Minggu, 06 April 2014

Panggil Saya....."HAJI MANSYUR"



Panggil Saya…..”HAJI MANSYUR”

Oleh  :  pak Agus Balung



Untuk kesekian kalinya saya mendapatkan ilham sebagai  bahan tulisan buat artikel saya dari tamu yang datang untuk konsultasi ke tempat saya. Hari itu tamu saya datang dari Pamekasan, Madura. Sebenarnya keluhan beliau cuma stroke ringan dan selalu pusing. Ditengah tengah kosultasi, beliau berceloteh, bagaimana kalau saya ganti nama saja, biar sehat, gak sakit-sakitan, begitu kata beliau. Beliau berkata demikian, karena terinspirasi  saat nonton acara metafisika di salah satu stasiun televisi, nara sumbernya mengatakan bahwa dengan mengganti nama, dapat mengubah nasib sial menjadi bernasib baik. Saya gak jawab, diam saja. Tapi rekan kerja saya bilang, :  “Bisa saja, contohnya setiap selesai ibadah haji, selalu diganti namanya.”


Jawaban rekan kerja saya itu membuat saya penasaran. Lalu saya teringat peristiwa yang terjadi seminggu yang lalu. Saat itu saya shalat maghrib di Masjid jami’ Ubi 8. Saya bertemu dengan seorang kawan yang berasal dari tetangga desa, Bangsalsari, yang sudah saya kenal sebelumnya, tetapi belum tau namanya.  Karena merasa sama sama berasal dari Jember, maka saya cepat sekali merasa akrab, profesi kawan baru saya itu penarik becak. Nah, begitu kami bertemu lagi dimasjid untuk sama sama shalat maghrib, dia dengan rasa percaya diri yang tinggi mengulurkan tangannya, menjabat tangan saya dengan erat, sambil mengenalkan diri : “Haji Mansyur”.  Saya agak terperangah mendengarnya,  sampai saya lupa menyebutkan nama saya.


Suatu peristiwa yang mungkin sangat sederhana, bisa terjadi pada siapa saja, dan kapan saja. Tetapi tidak bagi saya. Bagi saya, itu lebih cenderung sebagai proklamasi diri dari teman saya itu, bahwa dia adalah seorang haji, walaupun dia seorang penarik becak.  Rupanya teman saya itu butuh pengakuan dari teman-temannya, terlebih lebih teman yang baru, seperti saya ini, bahwa dirinya sudah haji, dan menurutnya saya harus tau itu.


Fragmen sebabak diatas memaksa saya untuk buka buka literature tentang  : “Perlukah kita ganti nama setelah menunaikan ibadah haji”


Di antara kebiasaan jama’ah haji Indonesia sepulang dari menunaikan ibadah haji adalah mengganti nama yang menurut mereka lebih Islami.  Selain itu, setelah pulang ke kampung halamannya mereka langsung mendapatkan gelar “Haji/Hajjah” di depan namanya.

Lalu bagaimanakah yang sesungguhnya Islam memandang itu ?

Untuk  menjawab itu,  mari kita simak fatwa dari Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta’ ketika diajukan pertanyaan : Apa hukum mengganti nama sepulang dari haji sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan jama’ah haji Indonesia? Mereka mengganti nama-nama mereka ketika di Makkah Al-Mukarramah atau di Madinah Al-Munawwarah, apakah amalan seperti ini sunnah atau bukan?
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta’  memberikan fatwanya sebagai berikut :
Dahulu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengganti nama-nama yang buruk dengan nama-nama yang baik.  Nah, Jika penggantian nama yang dilakukan oleh jama’ah haji Indonesia itu karena faktor tersebut (mencontoh seperti yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), maka ini boleh,
Jadi bukan karena yang lain, misalnya karena selesainya mereka dari ibadah haji ataupun ziarah ke masjid Nabawi untuk shalat di dalamnya.
Adapun jika mereka mengganti nama-nama mereka itu disebabkan karena mereka sedang di Makkah atau Madinah, atau karena selesai dari melaksanakan ibadah haji misalnya, maka ini termasuk bid’ah, bukan sunnah.


Nah, selain itu, di Indonesia biasanya orang yang sudah pernah melakukan ibadah haji, setelah pulang ke kampung halamannya langsung mendapatkan gelar “Haji/Hajjah” di depan namanya. Bagaimana sebenarnya hukum menggunakan gelar “Haji/Hajjah” dalam islam?
Untuk yang satu ini, mari kita simak penjelasan beikut ini.
Menurut  Fatwa Asy Syaikh Shalih As Suhaimi hafizhahullah      
Begini fatwa beliau :  gelar Haji/Hajjah yang dipasang didepan namanya adalah perkara yang berbahaya sekali, sebagian menggantungkan tanda di rumahnya, dengan harapan agar  ia dipanggil “Haji Fulan”. Tidak diragukan lagi, bahwa perbuatan seperti ini tidak boleh, dan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada perbuatan riya’.
Para shahabat yang berjumlah 120.000 orang, mereka juga telah menunaikan haji, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang menggunakan gelar “Haji/Hajjah”.
Penting bagi kita untuk mengetahui,  bahwa pada dasarnya amalan yang diharapkan padanya pahala di sisi Allah, adalah amalan yang dilakukan seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah, itu harus disembunyikan. Tidak mengandung harapan untuk dipuji atau disanjung dan yang semisalnya, agar mendapatkan pahala di sisi Allah.
Maka, jika seseorang yang pergi haji kemudian ingin dipanggil “Haji/Hajjah”, yang jelas dan telah dimaklumi bahwa panggilan “Haji” di sini mengandung pujian. Apalagi kalau sampai dia sudah pergi haji dan tidak mau dipanggil kecuali dengan sebutan “Pak Haji”.
Dikhawatirkan gugur amalannya, tiada pahala di sisi Allah.
Kemudian, selain hal tersebut,  haji itu kalah utama dibandingkan shalat, shalat jauh lebih utama dibandingkan haji. Zakat jauh lebih utama dibandingkan haji, puasa lebih utama dibandingkan haji. Toh, Shalat tidak pernah digunakan sebagai gelar didepan nama orang yang ahli shalat, begitu juga dengan zakat, zakat tidak pernah digunakan sebagai gelar, didepan nama orang yang gemar mengeluarkan zakat.

Wallahu a’lam bisshowab

Tidak ada komentar: