Sabtu, 26 April 2014

RASA NYERI PADA KULIT.....BUKTI KEBENARAN AL-QURAN



RASA NYERI PADA KULIT…….BUKTI KEBENARAN AL QURAN

Oleh  :  pak Agus Balung



Allah berfirman :  ''Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.'' (QS. An-Nisa: 56)

Bagi sebagian besar umat Islam, ayat di atas terdengar seperti ayat-ayat serupa dalam Alquran yang menjelaskan pedihnya siksa neraka bagi orang-orang yang tidak beriman. Namun tidak demikian bagi Tagatat Tejasen, seorang ilmuwan Thailand di bidang anatomi. Baginya, ayat itu adalah sebuah keajaiban.




Konferensi Kedokteran Saudi ke-6 di Jeddah yang diikuti Prof. Tejatat Tejasen, Ketua Jurusan Anatomi, Universitas Thailand, Chiang Mai,  pada Maret 1981 menjadi awal kisah pertemuannya dengan keajaiban itu. Dalam konferensi yang berlangsung selama lima hari itu, sejumlah ilmuan Muslim menyodori Tejatat Tejasen beberapa ayat Alquran yang berhubungan dengan anatomi.

Prof. Tejatat Tejasen yang beragama Buddha kemudian mengatakan bahwa agamanya juga memiliki bukti-bukti serupa yang secara akurat menjelaskan tahap-tahap perkembangan embrio. Para ilmuan Muslim yang tertarik mempelajarinya meminta profesor asal Thailand itu untuk menunjukkan ayat-ayat tersebut pada mereka.

Setahun kemudian, Mei 1982, Tejatat Tejasen  menghadiri konferensi kedokteran yang sama di Dammam, Arab Saudi. Saat ditanya tentang ayat-ayat anatomi yang pernah dijanjikannya, Tejasen justru meminta maaf dan mengatakan bahwa ia telah menyampaikan pernyataan tersebut sebelum mempelajarinya. Ia telah memeriksa kitabnya, dan memastikan bahwa tidak ada referensi darinya yang dapat dijadikan bahan penelitian.

Ia kemudian menerima saran para ilmuan Muslim untuk membaca sebuah makalah penelitian karya Keith Moore, seorang profesor bidang anatomi asal Kanada. Makalah itu berbicara tentang kecocokan antara embriologi modern dengan apa yang disebutkan dalam Alquran.

Tejasen tercengang saat membacanya. Sebagai ilmuwan di bidang anatomi, ia menguasai dermatologi (ilmu tentang kulit). Dalam tinjauan anatomi, lapisan kulit manusia terdiri dari tiga lapisan global, yakni Epidermis, Dermis, dan Sub Cutis. Pada lapisan yang terakhirlah, Sub Cutis, terdapat ujung-ujung pembuluh darah dan syaraf.

Penemuan modern di bidang anatomi menunjukkan bahwa luka bakar yang terlalu dalam akan mematikan syaraf-syaraf yang mengatur sensasi. Saat terjadi Combustio grade III (luka bakar yang telah menembus Sub Cutis), seseorang tidak akan merasakan nyeri. Hal itu disebabkan tidak berfungsinya ujung-ujung serabut syaraf afferent dan efferent pengatur sensasi yang rusak oleh luka bakar tersebut.

Makalah itu tidak saja menunjukkan keberhasilan teknologi kedokteran dan perkembangan ilmu anatomi, namun juga membuktikan kebenaran Alquran. Ayat 56 surah An-Nisa’ mengatakan bahwa Allah akan memasukkan orang-orang kafir ke dalam neraka, dan mengganti kulit mereka dengan kulit yang baru setiap kali kulit itu hangus terbakar, agar mereka merasakan pedihnya azab Allah.

Jantung Tejasen berdebar. “Bagaimana mungkin Alquran yang diturunkan 14 abad yang lalu telah mengetahui fakta kedokteran ini?”


Sebelum berhasil mengatasi keterkejutannya, Tejasen disodori pertanyaan oleh para ilmuan Muslim yang mendampinginya, “Mungkinkah ayat Alquran ini bersumber dari manusia?”

Ketua Jurusan Anatomi Universitas Chiang Mai Thailand itu sontak menjawab, “Tidak, kitab itu tidak mungkin berasal dari manusia. Ia kemudian termangu dan melanjutkan responsnya, “Lalu dari mana kiranya Muhammad menerimanya?”

Mereka memberitahu Tejasen bahwa Tuhan itu adalah Allah, yang membuat Tejasen semakin ingin tahu. “Lalu, siapakah Allah itu?” tanyanya.

Dari para ilmuan Muslim tersebut, Tejasen mendapatkan keterangan tentang Allah, Sang Pencipta yang dari-Nya bersumber segala kebenaran dan kesempurnaan. Dan Tejasen tak membantah semua jawaban yang diterimanya. Ia membenarkannya.

Profesor yang pernah menjadi dekan Fakultas Kedokteran Universitas Chiang Mai lalu itu kembali ke negaranya, tempat ia menyampaikan sejumlah kuliah tentang pengetahuan dan penemuan barunya itu. Informasi yang dikutip oleh laman special.worlofislam.info menyebutkan bahwa kuliah-kuliah profesor yang masih beragama Buddha itu, di luar dugaan, telah mengislamkan lima mahasiswanya.

Hingga akhirnya, pada Konferensi Kedokteran Saudi ke-8 yang diselenggarakan di Riyadh, Tejasen kembali hadir dan mengikuti serangkaian pidato tentang bukti-bukti Qurani yang berhubungan dengan ilmu medis. Dalam konferensi yang berlangsung selama lima hari itu, Tejasen banyak mendiskusikan dalil-dalil tersebut bersama para sarjana Muslim dan non-Muslim.

Di akhir konferensi, 3 November 1983, Tejasen maju dan berdiri di podium. Di hadapan seluruh peserta konferensi, ia menceritakan awal ketertarikannya pada Alquran, juga kekagumannya pada makalah Keith Moore yang membuatnya meyakini kebenaran Islam.

“Segala yang terekam dalam Alquran 1.400 tahun yang lalu pastilah kebenaran, yang bisa dibuktikan oleh sains. Nabi Muhammad yang tidak bisa membaca dan menulis pastilah menerimanya sebagai cahaya yang diwahyukan oleh Yang Maha Pencipta,” katanya. Tejasen lalu menutup pidatonya dengan mengucap dua kalimat syahadat.

Subhanallah…….


(Sumber  :  Republika.co.id)



Minggu, 06 April 2014

Panggil Saya....."HAJI MANSYUR"



Panggil Saya…..”HAJI MANSYUR”

Oleh  :  pak Agus Balung



Untuk kesekian kalinya saya mendapatkan ilham sebagai  bahan tulisan buat artikel saya dari tamu yang datang untuk konsultasi ke tempat saya. Hari itu tamu saya datang dari Pamekasan, Madura. Sebenarnya keluhan beliau cuma stroke ringan dan selalu pusing. Ditengah tengah kosultasi, beliau berceloteh, bagaimana kalau saya ganti nama saja, biar sehat, gak sakit-sakitan, begitu kata beliau. Beliau berkata demikian, karena terinspirasi  saat nonton acara metafisika di salah satu stasiun televisi, nara sumbernya mengatakan bahwa dengan mengganti nama, dapat mengubah nasib sial menjadi bernasib baik. Saya gak jawab, diam saja. Tapi rekan kerja saya bilang, :  “Bisa saja, contohnya setiap selesai ibadah haji, selalu diganti namanya.”


Jawaban rekan kerja saya itu membuat saya penasaran. Lalu saya teringat peristiwa yang terjadi seminggu yang lalu. Saat itu saya shalat maghrib di Masjid jami’ Ubi 8. Saya bertemu dengan seorang kawan yang berasal dari tetangga desa, Bangsalsari, yang sudah saya kenal sebelumnya, tetapi belum tau namanya.  Karena merasa sama sama berasal dari Jember, maka saya cepat sekali merasa akrab, profesi kawan baru saya itu penarik becak. Nah, begitu kami bertemu lagi dimasjid untuk sama sama shalat maghrib, dia dengan rasa percaya diri yang tinggi mengulurkan tangannya, menjabat tangan saya dengan erat, sambil mengenalkan diri : “Haji Mansyur”.  Saya agak terperangah mendengarnya,  sampai saya lupa menyebutkan nama saya.


Suatu peristiwa yang mungkin sangat sederhana, bisa terjadi pada siapa saja, dan kapan saja. Tetapi tidak bagi saya. Bagi saya, itu lebih cenderung sebagai proklamasi diri dari teman saya itu, bahwa dia adalah seorang haji, walaupun dia seorang penarik becak.  Rupanya teman saya itu butuh pengakuan dari teman-temannya, terlebih lebih teman yang baru, seperti saya ini, bahwa dirinya sudah haji, dan menurutnya saya harus tau itu.


Fragmen sebabak diatas memaksa saya untuk buka buka literature tentang  : “Perlukah kita ganti nama setelah menunaikan ibadah haji”


Di antara kebiasaan jama’ah haji Indonesia sepulang dari menunaikan ibadah haji adalah mengganti nama yang menurut mereka lebih Islami.  Selain itu, setelah pulang ke kampung halamannya mereka langsung mendapatkan gelar “Haji/Hajjah” di depan namanya.

Lalu bagaimanakah yang sesungguhnya Islam memandang itu ?

Untuk  menjawab itu,  mari kita simak fatwa dari Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta’ ketika diajukan pertanyaan : Apa hukum mengganti nama sepulang dari haji sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan jama’ah haji Indonesia? Mereka mengganti nama-nama mereka ketika di Makkah Al-Mukarramah atau di Madinah Al-Munawwarah, apakah amalan seperti ini sunnah atau bukan?
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta’  memberikan fatwanya sebagai berikut :
Dahulu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengganti nama-nama yang buruk dengan nama-nama yang baik.  Nah, Jika penggantian nama yang dilakukan oleh jama’ah haji Indonesia itu karena faktor tersebut (mencontoh seperti yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), maka ini boleh,
Jadi bukan karena yang lain, misalnya karena selesainya mereka dari ibadah haji ataupun ziarah ke masjid Nabawi untuk shalat di dalamnya.
Adapun jika mereka mengganti nama-nama mereka itu disebabkan karena mereka sedang di Makkah atau Madinah, atau karena selesai dari melaksanakan ibadah haji misalnya, maka ini termasuk bid’ah, bukan sunnah.


Nah, selain itu, di Indonesia biasanya orang yang sudah pernah melakukan ibadah haji, setelah pulang ke kampung halamannya langsung mendapatkan gelar “Haji/Hajjah” di depan namanya. Bagaimana sebenarnya hukum menggunakan gelar “Haji/Hajjah” dalam islam?
Untuk yang satu ini, mari kita simak penjelasan beikut ini.
Menurut  Fatwa Asy Syaikh Shalih As Suhaimi hafizhahullah      
Begini fatwa beliau :  gelar Haji/Hajjah yang dipasang didepan namanya adalah perkara yang berbahaya sekali, sebagian menggantungkan tanda di rumahnya, dengan harapan agar  ia dipanggil “Haji Fulan”. Tidak diragukan lagi, bahwa perbuatan seperti ini tidak boleh, dan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada perbuatan riya’.
Para shahabat yang berjumlah 120.000 orang, mereka juga telah menunaikan haji, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang menggunakan gelar “Haji/Hajjah”.
Penting bagi kita untuk mengetahui,  bahwa pada dasarnya amalan yang diharapkan padanya pahala di sisi Allah, adalah amalan yang dilakukan seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah, itu harus disembunyikan. Tidak mengandung harapan untuk dipuji atau disanjung dan yang semisalnya, agar mendapatkan pahala di sisi Allah.
Maka, jika seseorang yang pergi haji kemudian ingin dipanggil “Haji/Hajjah”, yang jelas dan telah dimaklumi bahwa panggilan “Haji” di sini mengandung pujian. Apalagi kalau sampai dia sudah pergi haji dan tidak mau dipanggil kecuali dengan sebutan “Pak Haji”.
Dikhawatirkan gugur amalannya, tiada pahala di sisi Allah.
Kemudian, selain hal tersebut,  haji itu kalah utama dibandingkan shalat, shalat jauh lebih utama dibandingkan haji. Zakat jauh lebih utama dibandingkan haji, puasa lebih utama dibandingkan haji. Toh, Shalat tidak pernah digunakan sebagai gelar didepan nama orang yang ahli shalat, begitu juga dengan zakat, zakat tidak pernah digunakan sebagai gelar, didepan nama orang yang gemar mengeluarkan zakat.

Wallahu a’lam bisshowab

Rabu, 02 April 2014

DAGING KHEWAN KETIKA DIBACAKAN "BASMALLAH" SAAT DISEMBELIH



DAGING KHEWAN KETIKA DIBACAKAN “BASMALLAH” SAAT DISEMBELIH

Oleh  :  pak Agus Balung

Dalam sebuah penelitian pada sebuah Universitas di Suriah,  sampai pada suatu penemuan ilmiah yang menunjukkan bahwa ternyata ada perbedaan besar dalam hal perkembang-biakan mikroba antara daging yang dibacakan basmallah dan takbir ketika disembelih dengan daging yang tidak dibacakan.

Tim medis yang terdiri dari 30 Profesor spesialis di berbagai bidang yang berbeda dalam ilmu kedokteran laboratorium, bakteri, virus, dan ilmu pengetahuan gizi dan kesehatan daging dan patologi anatomi, kesehatan hewan dan penyakit pada sistem pencernaan melakukan penelitian biologi dan anatomi selama tiga tahun. Penelitian itu untuk mempelajari perbedaan antara sembelihan yang dibacakan Asma Allah (Bismillah) dan membandingkannya dengan sembelihan yang disembelih dengan cara yang sama, akan tetapi tanpa menyebut nama Allah  (Bismillah)

Dan penelitian tersebut telah menunjukkan betapa pentingnya  menyebutkan nama Allah (Bismillahi Allahu Akbar) ketika menyembelih binatang ternak dan unggas. Dan hasil penelitian itu sungguh mengejutkan dan mengherankan dan yang digambarkan oleh anggota tim medis sebagai sebuah Mukjizat  yang tidak bisa digambarkan dan dikhayalkan. 

Penanggung jawab Humas dari penelitian ini yaitu Dr.Khalid Halawah berkata bahwa uji coba laboratorium membuktikan bahwa serat daging yang disembelih tanpa membaca Bismillah dan Takbir,  ini penuh dengan kuman dan darah yang tertahan dalam daging. 
Sementara daging yang disembelih dengan Bismillah dan Takbir benar-benar bebas dari bakteri dan steril tidak mengandung darah yang tersisa/tertahan. 

Dan Halawah mendeskripsikan dalam pembicaraannya kepada kantor berita Kuwait (KUNA) bahwa penemuan ini merupakan revolusi ilmiah besar di bidang kesehatan manusia dan keselamatannya yang terkait dengan kesehatan apa yang dia konsumsi berupa daging binatang ternak. Dan yang telah terbukti dengan secara pasti bahwa daging tersebut bersih dan steril dari kuman dengan membacakan Bismillah dan Takbir ketika menyembelihnuya.

Sementara itu, kata peneliti Abdul Qadir al-Dirani bahwa ketidaktahuan orang-orang di zaman kita terhadap Hikmah yang tersembunyi di balik penyebutan Bismillah ketika menyembelih menyebabkan manusia mengabaikan dan enggan untuk menyebutkan Bismillah dan Takbir ketika melakukan penyembelihan binatang ternak dan unggas. 

Dia berkata:”Yang mendorong saya untuk mempersembahkan tema/pembahasan ini dalam gaya bahasa akademi yang ilmiah, yang membangun arti penting dan keseriusan persoalan ini masyarakat, adalah berdasarkan apa yang dijelaskan oleh Profesor Muhammad Amin Syaikhu dalam kajian beliau tentang al-Quran dan apa yang beliau sampaikan dan kami dengar bahwa daging sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah (Bismillah) maka di dalamnya ada darah yang tersisa/tertahan serta tidak terbebas dari bakteri dan kuman.”

Dia menyebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan manusia untuk membaca Bismillah ketika menyembelih binatang, Dia Yang Mahakuasa berfirman dalam Surat al-Anam:
“فكلوا مما ذكر اسم الله عليه ان كنتم باياته مؤمنين ”
” Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya.” (QS. Al-An’aam: 118)

Dia Yang Mahamulia juga berfirman:
“ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه وانه لفسق “
” Dan janganlah kamu mamakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan…“ (QS. Al-An’aam: 121)

Subahanallah, Maha Suci Allah.   Oleh karena itu,  seharusnyalah kita tidak hanya  terbatas pada saat akan menyembelih khewan, sebagai seorang muslim, apapun aktivitas kita,  apapun yang akan kita kerjakan, kita mulai dengan membaca “Basmallah”