Oleh : pak Agus Balung
Kuakui, aku sangat kotor. Aku bukan
hanya memungut sampah. Bahkan, akulah sampah itu. Kini, aku belajar mandi
bersih sebersih-bersihnya. Melangkah yang benar menuju Allah. Belajar
untuk mempertanggungjawabkan semua anggota tubuh dengan benar. Tangan
digunakan untuk menulis yang baik-baik. Memasukkan ke mulut
dari hasil yang baik. Kaki melangkah menghadap ke kiblat. Bukan ke
tempat-tempat dugem. Aku belajar untuk itu ...
Ia telah bergelut dalam sebuah
tabloid porno selama enam tahun. Menulis berita dan mengumbar gambar-gambar
syahwat telah menjadi dunianya. Namun, dalam satu momen, akhirnya ia insyaf,
kembali ke jalan Ilahi. Berikut ini penuturanya.
Namaku Tasmi. Kini, usiaku 30-an
tahun. Bapakku Jawa, ibuku Sunda. Aku lahir di tengah-tengah kesibukan orang
tua yang bekerja sebagai pegawai sebuah perusahaan minyak di sebuah kota nun di
pulau Sumatera, suatu hari pada tahun 1970-an. Melihatku tumbuh menjadi anak
yang cerdas, saat memasuki SMP, orangtuaku memasukkan aku ke sebuah lembaga
pendidikan favorit berbasis nonmuslim.
Kelak, dari sinilah tiket masuk
menuju pintu pergaulan bebasku dengan dunia luar menemukan tempatnya.
Meski sesungguhnya Bapak dan Ibuku rajin menanamkan nilai-nilai luhur agama
Islam sejak kecil.
Aku bukan siapa-siapa ketika bekerja
sebagai wartawan di sebuah surat kabar harian. Gaji pas-pasan. Setiap hari
bergelantungan dari satu bis ke bis lainnya. Bulir-bulir keringat mengucur
sepanjang hari. Saat hari menyembunyikan sinarnya, kembali aku bersahabat
dengan sepetak ruang sumpek. Kontrakan. Di sini aku menghimpun segenap energi,
sebagai bekal, supaya kuat bekerja keesokan harinya.
Tahun 2000, kehidupanku berubah
drastis setelah aku dipercaya menduduki puncak karir tertinggi, pemimpin
redaksi, di sebuah tabloid porno terbesar saat itu. Dengan oplah besar hingga
ratusan ribu, aku menerima upah besar setiap bulannya. Jutaan rupiah. Ditambah
bonus-bonus, hidupku benar-benar bertabur uang. Ditambah fasilitas di luar
gaji, mobil mewah tak ubahnya baju. Satu usang, mobil lain kudapat.
Di mana ada gula, di situ pula semut
berkerumun. Duduk di puncak karir, aku benar-benar mendapat perlakuan istimewa.
Di kantor, sapaan ramah dan senyum hangat bertebaran menyambutku. Jajaran staf
siap menjalankan segenap perintah. Di luar sana, satu dua orang tak dikenal
menyapaku bersahabat. Meski aku sama-sekali tak mengenalinya.
Begitulah. Saat puncak kemegahan
benar-benar berada dalam genggamanku, dari staf paling bawah, hingga orang yang
tidak aku kenal menyapaku ramah. Mereka mengerubungiku, selayak gula yang
selalu dikerubungi semut. Aku benar-benar terbuai. Segenap kemegahan itu
membuatku lupa penderitaan orang lain. Nun di kedalaman hati, tidak ada lagi
rasa sensitif tersisa. Kebal. Mati rasa. Aku lupa diri. Sombong. Persetan
dengan derita orang lain. Hidup dengan kantong tebal dan berkelimpahan
fasilitas membuatku hampir lupa segalanya.
Maka, kutinggalkan semua tentang
Islam. Puasa Ramadhan tak ubahnya dagelan. Main-main saja. Pagi puasa, pukul 11
makan. Melihatku tidak berpuasa, anak buah ikut serta. Kami membangkang
berjamaah. Belum lagi dengan pergaulanku dengan kilau gemerlapnya kehidupan
dunia malam. Dugem menjadi ritual setiap pekannya.
Dalam seminggu, dua tiga kali,
bersama teman-teman, aku rutin menyambangi arena pesta malam itu. Tak peduli
dengan biaya yang luar biasa besar yang harus kubayar. Uang Rp. 1 juta hingga
Rp. 2 juta melayang setiap kali bertandang ke gemerlap kehidupan dunia
malam.
Ternyata
Akulah Sampah itu !
Kuakui, aku sangat kotor. Aku bukan
hanya memungut sampah. Bahkan, akulah sampah itu! Sejak awal aku bekerja di
tabloid mingguan itu aku menafikan bahwa ini tabloid pornografi. Dilarang.
Melanggar hukum. Merusak moral. Aku tidak peduli itu. Dan aku tidak mau peduli.
Ini adalah bisnis. Titik!
Enam tahun, 2000-2006, aku total di
dalamnya. Aku duduk di empuknya puncak karir. Dengan gaji besar. Dengan
fasilitas mewah. Dengan segenap limpahan materi itu, siapa yang tidak ingin. Di
luar sana, banyak orang mengincarnya. Bisnis pornografi ini menggeliat luar
biasa. Media ini berkembang pesat. Dengan pola pikir yang seragam: ini
bisnis, soal mau rusak atau tidak itu urusan masyarakat, kalau tidak mau
membaca, jangan membeli, selama pemerintah tidak melarang kami, kami jalan
terus.
Oplah terus merangkak naik. Dari
semula yang hanya cetak 30 ribu eksemplar per minggunya, melonjak tajam hingga
sempat cetak sebanyak 100 ribu eksemplar. Walaupun sempat turun, itu sesaat
saja. Khalayak sudah terlalu menikmati dengan totalitas suguhan gambar-gambar
pengumbar syahwat yang diumbar di tabloid kami. Secara bisnis, kami sukses
merebut hati pasar.
Jika seseorang sudah kecanduan
dengan sebuah hidangan, maka berapa pun, dimana pun hidangan itu tersaji, dia
akan mengejarnya. Meski bandrol tabloid kami lebih mahal, nyatanya tabloid
porno ini laris manis bak kacang goreng. Totalitas gambar-gambar nyaris
telanjang yang kami tampilkan di tabloid itu, membuat mata banyak orang
berduyun-duyun berebut membelinya. Kami meraup keuntungan besar.
Dengan uang sebesar Rp. 500 ribu,
kami bebas mengekspos gambar perempuan pengumbar syahwat di halaman sampul
tabloid. Di halaman dalam, foto model dengan segenap keindahan tubuhnya hanya
kami hargai Rp. 100 ribu saja. Sepanjang hari, kru kami habis-habisan membidik
pose-pose si model untuk mendapat gambar-gambar terbaiknya. Dengan satu orang
model, kru kami bisa menghasilkan 40 hingga 100 frame gambar. Ya, dengan modal
yang relatif kecil itu, kami meraup keuntungkan ratusan juta!
Lalu, apa bedanya aku dengan germo?
Atau, apa bedanya pula aku dengan bandar narkoba? Jika aku memberi Anda sebutir
ekstasi, misalnya, maka sebutir ekstasi itu hanya Anda telan sendiri, dan hanya
tubuh Anda sendiri yang merasakan sesudahnya.
Sementara, ketika aku memberi Anda
satu tabloid, berapa puluh orang yang membacanya. Seseorang yang terlanjur
candu narkoba, mungkin masih bisa diterapi. Lalu bagaimana dengan orang yang
perilakunya sudah menyimpang, kecendrungan seksnya tidak karuan karena suguhan
gambar-gambar porno di tabloid itu? Adakah terapi untuk para pecandu seksual?
Apa terapi bagi pecandu masturbasi?
Ternyata, pornografi lebih ganas
dari narkoba. Aku sangat kotor. Aku bukan hanya memungut sampah. Bahkan, akulah
si sampah itu !
Hampa
Aku lelah. Hampa. Aku memiliki
apa-apa, tapi tidak punya apa-apa. Lebih baik bekerja sebagai wartawan sebuah
harian dengan gaji ratusan ribu (saat itu tahun 1998/1999), daripada menjadi
pemimpin redaksi dengan gaji jutaan, tapi seperti itu ...
“Saya mau keluar.”
“Kenapa, Mbak?”
“Enggak tahu. Saya mau keluar.”
“Jangan keluar, Mbak. Sebentar lagi
deviden turun.”
“Tidak. Saya mau keluar.”
Maka, pada pertengahan Januari 2006,
aku benar-benar keluar dari perusahaan tempatku enam tahun menghabiskan waktu
dan pengabdianku. Sepanjang 2006, aku menghabiskan waktuku hanya di rumah. Aku
benar-benar memutus hubungan dengan dunia luar. Sepanjang itu aku menghabiskan
waktuku untuk sujud, sujud dan sujud.
Suatu siang, saat aku di rumah,
seorang ibu mengetuk pintu rumah.
“Tok...tok...tok...Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam...”
“Ini Mbak, ada jajan seadanya.”
“Terima kasih, Ibu.”
Setelah menyerahkan sepiring pizza,
si ibu itu pamit. Dia Ibu Ely, tetangga yang kelak banyak mengenalkanku untuk
lebih dekat dengan Sang Pemilik Kehidupan. “Alhamdulillah, ada yang mau
peduli.”
Keesokan harinya, tak sengaja kami
bertemu lagi.
“Mbak, besok ikut taklim.”
“Saya enggak bisa ngaji, Bu.”
“Enggak apa-apa. Pokoknya besok
ikut.”
Aku datang ke majelis taklim itu
dengan niat konyol: biar tidak jadi bahan omongan. Di majelis taklim, aku
benar-benar tidak bisa membaca apa-apa. Hanya bisa membaca surah al-Fatihah.
Sementara ibu-ibu jamaah sudah pandai mengaji. Suatu hari, empat bulan
setelah melepas pucuk karir di tabloid porno itu, seseorang menawariku untuk
membuat tabloid yang sama (tabloid porno). Saya hanya tertawa. Tidak!
Cukup! Cukup!
Baca firman-Nya berikut ini.
“...Setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk kawannya (yang
menyesatkannya); sehingga apabila mereka masuk semuanya berkatalah orang-orang
yang masuk kemudian di antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu:
‘Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada
mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka...’”
Bayangkan. Berapa ribu masyarakat
Indonesia yang akan menunjuk aku. “Itu ya Allah ... Gara-gara dia saya masuk
ke neraka...”
Tidak! Cukup! Sudah! Ibu Ely selalu
membesarkan hatiku. “Percayalah Mbak Tasmi, Allah tidak sejahat itu ...”
Lezatnya
Zikir
Melalui Ibu Ely, aku akrab dengan
majelis taklim. Aku mendapatkan yang luar biasa dari taklim itu. Aku merasa
taklim itu indah sekali. Lezat sekali. Pengaruhnya sangat luar biasa dalam
kehidupanku.
Aku menangis. Kenapa kok baru
sekarang aku tahu Islam. Sejak pelan-pelan melangkah hidup lurus, aku tidak
pernah merasa takut dengan apa yang akan terjadi besok. Jika dahulu aku sudah
berpikir tahun depan harus begini-begitu, punya ini -punya itu, maka
sekarang jangankan tahun, untuk besok pun aku hampir tidak berfikir.
Menyesal, pasti. Tapi yang
terpenting, bagaimana penerimaan kita pada diri kita sendiri. Kalau kita selalu
memberontak, kita tidak akan sampai ke arah yang ingin kita capai. Karenanya,
ikhlas dan ridha menjadi keharusan.
Dulu, aku kaya. Tapi tidak
eksklusif. Sekarang, aku tidak kaya, tapi mewah. Dulu, aku hidup dalam
kesibukan siang dan gemerlapnya malam. Sekarang, aku merasa tenang dalam
kesendirian. Aku melepaskan dari kenyamanan hidup.
Kurang itu justru lebih. Begitu
orang bijak bilang. Sekarang inilah hidupku berada di puncak kemewahan. Saat
aku lebih dekat dengan sujud, berkomunikasi dengan Allah. Aku tinggal bilang
apa pun yang aku rasakan.
Kini, aku hanya ingin melangkah yang
benar menuju Allah. Aku belajar mempertanggungjawabkan semua anggota tubuh ini
dengan benar. Tangan digunakan untuk yang baik-baik. Untuk makan dari rezeki
yang baik. Memasukkan sesuatu ke mulut dari hasil yang baik. Kaki melangkah
untuk menghadap ke kiblat. Bukan ke tempat-tempat dugem. Semoga menjadi ibrah.
Subahanallah…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar