Selasa, 28 Mei 2013

BAHAGIA & KEBAHAGIAAN.....BAGAIMANA CARA MENGGAPAINYA ?



Oleh  :  pak Agus Balung

Kita semua tidak pernah meragukan, bahwa semua orang pasti pernah merasakan bahagia. Tetapi masalahnya : Bagaimanakah kita bisa merasakan kebahagiaan itu bisa lebih lama di bersemayam dalam hati kita?  Apa kiat-kiatnya agar kita bisa mempertahankan perasaan bahagia tersebut dalam diri kita.

Mempertahankan rasa bahagia memang tidak gampang. Ada orang yang bekerja sangat keras,  namun yang ia dapat bukan kebahagiaan dan ketenangan, melainkan kekeringan hidup. Ini merupakan pertanda, bahwa tidak secara otomatis orang yang bekerja keras akan mendapatkan kebahagiaan. Ada orang yang kehidupannya terlihat sangat santai, tetapi justru pada saat yang bersamaan, rasa bahagia itu langgeng di dalam dirinya.
Jadi, bahagia dan kebahagiaan tidak bisa diukur dengan banyaknya materi yang kita kumpulkan, sehatnya badan kita, ataupun shalehnya keturunan-keturunan kita. Tetapi sesungguhnya, kebahagiaan dan kesejahteraan yang paling puncak adalah ketenangan jiwa kita.

Ada beberapa tips yang dihimpun para ulama setelah memperdalami Al-Qur’an dan Hadits. Tips menjadi orang yang paling bahagia tersebut adalah:

Pertama :  keimanan menghapuskan keresahan.
Tidak ada kebahagiaan tanpa iman yang kuat. Tanpa keimanan, orang-orang yang tidak memiliki prinsip keyakinan di dalam jiwanya hanya akan mencapai kamuflase kehidupan. Sehingga, yang bisa menancapkan kebahagiaan di dalam diri kita adalah keimanan. Keimanan seperti apakah yang dimaksud tersebut?
Keimanan menghapuskan keresahan dan melenyapkan kegundahan. Keimanan adalah kesenangan yang diburu oleh orang-orang yang bertauhid dan hiburan bagi orang-orang yang ahli ibadah. Tauhid dan ibadah itu muaranya adalah kebahagiaan dan ketenangan. Pertanyaannya: Bagaimana mewujudkan keimanan yang bisa mengundang kebahagiaan? Bagaimana melakukan ibadah yang bisa menghasilkan ketenangan?
Keimanan memang kepada Allah SWT. Ibadah memang semata-mata untuk Allah, tidak dimaksudkan untuk untuk membahagiakan diri kita sendiri. Maksudnya, kita beribadah bukan karena ingin bahagia. Orang yang beriman dan beribadah karena mendambakan suatu kebahagiaan dan ketenangan, maka seolah-olah kebahagiaan dan ketenangan tersebut merupakan tuhan keduanya selain Allah SWT.
Iman dan ibadah itu tujuannya kepada Allah SWT, akan tetapi dampak dari keimanan dan ibadah tersebut adalah ketenangan. Bukan tujuan kita beriman dan beribadah supaya kita bahagia dan hidup tenang. Jika kita beriman dan beribadah hanya untuk mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan, berarti kita telah merendahkan posisi ibadah kita (misalkan shalat) hanya menjadi meditasi. Tujuan dari meditasi adalah untuk mencapai ketenangan batin, dan juga kebahagiaan rohani. Bagi Umat Islam, tujuan kita beribadah bukanlah untuk memperoleh ketenangan batin, melainkan ketenangan batin itu hanya sebagai akibat, bukanlah merupakan suatu tujuan.
Jika ada orang beribadah hanya untuk memperoleh ketenangan duniawi dan juga ketenangan batin, maka belumlah ia dapat disebut sebagai seorang mukhlishin (orang yang ikhlash).
Orang yang beriman dan beribadah hanya dengan tujuan kebahagiaan, maka dia pasti akan memperoleh kebahagiaan serta ketenangan tersebut. Tetapi, kebahagiaan dan ketenangan yang ia dapatkan itu tidaklah permanen. Yang bisa mempermanenkan kebahagiaan dan ketenangan tersebut adalah ibadah yang lillahi ta’ala.
Seringkali kita putus asa, misalkan kita sudah sering Shalat Tahajjud dan Puasa Sunnat, tetapi mengapa hati kita tak pernah bisa tenteram, serta tak pernah merasakan bahagia? Hal ini karena ibadah yang telah dilakukan tersebut hanya bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan batin, bukan untuk memperoleh ridha Allah SWT.
Kita bukan menyembah ketenangan batin, karena tujuan kita beribadah bukanlah untuk mendapatkan ketenangan batin tersebut. Tujuan kita beribadah adalah untuk memohon ridha Allah SWT. Adapun nantinya setelah melakukan ibadah tersebut kita kemudian mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan, maka itu merupakan bonus dari penghambaan diri kita kepada Allah SWT. Kita jangan pernah kecewa jika setelah beribadah ternyata kebahagiaan dan ketenangan tersebut tidak pernah muncul di dalam hati kita.
Apakah yang menyebabkan kebahagiaan tersebut? Kita mungkin bisa mengatakan, ibadah. Tetapi, ibadah yang sangat intensif dan berkualitas itu sebenarnya dipicu oleh ketenangan batin. Misalkan, jika kita sedang mengalami stress, cemas, takut, atau sedang sakit, apakah kita bisa beribadah dengan baik? Apakah ada ketenangan dalam beribadah tersebut? Jawabannya, tidak ada. Jadi, kedua-duanya adalah saling tunjang-menunjang. Ibadah yang baik akan melahirkan ketenangan batin. Ketenangan batin akan melahirkan kualitas ibadah yang baik.
Dalam hal ini, yang patut diperhatikan adalah permulaan niat kita (innamal a’malu bin-niat), yaitu: Innash-shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin, bukanlah li tatma innil qulub (untuk ketenangan jiwa).
Jika ada orang yang beribadah hanya bertujuan untuk ketenangan batinnya, maka ia telah menurunkan kualitas ibadahnya menjadi seperti meditasi. Sedangkan meditasi bisa dilakukan oleh orang yang tidak bertuhan sekalipun. Yang penting, ketika meditasi tersebut ia bisa memfokuskan perhatiannya, misalkan dengan membayang-bayangkan suatu tempat yang indah dan tenang. Ketika bermeditasi, orang tersebut bagaikan sedang “fly” setelah minum obat penenang ataupun mengkonsumsi narkotika. Sehingga, jika efek dari obat tersebut habis, maka kembali ia mengalami ketidaktenangan.
Jadi, tips untuk menjadi orang yang paling bahagia adalah: beriman dan beribadah semata-mata hanya karena Allah SWT. Bukanlah tujuan kita untuk memperoleh kebahagiaan, ketenangan, serta ketenteraman batin, melainkan semua itu hanyalah efek samping dari penyembahan (ibadah) kita kepada Tuhan. Akan tetapi, Tuhan itu Maha Pengasih lagi Maha Adil.
Kebahagiaan yang diperoleh karena sebelumnya memang diniatkan sebagai suatu tujuan, dibandingkan dengan kebahagiaan yang diperoleh karena sebelumnya diniatkan hanya karena Allah SWT, maka kebahagiaan yang pertama tidak permanen, sedangkan kebahagiaan yang kedua adalah permanen. Pada yang kedua tersebut (yang diniatkan karena Allah SWT), bahkan kita akan merasakan suatu ketenangan walaupun ibadah tersebut dilakukan ketika sedang sakit. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Karena ibadah yang kita lakukan hanyalah karena Allah SWT.
Ubahlah paradigma kita! Jika selama ini kita mungkin pernah mendengar para penceramah yang mengatakan: ala bi dzikrillah tatmainnil qulub (ketahuilah, bahwa dengan mengingat Allah, maka kita akan mendapatkan ketenangan batin). Sehingga muncullah di pikiran kita, bahwa untuk mendapatkan ketenangan batin, maka kita harus menyembah Tuhan.
 Hal tersebut tentunya salah.

Janganlah motivasi ketenangan batin tersebut yang membuat kita beribadah kepada Allah SWT, melainkan kita beribadah adalah untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Ridha Allah itulah nantinya yang akan melahirkan kebahagiaan yang permanen. Tanpa ridha dari Allah, maka kita tidak akan mendapatkan kebahagiaan yang permanen tersebut.
Jika selama ini kebahagiaan itu tidak permanen, mungkin karena motivasi kita beriman dan beribadah bukanlah untuk mendapatkan ridha-Nya, melainkan kita terlalu egois. Belum apa-apa, kita sudah mengharapkan kebahagiaan dan ketenangan batin. Shalat Tahajjud yang rakaatnya panjang-panjang, serta puasa dan ibadah-ibadah lainnya, dilakukan dengan diboboti pamrih-pamrih yang sangat individual. Jadi, mana untuk Tuhan? Semuanya hanya untuk dirinya sendiri. Pura-pura saja sujud, pura-pura saja rakaat shalatnya banyak, tapi tujuannya bukan untuk Allah, melainkan hanya untuk egoisme dirinya sendiri. Padahal, aqimish-shalata li dzikri (dirikanlah shalat untuk menghayati dan mengingat Aku).

Seharusnya Shalat Tahajjud tersebut diniatkan untuk memberikan sesuatu yang terbaik dan terindah kepada Tuhan. “Inilah kadoku kepada-Mu ya Allah, sebagai tanda syukur terima kasihku kepada-Mu. Kuberikan ibadahku yang sangat tulus kepada-Mu, tanpa diembel-embeli oleh tujuan-tujuan jangka pendekku.” Kalau perlu tanpa berdo’a, karena Tuhan Maha Tahu. Dia lebih tahu apa yang kita inginkan. Yang penting, munajatnya yang paling panjang, bukan doanya. Selama ini mungkin kita tak pernah bermunajat, yang ada adalah doa, yaitu daftar keinginan.

Kedua,  karena adanya keimanan dan keyakinan yang sangat kuat tersebut, maka tingkat tawakkal kita menjadi bertambah.

Semakin ma’rifat kita menjadi klop, maka semakin keimanan kita itu mencapai sasaran. Semakin ibadah kita hanya bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT, maka perasaan pasrah diri (tawakkal) pasti akan terwujud di dalam diri kita.
Jika perasaan tawakkal itu muncul, maka yang lalu telah berlalu, dan yang telah pergi biarlah pergi. Biarkanlah masa lampau itu berlalu, dan juga jangan membebani kita lagi. Karena kita yakin bahwa Allah itu Maha Ada, Maha Adil, dan Maha Kuasa, maka kita serahkan diri kita kepada-Nya. Orang yang sudah beriman seperti ini, itulah orang yang telah mencapai ma’rifah yang sesungguhnya.
Jangan dipikirkan yang telah berlalu, karena telah pergi dan telah selesai. Orang yang selalu terbebani masa lampaunya, berarti ia telah meragukan Allah sebagai Maha Pemaaf. Fa iza ‘azamta fa tawakkal ala-llah”. Setelah kita melakukan yang perfect dan terbaik untuk Allah, maka kemudian ber-tawakkal-lah kita kepada Allah. Tetapi jika kita telah melakukan dosa yang begitu banyak, lalu kemudian kita ber-tawakkal kepada Allah tanpa sebelumnya didahului dengan bertaubat, maka itu bukanlah disebut menyembah Tuhan, melainkan sebaliknya, yaitu mengejek dan menghina Tuhan.
Kalau sudah seperti itu, maka akan muncul sikap penerimaan Qadha’. “Qadha’” adalah garis tangan. Karena garis tangan kita memang sudah seperti ini, maka mau diapakan lagi. Kita sudah berusaha, tapi tetap saja seperti ini. Namun, jika kita tak pernah berusaha, namun berpasrah saja dengan garis tangannya itu, maka ini bukanlah dinamakan garis tangan, melainkan kemalasan.

Yakinlah, bahwa doa dan ibadah akan mampu mengubah takdir. Misalkan tertulis di Lauhul Mahfudz, bahwa hari ini kita akan mati. Kemudian lewat dari waktu kematian tersebut, ternyata kita tidak mati. Apakah ini berarti bahwa Lauhul Mahfudz tersebut salah? Jawabannya, Lauhul Mahfudz tidaklah salah. Karena di atas Lauhul Mahfudz masih ada Allah SWT. Malaikat hanya bisa mengetahui sampai Lauhul Mahfudz, tetapi tidak ada yang bisa memahami isi dari pengetahuan Tuhan.
Misalkan pada sebuah doa disebutkan: “Allahumma thawwil umurana (Ya Allah, panjangkanlah umur kami!)” Berkaitan dengan doa tersebut, bukankah telah ditetapkan di Lauhul Mahfudz, bahwa kita lahir pada tanggal sekian bulan sekian, kemudian akan wafat pada tanggal sekian bulan sekian. Yang ada di Lauhul Mahfudz itu adalah catatan formal, sedangkan catatan de facto-nya hanyalah Allah yang tahu.
Terimalah qadha’ yang telah pasti dan rizki yang telah dibagi itu dengan hati yang terbuka. Segala sesuatu itu ada ukurannya. Karena itu, enyahkanlah kegelisahan.

Jika kita sudah bersusah payah mencari rizki, tetapi kemudian rizki yang didapatkan hanya itu saja, maka mungkin itulah yang terbaik untuk kita. Memang sedikit, tapi itulah intinya berkah yang kita dapatkan. Untuk apa kita mendapatkan banyak, tapi tanpa berkah. Mana yang lebih baik, sedikit tapi berkah, atau banyak tapi tidak berkah? Maunya kita, yaitu banyak tapi berkah. Seandainya ada pilihan, sedikit tapi berkah, atau banyak tapi tidak berkah? Tentunya kita akan memilih sedikit tapi berkah. Buat apa banyak tapi tidak berkah, kalau kemudian kita dimasukkan ke penjara.
Berikutnya, bahwa dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenteram, dosa akan diabaikan, Allah akan menjadi ridha, dan tekanan hidup akan terasa ringan.

Orang yang selalu merasakan beban hidupnya menjadi semakin berat, maka orang tersebut adalah orang yang tidak ikhlas. Orang yang ikhlas tidak akan pernah merasakan kelebihan beban di dalam hidupnya. Mengapa? Karena ia akan mengembalikan semuanya kepada Allah. Orang yang selalu merasakan kelelahan di dalam hidupnya juga merupakan gejala tidak ikhlas. Sepertinya ia tidak ikhlas menjadi hamba di muka bumi ini. Sepertinya ia tidak ikhlas menjadi khalifah di atas dunia ini.
Berikutnya, janganlah kita menanti ucapan terima kasih dari sesama. Jika ada orang yang berbuat sesuatu dan kemudian menanti terima kasih, itu pasti ia tidak ikhlas. Melelahkan hidup seperti itu. Cukuplah pahala dari zat yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Tak ada yang harus kita lakukan terhadap orang yang iri dan dengki kepada kita. Biarkan orang tersebut sibuk sendiri. Jangan kita layani orang-orang yang dengki dan iri terhadap kita tersebut. Yang penting, hidup kita lurus (shiratal mustaqim), jalan terus kita menuju Allah, biarkanlah orang tersebut bersibuk ria berurusan dengan hatinya sendiri yang tidak bersih.

(Disarikan dari Pengajian Husnul Khotimah, yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar M.A, pada tgl. 25 Februari 2008 di Masjid Agusng Sunda Kelapa Jakarta)

Tidak ada komentar: