Jumat, 29 November 2013

HISTORITICAL ILMU HIKMAH



HISTORITICAL  ILMU  HIKMAH

(SEPUTAR ILMU HIKMAH, Part : 5)

Oleh  :  pak Agus Balung


Banyak masyarakat kita punya anggapan bahwa Rajah, Wifiq, Isim dan Hizib adalah bagian dari ilmu hikmah. Padahal pengertian dari ilmu hikmah yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Rajah, Wifiq, Isim dan Hizib lebih tepat disebut sebagai ilmu kesaktian atau ilmu perdukunan. Dan sangat jauh berbeda dengan pemahaman ilmu hikmah yang sebenarnya.

Selama ini masyarakat kita menjadikan Rajah, Wifiq, Isim dan Hizib untuk memohon datangnya pertolongan yang diyakini mampu membantu mereka untuk memenuhi keperluan atau mewujudkan keinginan, dan ada juga yang menjadikannya sebagai media perlindungan diri dari segala marabahaya yang ada. Untuk pengasihan (guna-guna atau pelet), untuk kekebalan agar tidak mempan senjata tajam dan peluru, untuk penjagaan diri dari kejahatan jin dan syetan, untuk pengobatan beberapa macam penyakit, untuk memperlancar datangnya rizki, untuk meraih jabatan atau pangkat, dan kebutuhan duniawi lainnya.




Dari mana asal mula datangnya ilmu seperti itu? Tidak ada keterangan pasti atau referensi yang dapat dipercaya yang mampu menjelaskan asal muasal datangnya ilmu yang mereka sebut dengan ilmu hikmah. Banyak ayat dan hadits yang menjelaskan tentang ilmu hikmah, tetapi yang dimaksud oleh al-Qur’an dan hadits tersebut bukanlah ilmu hikmah yang banyak diiklankan di media massa. Bukan ilmu hikmah yang berupa Wifiq, Rajah, Isim atau Hizib.


Menurut KH. Dr. Said Agil Siradj (dosen pasca sarjana UIN Jakarta), dalam majalah Al Kisah edisi no.4/th.2006, beliau menyebutkan : “Ilmu hikmah bukanlah ilmu tasawuf, dan juga bukan semacam karamah. Tetapi kalau ilmu hikmah diamalkan sesuai aturan, akan membawa hasil yang diharapkan, tidak peduli apakah yang mengamalkan itu orang baik, setengah baik, atau tidak baik (orang jahat).”

Selanjutnya masih dalam majalah yang sama, beliau mengutip pendapat Imam Abdullah Sahal at-Tasturi yang mengatakan bahwa ilmu hikmah adalah ilmu kuno (awail), yang diturunkan oleh Allah khusus kepada orang yang bernama Hurmus yang keberadaannya sampai sekarang masih diperdebatkan.

Ada yang mengatakan bahwa ia adalah Nabi Idris, ada yang mengatakan bahwa ia adalah seorang tokoh di zaman Babylonia, dan ada yang mengatakan bahwa ia adalah tokoh Mesir kuno sebelum Fir’aun. Hurmus inilah yang menerjemahkan nilai-nilai ghaib menjadi kenyataan. Dari Hurmus itulah terbentuk kata Hermeunetik, yaitu upaya menafsirkan sesuatu yang ghaib menjadi nyata.

Beliau juga mengatakan bahwa mengenai  hubungan antara ilmu hikmah dengan jin,  hal itu dilakukan sebelum Islam datang. Setelah itu memakai khadam jin Islam. Menurutnya, tidak salah menggunakan khadam jin Islam untuk tujuan-tujuan yang baik.

Sampai sekarang masih ada kiai yang punya `penjaga rohani’ di belakang layar. Misalnya Kiai Hamid di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dia juga mengatakan bahwa kakeknya (Kiai Said) juga punya khadam yang mampu melindunginya dari kejaran tentara Belanda yang saat itu mengejar-ngejarnya.

Masih di majalah yang sama, KH. Syafi’I Hadzami mengakui bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan ilmu hikmah (yang mereka maksud) jarang yang bersanad kuat, bahkan banyak yang tidak bersanad. Karena hadits-hadits itu didapat oleh para ulama melalui mimpi. Mereka mengaku bertemu Rasulullah yang menganjurkannya membaca bacaan-bacaan tertentu.

Dengan begitu, ilmu hikmah seperti yang dipahami banyak masyarakat selama ini sumber dan asal muasalnya tidak jelas. Tidak ada hadits shahih yang mengabarkan bahwa Rasulullah pernah mengamalkan ilmu seperti itu, begitu juga para shahabatnya.

Dan Rasulullah telah mengajarkan kepada kita cara berlindung dari kejahatan semua makhluk, jin dan manusia. Cara tersebut telah dikumpulkan oleh para ulama dalam kitab-kitab hadits. Cara Rasulullah inilah yang harus kita praktikkan dan kita lestarikan. Dan cara yang tidak jelas sumbernya seharusnya kita tinggalkan. Apalagi kalau kita tidak paham akan bacaannya, jangan-jangan malah ada kesyirikan di dalamnya. Akibatnya bisa fatal kan?


Ilmu Hikmah yang Berbeda

Ilmu Hikmah yang semacam itulah yang menyimpang dari apa yang telah dicontohkan Nabi kita Muhammad, Rasulullah SAW. Bentuk penyimpangan bisa terjadi pada materi bacaan dan juga dalam cara penguasaannya.
Termasuk penyimpangan bacaan di antaranya, membaca bacaan yang tidak jelas maknanya dan juga sumbernya.
Misalnya, amalan ilmu hikmah melindungi diri dari gangguan syetan di perjalanan. Bacaan yang diperintahkan adalah Tuhuronin” (5x),  disambung ayat 21-24 dari surat al-Hasyr, lalu ditutup dengan huruf Ha’ (3x) dan Hamzah (7x). meskipun ayat yang disebutkan itu jelas bersumber dari al-Quran, tetapi kalimat pembuka dan penutupnya tidak dimengerti maknanya.
Bentuk penyimpangan dalam cara pelaksanaan atau penguasaannya, masih dengan amalan tersebut, si pemberi amalan ilmu hikmah ini menyuruh para pengamalnya untuk menulis bacaan tersebut di kain putih atau kertas putih, lalu di bawah pergi ke mana-mana selama dalam perjalanan.
Laiknya orang dalam perjalanan, baik via darat, laut, atau udara. Terkadang dalam perjalanan, kita ingin buang air kecil atau air besar. Kalau tulisan ayat itu harus dibawa pergi kemana-mana, berarti kita harus membawa ayat ke toilet atau WC. Padahal perbuatan itu menyalahi syari’at. Di samping itu, tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an ataupun al-Hadits yang menjelaskan bahwa syetan takut pada orang yang membawa tulisan seperti itu. Inilah contoh kecil dari bentuk penyimpangan dari amalan yang banyak beredar di masyarakat yang mereka sebut dengan ilmu hikmah.

Kalau amalan tersebut kita bandingkan dengan ajaran Rasulullah, sangat jauh berbeda. Dengan tujuan dan maksud yang sama, agar kita dilindungi oleh Allah dari aangguan syetan saat keluar rumah atau saat bepergian.

Rasulullah tidak menyuruh kita untuk menulis di kertas atau kain lalu dikantongi, tetapi Rasulullah menyuruh kita untuk membaca. Bacaan yang diajarkan Rasulullah jelas merupakan do’a berlindung kepada Allah, tidak ada kata yang tidak bisa dipahami, hal itu berbeda dengan amalan di atas yang katanya termasuk ilmu hikmah.

Inilah ajaran Rasulullah kepada umatnya apabila ingin selamat dari gangguan syetan dalam perjalanan. Anas bin Malik berkata: Rasulullah bersabda, “Barangsiapa keluar dari rumahnya membaca: `Bismillah (dengan nama Allah), aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah”. Maka dikatakan kepadanya: `Dengan do’a itu, Kamu telah tercukupi dan terlindungi’. Dan syetan pun akan menjauh darinya’.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan al-Albani).

Sungguh jauh berbeda, antara ilmu hikmah yang mereka ajarkan dengan yang diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun yang pertama menggunakan ayat-ayat al­-Qur’an, tetapi dicampur dengan kalimat yang tidak bisa dimengerti. Cara pelaksanaannya pun berlainan dengan yang diajarkan oleh Rasulullah. Amalan mana yang Anda pilih?
Kegunaannya sama. Tetapi yang satu sumbernya tidak jelas, sedangkan satunya bersumber dari wahyu yang dijamin kebenarannya.

Pastilah kita akan memilih yang jelas dan kebenarannya terjamin, karena do’a adalah inti dari ibadah. Bagaimana mungkin kita beribadah dengan benar kalau menyalahi ajaran Rasulullah ?


Wallahu a’lam

Tidak ada komentar: