Senin, 18 Februari 2013

DAN...MANTAN PIMRED MEDIA PORNO ITUPUN...INSYAF



Oleh  :  pak Agus Balung

Kuakui, aku sangat kotor. Aku bukan hanya memungut sampah. Bahkan, akulah sampah itu. Kini, aku belajar mandi bersih sebersih-bersihnya.  Melangkah yang benar menuju Allah. Belajar untuk mempertanggungjawabkan semua anggota tubuh  dengan benar. Tangan digunakan untuk menulis yang baik-baik.  Memasukkan  ke  mulut dari hasil yang baik. Kaki melangkah  menghadap ke kiblat. Bukan ke tempat-tempat dugem. Aku belajar untuk itu ...
Ia telah bergelut dalam sebuah tabloid porno selama enam tahun. Menulis berita dan mengumbar gambar-gambar syahwat telah menjadi dunianya. Namun, dalam satu momen, akhirnya ia insyaf, kembali ke jalan Ilahi. Berikut ini penuturanya.

Namaku Tasmi. Kini, usiaku 30-an tahun. Bapakku Jawa, ibuku Sunda. Aku lahir di tengah-tengah kesibukan orang tua yang bekerja sebagai pegawai sebuah perusahaan minyak di sebuah kota nun di pulau Sumatera, suatu hari pada tahun 1970-an. Melihatku tumbuh menjadi anak yang cerdas, saat memasuki SMP, orangtuaku memasukkan aku ke sebuah lembaga pendidikan favorit berbasis nonmuslim.
Kelak, dari sinilah tiket masuk menuju pintu pergaulan bebasku dengan  dunia luar menemukan tempatnya. Meski sesungguhnya Bapak dan Ibuku rajin menanamkan nilai-nilai luhur agama Islam sejak kecil.  

Aku bukan siapa-siapa ketika bekerja sebagai wartawan di sebuah surat kabar harian. Gaji pas-pasan. Setiap hari bergelantungan dari satu bis ke bis lainnya. Bulir-bulir keringat mengucur sepanjang hari. Saat hari menyembunyikan sinarnya, kembali aku bersahabat dengan sepetak ruang sumpek. Kontrakan. Di sini aku menghimpun segenap energi, sebagai bekal, supaya kuat bekerja keesokan harinya.
Tahun 2000, kehidupanku berubah drastis setelah aku dipercaya menduduki puncak karir tertinggi, pemimpin redaksi, di sebuah tabloid porno terbesar saat itu. Dengan oplah besar hingga ratusan ribu, aku menerima upah besar setiap bulannya. Jutaan rupiah. Ditambah bonus-bonus, hidupku benar-benar bertabur uang. Ditambah fasilitas di luar gaji, mobil mewah tak ubahnya baju. Satu usang, mobil lain kudapat.
Di mana ada gula, di situ pula semut berkerumun. Duduk di puncak karir, aku benar-benar mendapat perlakuan istimewa. Di kantor, sapaan ramah dan senyum hangat bertebaran menyambutku. Jajaran staf siap menjalankan segenap perintah. Di luar sana, satu dua orang tak dikenal menyapaku bersahabat. Meski aku sama-sekali tak mengenalinya.

Begitulah. Saat puncak kemegahan benar-benar berada dalam genggamanku, dari staf paling bawah, hingga orang yang tidak aku kenal menyapaku ramah. Mereka mengerubungiku, selayak gula yang selalu dikerubungi semut. Aku benar-benar terbuai. Segenap kemegahan itu membuatku lupa penderitaan orang lain. Nun di kedalaman hati, tidak ada lagi rasa sensitif tersisa. Kebal. Mati rasa. Aku lupa diri. Sombong. Persetan dengan derita orang lain. Hidup dengan kantong tebal dan berkelimpahan fasilitas membuatku hampir lupa segalanya.  
Maka, kutinggalkan semua tentang Islam. Puasa Ramadhan tak ubahnya dagelan. Main-main saja. Pagi puasa, pukul 11 makan. Melihatku tidak berpuasa, anak buah ikut serta. Kami membangkang berjamaah. Belum lagi dengan pergaulanku dengan kilau gemerlapnya kehidupan dunia malam. Dugem menjadi ritual setiap pekannya.
Dalam seminggu, dua tiga kali, bersama teman-teman, aku rutin menyambangi arena pesta malam itu. Tak peduli dengan biaya yang luar biasa besar yang harus kubayar. Uang Rp. 1 juta hingga Rp. 2 juta melayang setiap kali bertandang ke gemerlap kehidupan dunia malam. 

Ternyata Akulah Sampah itu  !
Kuakui, aku sangat kotor. Aku bukan hanya memungut sampah. Bahkan, akulah sampah itu! Sejak awal aku bekerja di tabloid mingguan itu aku menafikan bahwa ini tabloid pornografi. Dilarang. Melanggar hukum. Merusak moral. Aku tidak peduli itu. Dan aku tidak mau peduli. Ini adalah bisnis. Titik!
Enam tahun, 2000-2006, aku total di dalamnya. Aku duduk di empuknya puncak karir. Dengan gaji besar. Dengan fasilitas mewah. Dengan segenap limpahan materi itu, siapa yang tidak ingin. Di luar sana, banyak orang mengincarnya. Bisnis pornografi ini menggeliat luar biasa. Media ini berkembang pesat. Dengan  pola pikir yang seragam: ini bisnis, soal mau rusak atau tidak itu urusan masyarakat, kalau tidak mau membaca, jangan membeli, selama pemerintah tidak melarang kami, kami jalan terus.
Oplah terus merangkak naik. Dari semula yang hanya cetak 30 ribu eksemplar per minggunya, melonjak tajam hingga sempat cetak sebanyak 100 ribu eksemplar. Walaupun sempat turun, itu sesaat saja. Khalayak sudah terlalu menikmati dengan totalitas suguhan gambar-gambar pengumbar syahwat yang diumbar di tabloid kami. Secara bisnis, kami sukses merebut hati pasar.
Jika seseorang sudah kecanduan dengan sebuah hidangan, maka berapa pun, dimana pun hidangan itu tersaji, dia akan mengejarnya. Meski bandrol tabloid kami lebih mahal, nyatanya tabloid porno ini laris manis bak kacang goreng. Totalitas gambar-gambar nyaris telanjang yang kami tampilkan di tabloid itu, membuat mata banyak orang berduyun-duyun berebut membelinya. Kami meraup keuntungan besar.
Dengan uang sebesar Rp. 500 ribu, kami bebas mengekspos gambar perempuan pengumbar syahwat di halaman sampul tabloid. Di halaman dalam, foto model dengan segenap keindahan tubuhnya hanya kami hargai Rp. 100 ribu saja. Sepanjang hari, kru kami habis-habisan membidik pose-pose si model untuk mendapat gambar-gambar terbaiknya. Dengan satu orang model, kru kami bisa menghasilkan 40 hingga 100 frame gambar. Ya, dengan modal yang relatif kecil itu, kami meraup keuntungkan ratusan juta!

Lalu, apa bedanya aku dengan germo? Atau, apa bedanya pula aku dengan bandar narkoba? Jika aku memberi Anda sebutir ekstasi, misalnya, maka sebutir ekstasi itu hanya Anda telan sendiri, dan hanya tubuh Anda sendiri yang merasakan sesudahnya.
Sementara, ketika aku memberi Anda satu tabloid, berapa puluh orang yang membacanya. Seseorang yang terlanjur candu narkoba, mungkin masih bisa diterapi. Lalu bagaimana dengan orang yang perilakunya sudah menyimpang, kecendrungan seksnya tidak karuan karena suguhan gambar-gambar porno di tabloid itu? Adakah terapi untuk para pecandu seksual? Apa terapi bagi pecandu masturbasi?
Ternyata, pornografi lebih ganas dari narkoba. Aku sangat kotor. Aku bukan hanya memungut sampah. Bahkan, akulah si sampah itu !

Hampa
Aku lelah. Hampa. Aku memiliki apa-apa, tapi tidak punya apa-apa. Lebih baik bekerja sebagai wartawan sebuah harian dengan gaji ratusan ribu (saat itu tahun 1998/1999), daripada menjadi pemimpin redaksi dengan gaji jutaan, tapi seperti itu ...
“Saya mau keluar.”
“Kenapa, Mbak?”
“Enggak tahu. Saya mau keluar.”
“Jangan keluar, Mbak. Sebentar lagi deviden turun.”
“Tidak. Saya mau keluar.”
Maka, pada pertengahan Januari 2006, aku benar-benar keluar dari perusahaan tempatku enam tahun menghabiskan waktu dan pengabdianku. Sepanjang 2006, aku menghabiskan waktuku hanya di rumah. Aku benar-benar memutus hubungan dengan dunia luar. Sepanjang itu aku menghabiskan waktuku untuk sujud, sujud dan sujud.
Suatu siang, saat aku di rumah, seorang ibu mengetuk pintu rumah.
“Tok...tok...tok...Assalamu’alaikum!
Wa’alaikum salam...”
“Ini Mbak, ada jajan seadanya.”
“Terima kasih, Ibu.”
Setelah menyerahkan sepiring pizza, si ibu itu pamit. Dia Ibu Ely, tetangga yang kelak banyak mengenalkanku untuk lebih dekat dengan Sang Pemilik Kehidupan. “Alhamdulillah, ada yang mau peduli.”
Keesokan harinya, tak sengaja kami bertemu lagi.
“Mbak, besok ikut taklim.”
“Saya enggak bisa ngaji, Bu.”
“Enggak apa-apa. Pokoknya besok ikut.”
Aku datang ke majelis taklim itu dengan niat konyol: biar tidak jadi bahan omongan. Di majelis taklim, aku benar-benar tidak bisa membaca apa-apa. Hanya bisa membaca surah al-Fatihah. Sementara ibu-ibu jamaah sudah pandai mengaji.  Suatu hari, empat bulan setelah melepas pucuk karir di tabloid porno itu, seseorang menawariku untuk membuat tabloid yang sama (tabloid porno). Saya hanya tertawa. Tidak!  Cukup! Cukup!
Baca firman-Nya berikut ini. “...Setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk kawannya (yang menyesatkannya); sehingga apabila mereka masuk semuanya berkatalah orang-orang yang masuk kemudian di antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu: ‘Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka...’”
Bayangkan. Berapa ribu masyarakat Indonesia yang akan menunjuk aku. “Itu ya Allah ... Gara-gara dia saya masuk ke neraka...”
Tidak! Cukup! Sudah! Ibu Ely selalu membesarkan hatiku. “Percayalah Mbak Tasmi, Allah tidak sejahat itu ...”

Lezatnya Zikir
Melalui Ibu Ely, aku akrab dengan majelis taklim. Aku mendapatkan yang luar biasa dari taklim itu. Aku merasa taklim itu indah sekali. Lezat sekali. Pengaruhnya sangat luar biasa dalam kehidupanku.
Aku menangis. Kenapa kok baru sekarang aku tahu Islam. Sejak pelan-pelan melangkah hidup lurus, aku tidak pernah merasa takut dengan apa yang akan terjadi besok. Jika dahulu aku sudah berpikir tahun depan harus begini-begitu, punya ini -punya itu,  maka sekarang jangankan tahun, untuk besok pun aku hampir tidak berfikir.
Menyesal, pasti. Tapi yang terpenting, bagaimana penerimaan kita pada diri kita sendiri. Kalau kita selalu memberontak, kita tidak akan sampai ke arah yang ingin kita capai. Karenanya, ikhlas dan ridha menjadi keharusan.
Dulu, aku kaya. Tapi tidak eksklusif. Sekarang, aku tidak kaya, tapi mewah. Dulu, aku hidup dalam kesibukan siang dan gemerlapnya malam. Sekarang, aku merasa tenang dalam kesendirian. Aku melepaskan dari kenyamanan hidup.
Kurang itu justru lebih. Begitu orang bijak bilang. Sekarang inilah hidupku berada di puncak kemewahan. Saat aku lebih dekat dengan sujud, berkomunikasi dengan Allah. Aku tinggal bilang apa pun yang aku rasakan.

Kini, aku hanya ingin melangkah yang benar menuju Allah. Aku belajar mempertanggungjawabkan semua anggota tubuh ini dengan benar. Tangan digunakan untuk yang baik-baik. Untuk makan dari rezeki yang baik. Memasukkan sesuatu ke mulut dari hasil yang baik. Kaki melangkah untuk menghadap ke kiblat. Bukan ke tempat-tempat dugem. Semoga menjadi ibrah
Subahanallah…..



Tidak ada komentar: