga tiba tiba saja sudah sampai di depan counter. Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan “kopi saja, satu cangkir, Nona.” Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan di restoran disini, jika ingin duduk didalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.

Tiba tiba saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat. Mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu tamu lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka. Pada saat bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat ‘ tindakan’ saya. Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam nampan terpisah.

Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut kea rah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu diatas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas penggung telapak dingin lelaki bermata biru itu, sambil saya berucap, “ Makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua.” Kembali mata biru itu menatap dalam kearah saya, kini mata itu mulai basah berkaca kaca. Ia hanya mampu berkata, “ Terima kasih banyak, Nyonya.”

Saya mencoba tetap menguasai diri saya. Sambil menepuk bahunya saya berkata,” Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian.” Mendengar ucapan saya, Si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu. Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka.

Ketika saya duduk, suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata, “ Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan ‘keteduhan’ bagi diriku dan anak anakku!”
Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar benar bersyukur dan menyadari bahwa hanya kerena bisikan-Nya-lah kami telah mampu memanfaatkan kesempatan untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang membutuhkan. Ketika kami sedang menyatap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu per satu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin berjabat tangan dengan kami.

Salah satu di antaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap,” Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan oleh-Nya, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami.” Saya hanya bisa berucap terima kasih sambil tersenyum.

Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki itu, dan seolah ada magnet yang menghubungkan batin kami, mereka langsung menoleh kearah kami sambil tersenyum, lalu melambai-lambaikan tangannya kearah kami.

Dalam perjalan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi. Itu benar benar tindakan yang tidak pernah terpikirkan oleh saya. Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa kasih sayang Allah itu sangat hangat dan indah sekali.  Saya kembali ke kampus, pada hari terakhir kuliah dengan cerita ini di tangan saya. Saya menyerahkan paper saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, “ bolehkan saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?” dengan senang hati saya mengiyakan.

Ketika akan memulai kuliahnya ia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca. Para siswa pun mendengarkan dengan saksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir diruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk dideretan belakang di dekat saya diantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.

Diakhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis di akhir paper saya.” Tersenyumlah dengan ‘hatimu’, dan kau akan mengetahui betapa dahsyat dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu.”

Dengan cara-Nya sendiri, Allah telah ‘menggunakan’ diri saya untuk menyentuh orang orang yang ada di Mcdonald’s, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan satu pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu “penerimaan tanpa syarat”.

Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara mencintai sesama dengan memanfaatkan sedikit harta benda yang kita miliki, dan bukannya mencintai harta benda yang bukan milik kita, dengan memanfaatkan sesama.

Orang bijak mengatakan, “ Banyak orang yang datang dan pergi dari kehidupanmu, tetapi hanya ‘sahabat yang bijak’ yang akan meninggalkan jejak di dalam hatimu. Untuk berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu. Tetapi untuk berinteraksi dengan orang lain, gunakan hatimu.  Orang yang kehilangan uang, akan kehilangan banyak, orang yang kehilangan teman, akan kehilangan lebih banyak lagi.  Tapi orang yang kehilangan keyakinan, akan kehilangan semuanya.   Allah menjamin akan memberikan kepada setiap hewan makanan bagi mereka, tetapi Dia tidak melemparkan makanan itu ke dalam sarang mereka, hewan itu tetap harus berikhtiar untuk bisa mendapatkannya.

Orang orang muda yang ‘cantik’ adalah hasil kerja alam, tetapi orang orangtua yang ‘ cantik’ adalah hasil karya seni. Belajarlah dari pengalaman mereka, karena engkau tidak dapat hidup cukup lama untuk bisa mendapatkan semua itu dari pengalaman dirimu sendiri.

 Semoga bermanfaat bagi kita, anda dan saya.  Insya Allah, amin.

Senin, 12 November 2012

SAY NO......TO 'HARTA HARAM'




Oleh : Pak Agus Balung

Ini cerita dari  teman saya yang punya kerabat seorang TKI.  Sepulang dari luar negeri, kerabatnya yang TKI itu  menjadi seorang yang kaya raya di desanya. Dia bisa membeli dua rumah sekaligus dan membeli beberapa mobil dan sepeda motor. Bukan hanya itu, barang-barang di rumahnya dipenuhi juga dengan barang mewah.

Untuk ukuran seorang TKI, mendapatkan hasil sedemikian spektakuler dalam waktu beberapa tahun sangatlah mustahil. Menurut teman saya, dalam satu bulan kerabatnya itu  bisa mengirimkan uang sampai di atas 20 juta waktu itu. Padahal untuk ukuran negara dia berada, gaji dia paling banter hanya menerima 3 jutaan tiap bulan.

Usut punya usut, ternyata dia bisa mempunyai gaji besar karena bekerja pada salah seorang pejabat di negara tersebut. Bukan karena kerja pada seorang pejabat yang membuat dia kaya, tapi karena dia berselingkuh dengan istri pejabat tersebut, astaghfirullah….. Mungkin istri pejabat tersebut terpesona dengan ketampanan kerabat teman saya, sehingga dia minta apa pun selalu dituruti oleh ibu pejabat.

Kini, setelah beberapa tahun berlalu semenjak kepulangannya dari luar negeri sebagai TKI,  saya kembali bertemu teman saya, dan teman sayapun bercerita tentang kerabatnya.     Alangkah terkejutnya saya, kini kondisinya berbalik 180 derajat. Harta bendanya habis tak tersisa. Rumah, kendaraan dan semua hasil yang didapatkan ludes tak tersisa. Dia bilang, setiap kali membuka usaha, dia selalu gagal. Padahal sebelumnya dia adalah seorang pebisnis yang berpengalaman. Akhirnya dia, kerabat teman saya itu  mengungkapkan mungkin harta benda yang didapatkan dulu adalah harta haram, sehingga setiap langkah yang dia tempuh dengan harta itu tidak mendapat ridho dari Allah. Dia mengungkapkan pelajaran berharga telah dia dapatkan dari kejadian ini.  Dia telah bertobat dan ingin memulai lagi dari nol..  Dia bertekad akan mencari harta yang halal agar ridho Allah dapat selalu beserta pada harta dia nanti.

So…..mulai sekarang  mari kita tanamkan  dalam hati kita :  say no to “harta haram”

Tulisan yang singkat dan sederhana ini semoga membuka mata hati kita, dan pastinya  membawa manfaat bagi kita, anda dan saya. Amin.    Insya Allah.