Kamis, 04 April 2013

HATI YANG BENING....DAN SELALU TERSENYUM




Oleh  :  pak Agus Balung

Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam adalah sosok manusia yang sempurna. Di medan perang beliau adalah seorang jenderal profesional yang menguasai taktik dan strategi bertempur.  Di tengah masyarakat, beliau adalah teman, sahabat, guru, dan sosok pemimpin yang menyenangkan. Di rumah, beliau adalah seorang kepala rumah tangga yang bisa mendatangkan rasa aman, kasih sayang, sekaligus kebahagiaan.

Beliau adalah sosok yang romantis. Beliau biasa memanggil istrinya, ‘Aisyah, dengan panggilan yang indah: Ya Humaira (wahai si merah jambu). Wanita mana yang tidak tersanjung saat dipanggil suaminya dengan panggilan ini? Telinga siapa yang tidak ingin mendengar sapaan seperti ini?

Tapi keindahan itu tercipta bukan karena beliau ahli merayu, melainkan karena hati beliau memang bersih, bening, dan indah. Dari hati yang indah itulah keluar kata-kata, perilaku, dan sikap yang indah. Dari keindahan hati itulah terpancar segala keindahan dari setiap yang dipandang dan ditemuinya.
Memang, betapa indah hari-hari kehidupan di mata Rasulullah. Romantisme tidak hanya berlaku bagi istri-istrinya, juga anak-anak, bahkan nenek-nenek dan semua makhluk Allah Subhanahu wa Ta`ala lainnya pun merasakannya.

Begitu dekatnya Rasulullah dengan unsur-unsur di alam sekitar. Setiap berhadapan dengannya beliau kerap menyapanya dengan ungkapan: Rabbiy wa Rabbukallaah (Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah).
Ketika melihat sekuntum bunga yang mulai terbuka kelopaknya, kalbunya bergetar, hatinya bersuka cita, dan segera beliau mendatanginya, mencium dengan bibirnya, dan mengusapnya dengan penuh kasih sayang. Tak lupa beliau mengucapkan: ‘aamu khairin wa barakatin insya Allah (tahun baik dan penuh berkah, insya Allah).

Demikian pula ketika beliau mendapati bulan sabit di awal-awal malam kemunculannya, tak lupa menyambutnya dengan sukacita. Dengan penuh optimis beliau bercakap tentangnya: hilaalu khairin wa baarakatin insya Allah (awal bulan yang baik dan penuh berkah, insya Allah).
Setelah menyambut dengan tahniah (ungkapan kegembiraan), beliau juga tak lupa berdoa: Allahumma ahillahu ‘alaina bilyumni wal iimaani wassaalamati wal islaami (Ya Allah, jadikan permulaan bulan ini membawa keuntungan, iman, keselamatan, dan Islam).

Apa bedanya bulan yang ditatap Rasulullah empat belas abad yang lampau dengan bulan yang kita lihat setiap malam? Bukan bulannya yang beda, tapi cara pandangnya yang berbeda. Rasulullah memandangnya dengan cahaya iman, sedang kita mungkin memandangnya dengan hati yang masih ragu. Rasulullah melihat di balik bulan ada kebesaran Allah, sedang kita melihat bulan tidak lebih dari sekadar materi. Beliau melihat bulan dari perspektif waktu yang akan datang (dengan visi), sedang kita melihatnya sakadar dengan “menghitung hari”.

Mari kita tatap masa depan dengan penuh harapan. Tak usah berkecil hati, sekalipun tantangan sebesar dan sebahaya Gunung Merapi. Kita masih punya Tuhan, pemilik dan penguasa alam semesta. Di tangan-Nya tergenggam seluruh nyawa, sekaligus kehendak-Nya. Sekali diputar, semuanya akan berubah.

Tersenyumlah, sebagaimana Rasulullah tersenyum ketika menyapa matahari terbit setiap pagi, dan bulan yang mengorbit setiap malam.  Tersenyumlah dan sapalah istri atau suami dengan sukacita sebagaimana beliau selalu melahirkan kebahagiaan kepada keluarga dan sesama manusia.
Subhanallah…..

Tidak ada komentar: