Kamis, 22 Agustus 2013

Iman yang Haqqul Yaqqin



Iman yang Haqqul Yaqin

Oleh  :  pak Agus Balung

Kali ini mari kita mencoba berbicara dan menggali tentang “Iman”.  Secara definitif menurut bahasa, iman adalah “pembenaran hati”.  Sedangkan menurut istilah, iman adalah  “Membenarkan dengan hati , mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggauta badan”.
Kalau didefinisikan menurut kata hati,  sebenarnya kita  lebih suka menyebut iman sebagai ‘rasa yakin’. Sebab, ‘yakin’ memiliki bobot lebih besar dibandingkan dengan ‘percaya’. Dan oleh karenanya, ‘yakin’ memiliki kualitas bertingkat-tingkat seiring dengan proses keimanan yang terjadi.   Di dalam Islam dikenal istilah ilmul yaqin, ‘ainul yaqin, dan haqqul yaqin.


Keimanan yang diperoleh dengan mudah, akan runtuh dengan mudah. Sebaliknya, keimanan yang diperoleh dengan perjuangan dan proses yang panjang, akan berakar kokoh di dalam sanubari. Tak mudah tergoyahkan, tak mudah dibeli, atau apa lagi diruntuhkan. Ia seperti pohon yang akarnya menghunjam kuat ke dalam tanah, dan cabang-cabangnya menjulang ke langit. Begitulah Al Qur’an memberikan perumpamaan.
                 
‘’Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.’’                    [QS. Ibrahim: 24]


Level paling bawah dari sebuah keimanan atau keyakinan adalah ilmul yaqin. Yakni, keyakinan yang diperoleh lewat proses pembelajaran dari orang lain, bisa guru, orang tua, ataupun teman. Kepahaman yang baik terhadap suatu persoalan bakal memunculkan keyakinan, meskipun ia belum mengalami sendiri. Misal, ketika kita bertanya kepada seseorang: ‘’apakah Anda yakin Allah itu ada?’’. Bagi seseorang yang sudah belajar tentang eksistensi Sang Pencipta alam semesta, boleh jadi dia akan mengatakan: ‘’ya saya yakin Allah itu ada!”

Tetapi, ketika kita tanyakan lagi: ‘’Apakah Anda sudah bertemu dengan Allah, sehingga merasa yakin akan keberadaan-Nya?’’, dia menjawabnya: ‘‘belum’’. Lantas, kenapa kok yakin? Dia pun mengatakan, semua itu diperolehnya lewat proses belajar. ‘’Begitulah kata guru saya. Saya memahaminya dan meyakininya,’’ tuturnya. Keyakinan yang demikian itu baru berada pada tataran ‘ilmul yaqin : yakin karena kata orang.

Keyakinan semacam ini, di dalam Islam belum dianggap cukup. Harus meningkat menjadi sebuah pengalaman yang bersifat personal: ‘ainul yaqin‘melihat’ sendiri atau merasakan sendiri. Pada level ini jika ia ditanya: Apakah Anda yakin Allah itu ada? Dengan mantap ia akan menjawab: ‘’tentu saja yakin.’’ Dan ketika ditanya, apakah ia sudah bertemu dengan Allah sehingga sedemikian yakin, ia pun dengan mantap mengatakan: ‘’sudah’’. Kapan bertemu dengan-Nya? Boleh jadi dia menjawab: ‘’barusan, saat shalat dan berdoa. Semua doa dan shalat saya langsung dijawab dan direspon oleh-Nya!’’

Jika seseorang sudah menjawab seperti itu, Anda akan mulai sulit untuk menggoyakan imannya. Karena ia telah merasakan bukti-bukti yang dihadapinya sendiri. Bukan hanya kata orang. Dan akan semakin kokoh, ketika ia sudah mencapai tingkatan haqqul yaqin. Yakni, sebuah level keimanan dimana dia telah berulangkali dan terus menerus memperoleh bukti atas apa yang diimaninya. Selama bertahun-tahun.

Sehingga, ketika ia ditanya: Apakah Anda yakin bahwa Allah itu ada?   Jawabannya tak mengandung keraguan sama sekali: ya jelas ada! Apakah sudah bertemu dengan Allah? Sambil tersenyum dia mengatakan: sudah, setiap saat! Shalat bertemu dengan-Nya. Berdoa bertemu dengan-Nya. Berdzikir bertemu dengan-Nya. Bahkan bekerja, bergaul, berumah tangga, berpesiar, dan beraktifitas apa saja, bertemu dengan-Nya. ‘’Karena ia sudah bersama dengan saya dimana pun saya berada. Segala masalah dan anugerah selalu saya interaksikan dengan Dia, dan selalu dijawab-Nya. Setiap saat, setiap waktu. Kenapa saya masih tidak yakin bahwa Dia ada?’’

Nah, kalau sudah demikian, Anda tidak akan bisa menggoyahkan keimanannya. Dia telah haqqul yaqin atas apa yang dijalaninya. Kecuali, Anda bisa memberikan keyakinan yang lebih dahsyat bahwa semua yang diyakininya itu hanyalah ilusi. Salah lihat dan salah dengar, atau salah persepsi. Tapi, Anda akan semakin tidak berkutik, jika ia lantas menampilkan bukti-bukti yang tak terbantahkan, yang sudah dia dapatkan sepanjang perjalanan spiritualitasnya. Bisa-bisa Anda sendiri yang bakal ‘runtuh’ menghadapinya.

Demikianlah Al Qur’an mengajari umat Islam dalam mencapai keimanannya. Tidak boleh ikut-ikutan, tidak boleh asal-asalan, dan tidak boleh sekedar menyandarkan kepercayaan. Keimanan harus diperjuangkan. Keimanan mesti diperoleh lewat kepahaman. Keimanan harus didapatkan lewat diskusi-diskusi yang intens. Dan kemudian dibuktikan dalam kehidupan nyata. Sehingga, tidak heran orang-orang setingkat Nabi Ibrahim dan Nabi Musa pun berusaha membuktikan keberadaan Allah sebagai Tuhan penguasa jagat raya semesta, dimana seluruh makhluk memang hanya bergantung kepada-Nya.

‘’Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada (siapa saja) mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan bulan dan matahari?" Niscaya mereka akan menjawab: "Allah". Maka kenapakah mereka (masih bisa) dipalingkan (dari realitas ini).’’ [QS. Al Ankabuut: 61].

Wallahu a’lam bishshawab.

Tidak ada komentar: