Oleh : pak
Agus
.
Hidup adalah Nikmat
Pernahkah kita berpikir jika hidup ini adalah nikmat? Dalam kacamata logika, bagi seseorang yang dikaruniai limpahan materi dalam hidupnya, boleh jadi menjawab ‘ya’. Kehidupan dunia ini adalah nikmat dan sesuatu yang menyenangkan. Sedang mereka yang ditakdirkan hidup tanpa materi yang cukup, mungkin mereka berkata ‘tidak’. Hidup adalah beban dan semata tumpukan penderitaan saja.
Seiring jauhnya seseorang dari agama
dan rusaknya moral manusia, dengan mudah kita mendapati mereka yang menganggap
hidup di dunia adalah beban. Mereka tak mampu lagi berpikir positif, sebab
hidupnya saja adalah beban. Alih-alih
memberikan manfaat kepada orang lain, dia sendiri sudah terkungkung beban
pemikirannya yang sempit. Hasilnya sangat mudah ditebak, orang yang bertipe
semacam itu akan mudah mengalami stress, dan hidupnya merasa tertekan. Lebih
parah lagi jika ternyata orang itu menganggap bunuh diri adalah solusi dari
kebuntuan hidupnya.
“Sesungguhnya Kami
telah
menunjukkan
kepadanya
jalan
yang
lurus,
ada
yang
bersyukur
dan
ada
pula
yang
kufur.”
(Al-Insan
: 3)
Padahal Allah Subhananhu wa Ta’ala
telah menegaskan, jika hidup adalah nikmat. Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala
mengutarakan dua nikmat besar yang telah Allah berikan kepada manusia. Nikmat
pertama, penciptaan manusia itu sendiri. Dia diciptakan sedang sebelumnya dia
tak pernah ada. Manusia lahir ke muka bumi sedang dulunya dia sama sekali tak
dikenal. Bahkan oleh sang ibu yang melahirkan anak itu, sebagaimana para orang
tua, tak pernah tahu seperti apa anak yang kelak menjadi keturunan mereka.
Dalam urusan penciptaan ini, manusia sama sekali tak punya andil dan kuasa
sedikit pun, kecuali hanya wajib mensyukurinya.
Nikmat berikutnya terdapat pada
kemurahan Allah dengan diutusnya Rasul kepada manusia dan diturunkannya
al-Qur`an sebagai pegangan hidup. Rasul yang diutus lalu bertugas memberikan
penjelasan aturan dan rambu-rambu kehidupan di dunia. Suatu pedoman hidup yang
telah terangkum lengkap dalam al-Qur`an, petunjuk yang mampu mengantarkan
mereka kepada kebahagiaan dan ketenangan hidup. Baik di dunia terlebih di
akhirat kelak.
Berbeda dengan tipe manusia pertama,
orang yang pandai bersyukur memiliki secret power dalam kehidupannya. Dia
senantiasa mampu memandang segala persoalan dengan kacamata positif. Baginya, jatah hidup berarti kesempatan
untuk mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah kepadanya. Dia seakan-akan
tak punya waktu lagi untuk berleha-leha dan berbuat sia-sia. Sebab, nikmat yang
dia rasakan begitu banyak, tak sebanding dengan apa yang telah dia perbuat.
Jatah umurnya yang terus menyusut tak seimbang dengan pengabdiannya kepada
agama.
Alhasil, kehidupan orang yang pandai
bersyukur senantiasa aktif dan dinamis. Seluruh permasalahan dan aktivitasnya
menjadi lahan subur baginya untuk merefleksikan rasa syukur itu. Dalam
pikirannya, hanya satu saja yaitu menebarkan benih prestasi kebaikan
sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya.
Hidup adalah Pilihan
As-sabil (jalan) yang dimaksud pada ayat di atas adalah hidayah dari Allah berupa bayan (penjelasan) akan hakikat kehidupan manusia di dunia. Sebagaimana disebutkan, selain menciptakan manusia, Allah Ta’ala juga mengirimkan kepada mereka Rasul. Sebagai utusan Allah, maka Rasul bertugas mengajarkan mana jalan al-haq (kebenaran) dan mana jalan al-bathil (keburukan), mana al-huda (petunjuk) dan mana ad-dhalalah (sesat).
Rasul juga berkewajiban membimbing manusia untuk senantiasa istiqamah menjalani fitrahnya yang suci. Sebab, selain kedua nikmat di atas, nikmat berupa iman merupakan karunia terbesar yang Allah berikan kepada manusia.
Hidup adalah pilihan. Boleh jadi
ungkapan tersebut bisa mewakili keadaan manusia sekarang, sebab rupanya karunia
petunjuk ini sekaligus menyisakan ujian yang tak mudah bagi manusia. Dia
dihadapkan pada dua pilihan. Apakah mereka mampu bersyukur atas nikmat tersebut
atau justru mengingkari nikmat.
Kehidupan dunia dengan segala tawaran fasilitasnya kembali menjadi taruhan bagi manusia dalam menimbang kadar kesyukuran seseorang.
Kehidupan dunia dengan segala tawaran fasilitasnya kembali menjadi taruhan bagi manusia dalam menimbang kadar kesyukuran seseorang.
Allah hanya sebatas memberikan jalan
menuju surga dan menjelaskan cara meraih keselamatan itu. Sedang pilihan itu
berpulang kepada setiap diri manusia. Meski sudah menjadi fitrah dan pengakuan
setiap jiwa di alam arwah, tapi dia bukanlah garansi keselamatan
selama-lamanya. Sebab, iman merupakan perkara yang tak bisa diwariskan. Dia
bisa saja lenyap begitu saja dengan bujuk rayu dari tumpukan materi yang ada.
Makna Syukur yang Benar
Tidak jarang manusia bersyukur hanya jika mendapatkan nikmat berupa materi duniawi saja. Lalu luput mensyukuri nikmat yang jauh lebih hakiki berupa keimanan yang terjaga. Bagi seorang Muslim, iman adalah harga mati yang tak bisa ditawar lagi. Selama keimanan masih tertancap dalam raga, maka tak ada pilihan lain kecuali bersyukur kepada-Nya. Dalam shalat lima waktu, seorang hamba wajib mengulang-ulang permohonannya kepada Allah untuk diteguhkkan dalam nikmat iman tersebut. “Ihdina as-shirat al-mustaqim” tunjukilah kami jalan yang lurus.
Bersyukur tentu tak sekadar
membasahi lidah dengan ucapan syukur semata. Sebagaimana dia tak cukup untuk
diakui di dalam hati saja tanpa ada refleksi amalan kebaikan. Namun, sikap
syukur yang benar adalah ketika seseorang mampu menjadikan rasa syukur di hati
menjadi zikir di lidah dan berbuah kepada ketaatan kepada Allah semata.
Jangan Keliru Memilih
Dalam urusan keimanan, keliru
bersikap bisa berakibat sangat fatal. Ketika seseorang salah memilih presiden,
misalnya. Pilihan yang salah itu hanya berdampak pada penyesalan selama masa
periode kepemimpinan sang presiden itu. Namun, berbeda halnya ketika manusia
salah memilih jalan hidup. Ketika seseorang tidak mampu mempertahankan fitrah
pada dirinya, lalu mengingkari segala nikmat yang diberikan, maka hal ini
berujung kepada penyesalan seumur hidupnya. Lebih mengkhawatirkan lagi, sebab
kesengsaraan itu akan dirasakan selama-lamanya pada kehidupan abadi yang tiada
bertepi lagi.
Semoga kita menjadi
hamba yang pandai
bersyukur. Insya Allah, amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar