Oleh : pak Agus
Balung
Nama lengkapnya Hakim bin Hazam bin
Asad bin Abdul Gazi. Ia adalah keponakan Khadijah Al-Kubra, istri tercinta
Rasulullah SAW. Sebelum dan setelah kenabian beliau, ia adalah teman akrab
Rasulullah.
Sewaktu kaum Quraisy memboikot
Rasulullah dan kaum Muslimin, Hakim tidak mau ikut-ikutan, karena menghormati
Nabi. Ia baru masuk Islam ketika terjadi penaklukan kota Makkah dan terkenal
sebagai orang yang banyak jasa dan dermanya.
Sejarah mencatat, dialah satu-satunya
anak yang lahir dalam Ka’bah yang mulia. Pada suatu hari, ibunya yang sedang
hamil tua masuk ke dalam Ka’bah bersama rombongan orang-orang sebayanya untuk
melihat-lihat Baitullah itu. Hari itu Ka’bah dibuka untuk umum sesuai dengan
ketentuan.
Ketika berada dalam Ka’bah, perut si
ibu tiba-tiba terasa hendak melahirkan. Dia tidak sanggup lagi berjalan keluar
Ka’bah. Seseorang lalu memberikan tikar kulit kepadanya, dan lahirlah bayi itu
di atas tikar tersebut. Bayi itu adalah Hakim bin Hazam bin Khuwailid, yaitu
anak laki-laki dari saudara Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid.
Hakim bin Hazam dibesarkan dalam
keluarga keturunan bangsawan yang terhormat dan kaya raya. Oleh sebab itu,
tidak heran kalau dia menjadi orang pandai, mulia, dan banyak berbakti. Dia
diangkat menjadi kepala kaumnya dan diserahi urusan rifadah (lembaga yang
menangani orang-orang yang kehabisan bekal ketika musim haji) di masa
jahiliyah. Untuk itu dia banyak mengorbankan harta pribadinya.
Dia bijaksana dan bersahabat dekat
dengan Rasulullah sebelum beliau menjadi Nabi. Sekalipun Hakim bin Hazam lebih
tua sekitar lima tahun dari Nabi SAW, tetapi dia lebih suka berteman dan
bergaul dengan beliau. Rasulullah mengimbanginya pula dengan kasih sayang dan
persahabatan yang lebih akrab. Kemudian ditambah pula dengan hubungan
kekeluargaan—karena Rasulullah mengawini bibi Hakim, Khadijah binti
Khuwailid—hubungan di antara keduanya bertambah erat.
Walaupun hubungan persahabatan dan
kekerabatan antara keduanya demikian erat, ternyata Hakim tidak segera masuk
Islam dan mengakui kenabian Muhammad SAW. Namun masuk Islam sesudah pembebasan
kota Makkah dari kekuasaan kafir Quraisy, kira-kira dua puluh tahun sesudah
Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi dan Rasul.
Orang-orang memperkirakan Hakim bin
Hazam—yang dikaruniai Allah akal sehat dan pikiran tajam ditambah dengan
hubungan kekeluargaan—serta persahabatan yang akrab dengan Rasulullah—akan
menjadi mukmin pertama-tama yang membenarkan dakwah beliau, dan menerima
ajarannya dengan spontan. Tetapi Allah berkehendak lain. Dan kehendak Allah
jualah yang berlaku.
Setelah memeluk Islam dan merasakan
nikmat iman, timbullah penyesalan mendalam di hati Hakim. Dia merasa umurnya
hampir habis dalam kemusyrikan dan mendustakan Rasulullah.
Putranya pernah melihat dia
menangis, lalu bertanya, “Mengapa ayah menangis?”
“Banyak sekali hal-hal yang
menyebabkan ayahmu menangis, hai anakku!” jawab Hakim. “Pertama, keterlambatan
masuk Islam menyebabkan aku tertinggal berbuat banyak kebajikan. Seandainya aku
nafkahkan emas sepenuh bumi, belum seberapa artinya dibandingkan dengan
kebajikan yang mungkin aku peroleh dengan Islam. Kedua, sesungguhnya Allah
telah menyelamatkan dalam Perang Badar dan Uhud. Lalu aku berkata kepada diriku
ketika itu, aku tidak lagi akan membantu kaum Quraisy memerangi Muhammad, dan
tidak akan keluar dari kota Makkah. Tetapi aku senantiasa ditarik-tarik kaum
Quraisy untuk membantu mereka. Ketiga, setiap aku hendak masuk Islam, aku lihat
pemimpin-pemimpin Quraisy yang lebih tua tetap berpegang pada
kebiasaan-kebiasaan jahiliyah. Lalu aku ikuti saja mereka secara fanatik.”
Hakim melanjutkan, “Kini aku
menyesal, mengapa aku tidak masuk Islam lebih dini. Yang mencelakakan kita
tidak lain melainkan fanatik buta terhadap bapak-bapak dan orang-orang tua
kita. Bagaimana aku tidak akan menangis karenanya, hai anakku?”
Rasulullah pun heran terhadap
orang-orang yang berpikiran tajam dan berpengetahuan luas macam Hakim bin
Hazam, tetapi menutupi diri untuk menerima Islam. Padahal dia dan golongan
orang-orang yang seperti dirinya ingin segera masuk Islam.
Semalam sebelum memasuki kota
Makkah, Rasulullah bersabda kepada para sahabat, “Di Makkah terdapat empat
orang yang tidak suka kepada kemusyrikan, dan lebih cenderung kepada Islam.”
“Siapa mereka itu, ya Rasulullah,”
tanya para sahabat.
“Mereka adalah Attab bin Usaid,
Jubair bin Muth’im, Hakim bin Hazam, dan Suhail bin Amr. Maka dengan karunia
Allah, mereka masuk Islam secara serentak,” jawab Rasulullah .
Ketika Rasulullah masuk kota Makkah
sebagai pemenang, beliau tidak ingin memperlakukan Hakim bin Hazam, melainkan
dengan cara terhormat. Maka beliau perintahkan agar disampaikan beberapa
pengumuman. “Siapa yang mengaku tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa,
tiada sekutu bagi-Nya, dan mengaku bahwa Muhammad sesungguhnya hamba Allah dan
Rasul-Nya, dia aman. Siapa yang duduk di Ka’bah, lalu meletakkan senjata, dia
aman. Siapa yang mengunci pintu rumahnya, dia aman. Siapa yang masuk ke rumah
Abu Sufyan, dia aman. Siapa yang masuk ke rumah Hakim bin Hazam, dia aman.”
Rumah Hakim bin Hazam terletak di
kota Makkah bagian bawah, sedang rumah Abu Sufyan bin Harb terletak di bagian
atas kota Makkah. Hakim bin Hazam kemudian memeluk Islam dengan sepenuh hati,
dengan iman yang mendarah daging di kalbunya. Dia bersumpah akan selalu
menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan jahiliyah dan menghentikan bantuan
dana kepada Quraisy untuk memenuhi kebutuhan Rasulullah dan para sahabat
beliau. Hakim menepati sumpahnya dengan sungguh-sungguh.
Setelah masuk Islam, Hakim bin Hazam
pergi menunaikan ibadah haji. Dia membawa seratus ekor unta yang diberinya
pakaian kebesaran yang megah. Kemudian unta-unta itu disembelihnya sebagai
kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Waktu haji tahun berikutnya, dia
wukuf di Arafah beserta seratus orang hamba sahayanya. Masing-masing sahaya
tergantung di lehernya sebuah kalung perak bertuliskan kalimat, “Bebas karena
Allah Azza wa jalla, dari Hakim bin Hazam”. Selesai menunaikan ibadah haji,
semua budak itu dimerdekakan.
Ketika naik haji ketiga kalinya,
Hakim bin Hazam mengurbankan seribu ekor biri-biri yang disembelihnya di Mina,
untuk dimakan dagingnya oleh fakir miskin, guna mendekatkan dirinya kepada
Allah SWT.
Seusai Perang Hunain, Hakim bin
Hazam meminta harta rampasan kepada Rasulullah, yang kemudian diberi oleh
beliau. Kemudian ia meminta lagi, diberikan lagi oleh Rasulullah. Beliau lalu
berkata kepada Hakim, “Sesungguhnya harta itu manis dan enak. Siapa yang
mengambilnya dengan rasa syukur dan rasa cukup, dia akan diberi berkah dengan
harta itu. Dan siapa yang mengambilnya dengan nafsu serakah, dia tidak akan
mendapat berkah dengan harta itu. Bahkan dia seperti orang makan yang tidak
pernah merasa kenyang. Tangan yang di atas (memberi) lebih baik daripada tangan
yang di bawah (meminta atau menerima).”
Mendengar sabda Rasulullah tersebut,
Hakim bin Hazam bersumpah, “Ya Rasulullah, demi Allah yang mengutus engkau
dengan agama yang hak, aku berjanji tidak akan meminta-minta apa pun kepada
siapa saja sesudah ini. Dan aku berjanji tidak akan mengambil sesuatu dari
orang lain sampai aku berpisah dengan dunia.”
Sumpah tersebut dipenuhi Hakim
dengan sungguh-sungguh. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, dia disuruh agar
mengambil gajinya dari Baitul Mal, tetapi dia tidak mengambilnya. Tatkala
jabatan khalifah pindah kepada Umar bin Khathab, Hakim pun tidak mau mengambil
gajinya setelah dipanggil beberapa kali.
Khalifah Umar mengumumkan di hadapan
orang banyak, “Wahai kaum Muslimin, aku telah memanggil Hakim bin Hazam
beberapa kali supaya mengambil gajinya dari Baitul Mal, tetapi dia tidak
mengambilnya.”
Demikianlah, sejak mendengar sabda
Rasulullah itu, Hakim selamanya tidak mau mengambil sesuatu dari seseorang
sampai dia meninggal.
Sumber: Shuwar Min Hayaatis Shahabah karya Abdurrahman Ra’fat Basya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar