Oleh : pak
Agus Balung
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok manusia yang sempurna. Di medan perang beliau adalah seorang jenderal profesional yang menguasai taktik dan strategi bertempur. Di tengah masyarakat, beliau adalah teman, sahabat, guru, dan sosok pemimpin yang menyenangkan. Di rumah,
beliau adalah seorang kepala rumah tangga yang bisa mendatangkan rasa aman, kasih sayang, sekaligus kebahagiaan.
Beliau adalah sosok yang romantis. Beliau
biasa memanggil istrinya, ‘Aisyah, dengan panggilan yang indah: Ya Humaira
(wahai si merah jambu). Wanita mana yang tidak tersanjung saat dipanggil
suaminya dengan panggilan ini? Telinga siapa yang tidak ingin mendengar sapaan
seperti ini?
Tapi keindahan itu tercipta bukan
karena beliau ahli merayu, melainkan karena hati beliau memang bersih, bening,
dan indah. Dari hati yang indah itulah keluar kata-kata, perilaku, dan sikap
yang indah. Dari keindahan hati itulah terpancar segala keindahan dari setiap
yang dipandang dan ditemuinya.
Memang, betapa indah hari-hari
kehidupan di mata Rasulullah. Romantisme tidak hanya berlaku bagi
istri-istrinya, juga anak-anak, bahkan nenek-nenek dan semua makhluk Allah Subhanahu
wa Ta`ala lainnya pun merasakannya.
Begitu dekatnya Rasulullah dengan
unsur-unsur di alam sekitar. Setiap berhadapan dengannya beliau kerap
menyapanya dengan ungkapan: Rabbiy wa Rabbukallaah (Tuhanku dan Tuhanmu
adalah Allah).
Ketika melihat sekuntum bunga yang
mulai terbuka kelopaknya, kalbunya bergetar, hatinya bersuka cita, dan segera
beliau mendatanginya, mencium dengan bibirnya, dan mengusapnya dengan penuh
kasih sayang. Tak lupa beliau mengucapkan: ‘aamu khairin wa barakatin insya
Allah (tahun baik dan penuh berkah, insya Allah).
Demikian pula ketika beliau
mendapati bulan sabit di awal-awal malam kemunculannya, tak lupa menyambutnya
dengan sukacita. Dengan penuh optimis beliau bercakap tentangnya: hilaalu
khairin wa baarakatin insya Allah (awal bulan yang baik dan penuh berkah, insya
Allah).
Setelah menyambut dengan tahniah
(ungkapan kegembiraan), beliau juga tak lupa berdoa: Allahumma ahillahu
‘alaina bilyumni wal iimaani wassaalamati wal islaami (Ya Allah, jadikan
permulaan bulan ini membawa keuntungan, iman, keselamatan, dan Islam).
Apa bedanya bulan yang ditatap
Rasulullah empat belas abad yang lampau dengan bulan yang kita lihat setiap
malam? Bukan bulannya yang beda, tapi cara pandangnya yang berbeda. Rasulullah
memandangnya dengan cahaya iman, sedang kita mungkin memandangnya dengan hati
yang masih ragu. Rasulullah melihat di balik bulan ada kebesaran Allah, sedang
kita melihat bulan tidak lebih dari sekadar materi. Beliau melihat bulan dari
perspektif waktu yang akan datang (dengan visi), sedang kita melihatnya sakadar
dengan “menghitung hari”.
Mari kita tatap masa depan dengan
penuh harapan. Tak usah berkecil hati, sekalipun tantangan sebesar dan sebahaya
Gunung Merapi. Kita masih punya Tuhan, pemilik dan penguasa alam semesta. Di
tangan-Nya tergenggam seluruh nyawa, sekaligus kehendak-Nya. Sekali diputar,
semuanya akan berubah.
Tersenyumlah,
sebagaimana Rasulullah tersenyum ketika menyapa matahari terbit setiap pagi, dan bulan yang mengorbit setiap malam. Tersenyumlah
dan sapalah istri atau suami dengan sukacita sebagaimana beliau selalu melahirkan kebahagiaan kepada keluarga dan sesama manusia.
Subhanallah…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar