Oleh : pak
Agus Balung
Allah telah berfirman dalam al Quran : “Katakanlah:
‘tidak
sama
yang
buruk
dengan
yang
baik,
meskipun
banyaknya
yang
buruk
itu
menarik
hatimu.
Maka
bertakwalah
kepada
Allah
hai
orang-orang
berakal,
agar
kamu
mendapat
keberuntungan.”
(Al-Maidah
: 100)
Muqoddimah :
Abdullah bin Mas’ud pernah berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian hidup di suatu zaman, di mana kebenaranlah yang mengendalikan hawa nafsu. Namun, kelak akan ada suatu zaman, di mana hawa nafsulah yang akan menguasai kebenaran.”
Wallahu a’lam, apakah yang beliau maksudkan adalah zaman seperti yang kita alami hari ini, atau masih ada zaman yang lebih parah lagi. Saat di mana hukum dan ajaran Islam menjadi asing bagi para penganutnya. Orang yang berpegang teguh terhadap kebenaran justru dianggap nyleneh dan ekstrim. Sebaliknya, para pecundang dianggap sebagai pahlawan, para pengumbar nafsu dijadikan panutan.
Kebenaran menurut mereka bukan lagi
diukur dari apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) gariskan, tapi
menurut kecenderungan orang kebanyakan. Keburukan adalah segala yang dianggap
buruk oleh umumnya orang. Yang halal adalah yang dianggap halal oleh manusia.
Yang haram adalah yang dianggap haram menurut mereka. Begitupun dalam mengukur
yang ma’ruf dan yang munkar. Dan memang, umumnya manusia cenderung mengikuti
arus besar yang melingkupi hidupnya. Ke mana arus itu mengalir, kesitu pula ia
akan hanyut.
Banyak Tapi Sesat
Lewat ayat di atas, Allah SWT mengingatkan orang yang berakal, agar tidak mengukur baik buruknya sesuatu berdasarkan kecenderungan banyak orang.
Keburukan tidaklah berubah menjadi kebaikan dengan alasan banyak penggemar. Sesuatu yang haram juga tidak lantas boleh dianggap halal lantaran sudah banyak yang melakukan. Pun sebaliknya, baik dan benar tidaklah berubah statusnya menjadi buruk dikarenakan sedikitnya orang yang menjalankan.
Alangkah pentingnya ayat di atas
dikumandangkan di zaman ini. Yakni saat
arus kebanyakan menjadi ukuran kebenaran. Bahkan, menjadikan suara kebanyakan sebagai parameter
kebenaran itu telah menjadi ideologi dunia. Ideologi ini direpresentasikan oleh
paham demokrasi yang meletakkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam segala
aspek. Rakyat (terbanyak) berhak menentukan halal dan haramnya suatu perkara
semau mereka. Ia adalah suatu paham yang mengukur kebenaran semata-mata dari
banyaknya suara. Semboyannya adalah vox populi vox dei, suara rakyat adalah
suara Tsuhan. Benarkah suara terbanyak adalah representasi dari suara Allah
SWT?
Bahkan, jika yang dimaksud dengan
kalimat “kebanyakan” adalah mayoritas manusia, maka tidak kita dapatkan dalam
al-Qur`an melainkan menunjukkan kualitas yang buruk. Seperti firman Allah “dan
kebanyakan mereka tidak berakal” atau firman-Nya “akan tetapi kebanyakan mereka
tidak mengetahui”.
Kalimat “kebanyakan” dalam al-Qur`an
juga identik dengan cupetnya nalar, latah, gampang terpengaruh, ceroboh, tidak
berpikir secara jernih, mudah lalai dan lengah, ikut arus, mudah terprovokasi
dan mudah digiring opininya. Orang “kebanyakan” adalah golongan yang tidak
peka, tidak pandai mengambil pelajaran dan tidak bersyukur kepada Allah SWT.
“Sesungguhnya Allah mempunyai
karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (Al-Baqarah
[2]: 243)
Lebih dari itu, Allah SWT mengingatkan bahwa membeo kepada orang “kebanyakan”, berpotensi untuk terjerumus ke jurang kesesatan dan kesalahan,
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” ( Al-An’am : 116)
Lebih dari itu, Allah SWT mengingatkan bahwa membeo kepada orang “kebanyakan”, berpotensi untuk terjerumus ke jurang kesesatan dan kesalahan,
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” ( Al-An’am : 116)
Yang Benar, Biasanya Sedikit
Jika Allah SWT menghitung watak keburukan dengan kuantitas yang banyak, sebaliknya terhadap kaum yang dipuji, beriman, taat dan bersyukur, biasanya Allah SWT mensifatkannya dengan “qalil” (sedikit).
“…Dan tidak beriman kepada Nuh itu kecuali sedikit saja.” (Huud [11]: 40)
“…Tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.” (Al-Kahfi [18]: 22)
“…Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, dan amat sedikitlah mereka ini.” (Shaad [38]: 24)
Kuantitas yang sedikit dari
orang-orang yang lurus dan benar dapat kita lihat dari banyaknya ayat yang
menyebutkan golongan tersebut dalam bentuk perkecualian. Seperti “…kecuali
orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati dalam
kebenaran dan kesabaran”, juga “..kecuali orang yang shalat, yang rutin dalam
shalatnya”, atau firman Allah “…kecuali orang-orang yang bertakwa” dan
sebagainya.
Jadi, kita maklumi bahwa sesuatu yang dikecualikan lebih sedikit dari jumlah keseluruhannya.
Jadi, kita maklumi bahwa sesuatu yang dikecualikan lebih sedikit dari jumlah keseluruhannya.
Parameter
Kebenaran
Begitulah, suara kebanyakan bukanlah patokan suatu kebenaran. Pendapat mayoritas rakyat bukan pula jaminan kebaikan. Bahkan sangat mungkin yang terjadi adalah sebaliknya. Suara rakyat bukanlah suara Tuhan, boleh jadi “suara rakyat adalah suara setan,” terutama di saat kerusakan, kesesatan dan kemaksiatan telah menjadi mental “kebanyakan.”
Betapapun masing-masing orang maupun
kelompok mengklaim bahwa kebenaran berada di pihaknya, atau apa yang
diperjuangkan adalah kebenaran adanya, yang pasti bahwa kebenaran hakiki diukur
dari kesesuaiannya dengan apa yang telah digariskan dan ditetapkan hukumnya
oleh AllahSWT.
“Sesungguhnya telah datang kebenaran
kepadamu dari Rabbmu, sebab itu janganlah sekali-kali engkau termasuk
orang-orang yang ragu.” ( Yunus [10]: 94 )
Apa-apa yang disyariatkan oleh Allah SWT pasti benar dan adil, kendati kebanyakan manusia menolak dan menentangnya. Sebaliknya, apapun yang bertentangan dan tidak sejalan dengan apa-apa yang Allah SWT gariskan, ia adalah kesesatan. Kendati dipoles dengan gaya bahasa yang memikat, mendapat dukungan mayoritas rakyat, umum dilakukan masyarakat dan digembar-gemborkan oleh para pejabat. Banyaknya konsumen dan pelaku sesuatu yang haram, juga tidak mampu mengubah status keburukan menjadi kebaikan, atau kebusukan menjadi nilai kebagusan.
Apa-apa yang disyariatkan oleh Allah SWT pasti benar dan adil, kendati kebanyakan manusia menolak dan menentangnya. Sebaliknya, apapun yang bertentangan dan tidak sejalan dengan apa-apa yang Allah SWT gariskan, ia adalah kesesatan. Kendati dipoles dengan gaya bahasa yang memikat, mendapat dukungan mayoritas rakyat, umum dilakukan masyarakat dan digembar-gemborkan oleh para pejabat. Banyaknya konsumen dan pelaku sesuatu yang haram, juga tidak mampu mengubah status keburukan menjadi kebaikan, atau kebusukan menjadi nilai kebagusan.
Orang yang berakal akan senantiasa
menempuh jalan yang benar, meski jalan itu sepi dan lengang dari teman. Dan ia
tetap konsisten pada kebenaran, saat kebenaran disambut oleh kebanyakan orang.
Sikapnya tak akan berubah, karena kesetiaannya adalah pada kebenaran, bukan
pada kebanyakan. Ia akan mengalir dan berputar kemanapun kebenaran itu mengalir
dan berputar. Inilah kunci kebahagiaan dan kesuksesan. Karena itulah, Allah SWT
menutup ayat itu dengan, “Maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang
berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.”
Konsisten kepada kebenaran kapan pun
dan di mana pun adalah realisasi takwa, sedangkan takwa adalah kunci
tercapainya keberuntungan (al-falah). Syaikh Muhammad bin Shalih al-Ustaimin
berkata, makna al-falah adalah tercapainya tujuan dan terhindar dari sesuatu
yang dikhawatirkan. Kata ini juga mencakup kebahagiaan atau kesuksesan di dunia
maupun akhirat.
Nah, jika kita ingin sukses berarti
siap menyertai kebenaran di saat sepi dan dalam keramaian. Siap untuk terasing,
tapi juga siap berbaur dengan orang kebanyakan, selagi kebenaran berada di
pihak mereka.
Wallahu a’lam bishawab.
2 komentar:
Salam!
Ini ayatnya tentang KACAUNYA Mayoritas (orang2 kebanyakan terjemahannya di beberapa Al-Qur'an bhs Indonesia). Nah lu, Ummat anu di NKRI yg paling gemar menepuk dada sebagai kaum mayoritas, menangislah. BANYAK di antara mereka suka sekali main KELENIKAN/Tahayul persis YAHUDI dgn KABBALAHnya!! Di Bantul, Yogya dulu disebut "Kiyai Menyan" suka mengajarkan ilmu2 Syetani!!! Siapa paling getol hobi BID'AH dan salawat2 SYIRIK? Lihatr sendiri di NKRI/Jabodetabek....
Salam... dari tjoaginsing (cari dg Google)
Duh! Lupa ayat ttg KACAUNYA kaum mayoritas:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan (mayoritas) orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan diri kamu
dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap
Allah)”. (QS. Al-An’am, 6:116)
Posting Komentar