Oleh : pak Agus Balung
Sebaik-baik kamu adalah yang paling
baik kepada istrimu.” (HR at-Tirmizi)
Ani, sebut saja begitu, agak tak
enak hati menyuguhkan kopi hangat untuk suami tercintanya pagi itu. Pasalnya, sang suami, Mas Hendra, nampak cuek.
Wajahnya pun masam seperti orang kesal. Sebagai istri, Ani yakin muara
kemuraman itu karena dia. Sudah tiga hari belakangan ini ia menampik ajakan Mas
Hendra untuk berhubungan intim. Pertama, ia merasa lelah. Esok malamnya merasa
tidak mood. Sedang malam ketiga ia tidur lebih awal dari biasanya.
Untuk menebus rasa bersalahnya, Ani
pun tampil cantik dan berusaha bergairah di depan Mas Hendra. Namun karena
mungkin terlanjur kesal, sang suami tidak menggubrisnya. Ani pun jadi meradang
karena tidak mendapat tanggapan.
Rasa hati tak karuan itu segera ia
bagi pada sahabatnya, Aisyah, yang sudah lebih lama berumahtangga. Sebagai
sahabat, sang teman menasehatinya untuk segera meminta maaf. Apalagi perbuatan
Ani itu termasuk berdosa.
Alasan yang dikemukakan Aisyah itu
tentu saja bersandar pada sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhari, “Jika
suami memanggil istrinya untuk tidur bersama (bersenggama), lalu istri menolak sehingga semalam itu suami menjadi jengkel (marah) pada istrinya, maka para malaikat mengutuk pada istri itu hingga pagi hari.”
Sebagai suami dan kepala
rumahtangga, tentu Hendra punya otoritas penuh atas istrinya. Tak salah kalau
ia marah. Tapi di satu sisi, kadang ia lupa bahwa sang istri tentu punya alasan
di balik penolakannya, dan inilah yang kurang dipahami.
Menurut Syeikh Sa’ad Yusuf Abdul
Aziz dalam Shahih Washaya ar-Rasul lin Nisa, seorang istri boleh saja menolak
ajakan suaminya berhubungan badan sepanjang hal itu merupakan uzur syar’i atau sesuatu yang dibolehkan agama.
Jika perintah sang suami berbau
hal-hal maksiat, seperti menyuruh istri meninggalkan shalat, membuka jilbab,
membolehkan teman-teman suaminya untuk masuk ke dalam rumahnya ketika suami
tidak ada, atau memerintahkannya untuk memutus tali silaturahim, barulah hal
itu tidak perlu didengar atau dipatuhi. Sebab sabda Nabi saw, “Tidak
ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya pada hal-hal yang baik saja (ma’ruf).” (HR Bukhari
dan Muslim)
Senada dengan itu, pendiri Pusat
Kajian Hadits, DR. H. Lutfi Fathullah MA, mengatakan bahwa ketika suami tidak
‘diberi’ di saat syahwatnya timbul, maka bisa muncul dua kemungkinan; apakah
dia sanggup menahannya, ataukah dia tidak bisa menahan, alih-alih malah
terjerumus ke arah perzinaan. “Maka pilihannya kalau tidak mau berzina, istri
harus memberikan haknya,” ungkapnya.
Lagi pula, kendati tidak ada asbabul
wurud, hadits permintaan bersenggama dari suami ini sebenarnya bisa saja
dita’wilkan sebagai ‘senjata’ untuk menolak permintaan suami. Mengapa?
Di mata Lutfi, sebagaimana fakta
umum di masyarakat, tak dimungkiri bahwa hasrat terbesar suami terhadap
istrinya adalah keinginan menyalurkan nafsu seks.
Maka ketika keinginan tersebut tidak
terpenuhi, mereka pun kecewa dan marah. Sedang kecenderungan hasrat terbesar
istri pada suami adalah ekonomi atau yang lainnya, sementara seks bisa jadi
prioritas kesekian. Sebab itu, tatkala keinginan istri tidak terpenuhi, mereka
kerap menggunakan alasan tidak mau memenuhi kebutuhan seks suaminya.
Hak yang Sama
Pada hakikatnya, hubungan dua insan
tidak akan terwujud bila salah satunya tidak menikmati. Keduanya harus saling
terlibat berpartisipasi. Badriyah Fayumi, dalam Fikih Perempuan, Refleksi Kiai
atas Wacana Agama dan Gender mengatakan bahwa mu’asyarah bi al-ma’ruf yang
dijalankan suami-istri adalah harus saling memberi dan menerima, saling
mengasihi dan menyayangi, tidak saling menyakiti, tidak saling memperlihatkan
kebencian, dan masing-masing tidak saling mengabaikan hak dan kewajibannya. Tak
terkecuali dalam masalah hubungan seks.
Maka, sebenarnya jika istri ‘minta’
tapi suami tidak memberi, juga dihukumi berdosa. Karena seks dalam sebuah
pernikahan merupakan hak kedua belah pihak. Hanya saja, pihak istri jarang sekali
‘meminta’ lebih dulu. Hal ini disinyalir karena umumnya istri lebih kuat untuk
menahan nafsunya ketimbang suami.
“Suami kalau sudah minta, kadang harus dituruti, bahkan lepas kendali kalau tidak dituruti,” tegas Luthfi yang menamatkan S2 di Jordan University itu.
“Suami kalau sudah minta, kadang harus dituruti, bahkan lepas kendali kalau tidak dituruti,” tegas Luthfi yang menamatkan S2 di Jordan University itu.
Di zaman rasulullah pun pernah
terjadi hal serupa. Ketika seorang sahabat bernama Abdullah bin Amr bin ‘Ash
pernah tidak memberikan nafkah kepada istrinya. Rasulullah menegurnya keras,
karena istri pun punya hak yang sama.
Dalam Al-Fiqhul Islami karangan DR.
Wahbah az-Zuhaili, ihwal hubungan seks itu sendiri dalam pandangan mazhab fiqih
Islam berbeda-beda. Mazhab Maliki mengatakan bahwa suami wajib menggauli
istrinya, selama tidak ada halangan atau uzur, sebagaimana zahir teks hadits.
Namun dari sini timbul pemahaman, bahwa ketika seorang istri menghendaki
hubungan seks, suami pun wajib memenuhinya.
Sementara mazhab Syafi’i
mengatakan bahwa kewajiban suami menyetubuhi istrinya pada dasarnya hanyalah
sekali saja selama mereka masih menjadi suami-istri. Kewajiban ini hanyalah
untuk menjaga moral istrinya.
Pandangan ini dilatarbelakangi oleh
prinsip bahwa melakukan hubungan seks adalah hak seorang suami. Istri, menurut
pendapat ini disamakan dengan rumah atau tempat tinggal yang disewa. Alasan lain
adalah bahwa orang hanya bisa melakukan hubungan seks apabila ada dorongan
syahwat (nafsu), dan ini tidak bisa dipaksakan. Akan tetapi, sebaiknya suami
tidak membiarkan keinginan seks istrinya itu agar hubungan mereka tidak
berantakan.
Adapun mazhab Hanbali
menyatakan bahwa suami wajib menggauli istrinya paling tidak sekali dalam empat
bulan, apabila tidak ada uzur. Jika batas maksimal ini dilanggar oleh suami,
maka antara keduanya harus diceraikan. Mazhab ini mendasarkan pandangannya pada
ketentuan ila’ (sumpah untuk tidak menggauli istri).
Keengganan istri melayani suami
tentu saja memiliki alasan. Sebab itulah seorang suami harus bisa memahami
alasan dibalik penolakan istrinya. Secara umum, istri kerap menolak ‘ajakan’
suami dalam kondisi seperti berikut:
1. Istri Hamil
Postur tubuh istri yang bertambah
besar ditambah adanya si jabang bayi di dalam perut tentu agak menyulitkan
melakukan senggama. Karenanya dalam kondisi hamil, hasrat seksual istri
cenderung menurun. Namun hubungan intim selama hamil dibenarkan agama.
Dalam Fatwa-fatwa Kontemporer
Tentang Problematika Wanita yang dikarang Musa Shalih Syaraf, dibolehkan
suami-istri melakukan hubungan intim, kecuali jika ada pertimbangan kesehatan
yang melarang sehingga menimbulkan beberapa bahaya bagi istri. Yang demikian
itu bisa saja dilakukan dengan meminta saran kepada dokter spesialis kandungan,
karena masa-masa kehamilan itu dituntut mengikuti nasehat-nasehat medis.
2. Istri Capek/Lelah
2. Istri Capek/Lelah
Mengurus rumahtangga dan anak
bukanlah perkara mudah yang bisa dikerjakan dengan santai. Selain menguras
tenaga dan waktu, pikiran pun harus terfokus penuh pada perkembangan anak.
Mulai dari bangun tidur sampai kembali waktu tidur tiba. Tak heran jika energi
istri pun terkuras tak bersisa. Apalagi istri yang punya peran ganda. Selain
sebagai ibu rumahtangga, istri pun terlibat menopang kehidupan dapur keluarga.
Tak heran ketika ada sedikit
kesempatan istirahat, mereka lebih memilih rehat ketimbang mengurus diri
sendiri, bahkan tak jarang keberadaan suami pun terabaikan.
Maka sebagai suami bijak, sudah sepatutnya tak terburu-buru menanggapi sikap istri dengan amarah. Justru memahami kesulitan sang istri bisa menjadi jalan terbukanya komunikasi yang baik. Pada akhirnya bahkan hubungan di atas ranjang pun tak mudah terganjal.
3.Istri Sakit
Maka sebagai suami bijak, sudah sepatutnya tak terburu-buru menanggapi sikap istri dengan amarah. Justru memahami kesulitan sang istri bisa menjadi jalan terbukanya komunikasi yang baik. Pada akhirnya bahkan hubungan di atas ranjang pun tak mudah terganjal.
3.Istri Sakit
Dalam masalah ibadah apa pun, sakit
adalah uzur yang sangat bisa dimaklumi. Kondisi badan yang tidak fit memang
tidak memungkinkan seseorang beraktivitas. Apalagi jika sakit itu sudah amat
membahayakan. Sudah sepatutnya suami memahami kondisi ini.
4. Istri Haid
4. Istri Haid
Bersenggama dalam kondisi istri
sedang haid adalah haram, sebagaimana al-Qur’an menyatakan, “Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.” (QS. al-Baqarah:
222)
Alasan di balik pengharaman ini
dikarenakan darah haid itu memiliki bau yang tidak sedap dan dapat mendatangkan
beberapa penyakit yang berbahaya bagi suami dan istri. Namun, Imam Ahmad bin
Hanbal berpendapat, jika ada orang yang akhirnya melakukan senggama pada waktu
haid, disunnahkan baginya bersedekah setengah atau satu dinar.
Sejatinya hubungan seks bukanlah
sekedar penyaluran syahwat. Hubungan seks antar suami-istri juga merupakan
ungkapan cinta kasih agar pondasi rumahtangga semakin kokoh.
Mengungkapkan rasa cinta tentu saja
tidak bisa dengan bahasa kasar dan memaksa. Sebab itulah hadits terkait
menggunakan lafaz da’aa (meminta, mengajak). Hal ini, bagi Lutfi, sekaligus
menyanggah anggapan kalangan yang menyatakan bahwa perkosaan dalam rumahtangga
itu ada. Adapun lafaz rajul (laki-laki, suami) sebagai subyek, tak lain
merupakan ungkapan kebiasaan.
“Dalam banyak firman-Nya, Allah
menggunakan lafaz sesuai kebiasaan, misalnya was sariqu was sariqatu, laki-laki
dan perempuan pencuri, lelaki disebut lebih dulu karena yang biasa mencuri
laki-laki, baru kemudian disusul dengan perempuan, namun di tempat lain kadang
perempuan dulu yang disebutkan,” jelas ustadz yang mengenyam studi S3 di
Universitas Kebangsaan Malaysia.
Jika hubungan seks telah sama-sama
dipahami sebagai kebutuhan bersama, akan sangat mudah mengkomunikasikan segala
kendala yang datang. Maka saat uzur syar’i seperti haid jadi kendala, tentu
saja keduanya tetap bisa melakukan hubungan intim selama tidak memasuki wilayah
yang dilarang (antara pusar-lutut).
Bahkan ketika salah satu pasangan
tidak mood, bisa saja gairah dibangkitkan selama keduanya sama-sama mau terbuka
membicarakannya. Perbincangan ringan bukan tidak mungkin melahirkan
candaan-candaan mesra, yang pada akhirnya bisa membangkitkan gairah untuk
bercinta.
3 komentar:
Bagi anda yang kesulitan utk posting comment .... anda bisa koment lewat fb akun "As Syifa Nur Alif"
silahkan di-add akun tsb.
mkasih.....salam silaturahim selalu
Alhamdulillah... terima kasih atas tulisan yang informatif. Saya ingin menjadi suami yang bijak...
Assalamu'alaikum,,
Membaca tulisan tersebut kok kayaknya suami harus terpenuhi semua kenginannya. Gimana kalo suami kurang dalam menafkahi keluarga, istri tidak terlalu menuntut, istri juga membantu suami mencari uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga, kalo malam istri capek jadi engga bergairah melayani suami. Apa ini namanya adil? Terus suami pake alasan itu untuk mencari perempuan lain?
Posting Komentar