Oleh : pak
Agus Balung
Firman Allah dalam al Quran : “Maka
ketahuilah,
bahwa
sesungguhnya
tidak
ada
Ilah
(sesembahan)
selain
Allah
dan
mohonlah
ampunan
bagi
dosamu
dan
bagi
(dosa)
orang-orang
mukmin,
laki-laki
dan
perempuan.
Dan
Allah
mengetahui
tempat
kamu
berusaha
dan
tempat
kamu
tinggal.
(QS
: Muhammad : 19).
Mukaddimah :
Ayat tersebut diatas terdapat dalam
surat al-Qital (perang) atau lebih terkenal dengan sebutan surat Muhammad. Disebut al-Qital, sebab di dalamnya banyak
mengisahkan tentang syariat perang. Surat ini termasuk Madaniyah (surat yang
turun setelah peristiwa hijrah ke Madinah).
Dalam riwayat lain, perintah fa’lam
dimaknai sebagai perintah untuk tetap istiqamah dalam berislam. Hal ini terkait
ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) mendapat kabar tentang
keadaan kaum kuffar dan mukminin, ia lalu memerintahkan para sahabat untuk
tetap tsabat (kokoh) di atas jalan keimanan, senantiasa merawat keikhlasan dan
terus beristighfar dalam meniti perjuangan keimanan ini. (Tafsir al-Jami’ li
Ahkam al-Qur’an, Imam al-Qurthubi).
Makna Ayat
:
Meski ayat ini berisi perintah kepada Nabi SAW, tapi sesungguhnya ibrah (pelajaran) yang terkandung tetap berlaku bagi seluruh orang beriman.
Ayat ini memerintahkan Nabi SAW akan
dua hal utama dalam berislam: menuntut ilmu dan istighfar (memohon ampun)
kepada Allah. Dalam perspektif Islam, iman dan ilmu adalah hal yang tak
terpisahkan. Keduanya saling terkait dan menguatkan satu sama lain. Seseorang
tak bisa mencapai derajat iman (yakin) dalam hidupnya jika ia tidak memiliki
ilmu yang memadai. Tetapi ilmu yang dipunyai bisa berubah menjadi bumerang dan
fatal, jika pengetahuan dan kepintaran itu tidak didasari dengan keimanan yang
kuat. Alih-alih menjadi ilmu yang bermanfaat bagi orang lain, tapi ilmu itu
malah bisa menghancurkan dirinya dan merusak orang lain.
Realitas di tengah masyarakat
menjadi cermin utuh ketika dua pilar tersebut tidak bersinergi dalam diri
seorang Muslim. Dengan mudahnya seorang Muslim yang awam rela menukar
keyakinannya hanya dengan segelintir tawaran murahan saja. Di sisi lain, tak
sedikit perbuatan tak bermoral justru lahir dari mereka yang selama ini sangat
paham tentang ilmu itu sendiri. Mereka yang melakukan perbuatan menyimpang
hukum adalah kumpulan orang-orang yang sangat mengerti teori hukum tersebut.
Inilah ironi ketika ilmu tersebut tak bermodal keimanan. Ilmu itu akan tumbuh
liar tak terkendali tanpa bisa dikekang oleh pemiliknya.
Ilmu dan Tauhid
Sufyan bin Uyainah, seorang ulama
salaf yang kesohor dengan keluasan ilmunya menjelaskan, pada ayat ini Allah
mengisyaratkan adanya sinergi ilmu dan iman itu. Kata fa’lam (perintah
berilmu) tidak lain diiringi kata
setelahnya wastaghfir (perintah beramal).
Hal itu juga terlihat dalam banyak ayat ketika
Allah menggandeng perintah berilmu dan beramal. Sebut saja misalnya, dalam
surah al-Hadid [57] ayat 20 dan 21. “I’lamu”
(perintah berilmu) dan “sabiqu” (perintah beramal) dan
surah al-Anfal [8] ayat 41. “Wa’lamu” (perintah berilmu) dan “fa anna
lillahi khumusahu” (perintah beramal). (Tafsir al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an, Imam al-Qurthubi).
Dengan paradigma di atas, maka tak
heran jika Nabi SAW menegaskan kalau setiap Muslim tak bisa lepas dari menuntut
ilmu. Ia hukumnya wajib tanpa bisa ditawar lagi.
Sedang ilmu yang paling pokok
dipelajari tidak lain adalah ilmu tauhid. Hal ini tidak mengherankan, sebab
kalimat inilah yang memisahkan seseorang dari garis keimanan dengan kekufuruan.
Ilmu tauhid ini pula yang menjadi pondasi bagi setiap amalan seseorang hingga
nantinya perbuatan yang ia kerjakan tidak sia-sia dan bernilai positif di mata
Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak.
Perbanyak
Istighfar
Dalam ajaran Islam, istighfar tidak
sekadar perintah dan kewajiban. Tapi ia sekaligus kebutuhan mutlak bagi seorang
Muslim. Sebab, manusia yang terlahir dengan segala kelemahan dan keterbatasan
tersebut, justru mendapat amanah yang paling berat dari Sang Khaliq Allah
Ta’ala. Sebagai hamba, manusia punya kewajiban mengabdikan dirinya kepada
Allah, sekaligus ia menjadi wakil (khalifah) dalam mengurus dunia dan kehidupan
ini.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW
memberikan panutan yang sangat mulia, meski seluruh perbuatannya telah mendapat
garansi ampunan selamanya, tapi hal itu tak menghalangi Rasulullah SAW untuk
membasahi lidahnya dengan zikir istighfar. Sahabat Abu Hurairah meriwayatkan,
jika Rasulullah SAW beristighfar hingga sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari
semalam. (Riwayat al-Bukhari).
Imam al-Qurthubi menjelaskan,
setidaknya ada dua faidah dibalik perintah istighfar tersebut. Pertama,
perbanyaklah istighfar atas segala kekhilafan yang kamu lakukan, baik disengaja
maupun tidak disengaja. Kedua, perbanyaklah istighfar, sebab dengannya Allah
berkenan menghindarkan seorang hamba dari perbuatan dosa dan maksiat.
Tak cuma itu, ucapan istighfar
bahkan bisa menjadi amunisi utama seorang Muslim dalam menghancurkan tipu daya
iblis selama ini. Abu Bakar as-Shiddiq menanggapi ayat ini dengan berkata:
“Hendaklah kalian bertauhid dengan sungguh-sungguh dan beristighfar.
Perbanyaklah keduanya, sebab iblis pernah mengakui keampuhan ucapan mulia itu.
Ia berkata: ‘Saya membinasakan manusia dengan dosa-dosa, tetapi sesungguhnya
mereka juga sanggup membinasakanku. Tak lain dengan ucapan la ilaha illallah
(tauhid) dan istighfar. Ketika saya mengetahui hal tersebut, saya lalu
menggelincirkannya dengan hawa nafsu. Alhasil manusia menyangka mereka telah
mendapatkan hidayah sedang mereka tertipu.”
Tak Cukup Buat Diri Sendiri
Syariat Islam sebagai agama yang
memperhatikan aspek sosial mengajarkan kepada umatnya untuk tidak bersikap ego
dan hanya memikirkan diri sendiri. Karenanya, selain perintah untuk memohon
ampun buat diri sendiri, Islam juga menyuruh untuk senantiasa mendoakan
kebaikan bagi saudara yang lain.
Ayat ini juga menegaskan kemurahan
Allah kepada umat Islam, tidak kepada umat sebelumnya. Dimana Allah
memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk mendoakan kebaikan bagi seluruh kaum
Muslimin. Sedang Rasulullah SAW sendiri sudah mendapat jaminan langsung sebagai
as-Syafi’ (pemberi syafaat) pada Hari Kiamat nanti. Rasulullah SAW adalah orang
yang dijamin doanya dikabulkan oleh Allah.
Imam as-Sa’di menambahkan, sekiranya
seorang Muslim diperintahkan memohonkan ampun bagi dosa-dosa saudaranya, maka
tentunya perkara yang lebih utama adalah menasihati dan menolong mereka dalam
kebaikan. Mencintai sesama Muslim layaknya ia cinta kepada dirinya sendiri.
Seorang Muslim juga wajib membenci keburukan jika itu terjadi pada saudaranya,
seperti ia tidak menginginkan keburukan itu terjadi pada dirinya sendiri.
Ketika syariat-syariat di atas
terjalin dengan baik, maka dengan sendirinya ia menjadikan kekuatan kaum
Muslimin semakin kokoh dan solid. Tak ada lagi pertentangan yang justru hanya
memecah keutuhan dan kekuatan umat Islam. Sebab, orang yang sanggup mendoakan
orang lain adalah orang yang sudah berhasil mengalahkan thagha (rasa sombong)
dan ego yang ia miliki. Ia tak bisa mendoakan jika tidak berangkat dari hati
yang bersih.
(Sumber
: Suara Hidayatullah)
Wallahu
a’alam bisshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar