Oleh : pak
Agus Balung
Saudaraku yang dirahmati Allah,
berikut ini saya angkat kisah perjalanan ruhani seorang pengacara yang juga haus
dengan ilmu metafisika dan ilmu ghoib. Dengan harapan semoga kita bisa
mengambil hikmah darinya. Insya Allah, amin.
Sungguh, saya (Pitoko) tak pernah
mengira pada akhirnya saya berurusan dengan dunia jin. Meski saya adalah
seorang pengacara, tetapi tetap saja tidak bisa menghindari kenyataan bahwa
manusia tidak hidup sendirian. Ada makhluk lain yang juga menempati dunia ini
sama dengan manusia.
Apa yang saya alami ini, tidak
terlepas dari masa lalu saya. Ketika itu saya tertarik mempelajari tenaga dalam
dari seseorang yang katanya tidak menggunakan unsur jin. Hal ini terlihat pada
iklan mereka di sebuah surat kabar terbitan Yogyakarta.
Saya terpikat dengan slogan mereka
yang katanya islami, dari kalimat ‘tauhid’ yang tertera pada nama perguruan
tersebut. Dalam ulasan berita itu disebutkan berbagai kehebatan ilmu perguruan
itu yang katanya di sarikan dari Al-Qur’an dan mengajak untuk syiar islam serta
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Saya pikir, inilah yang saya cari
selama ini.
Pendek kata, setelah memenuhi segala persyaratan termasuk juga membayar
‘mahar’, saya resmi jadi anggota perguruan beladiri tenaga dalam tersebut. Pada
hari pertama sebelum menjalani latihan yan sudah diprogramkan, semua murid
angkatan saya diisi dadanya. Selanjutnya diperagakan berbagai atraksi kehebatan
dan kesaktian ilmu dalam perguruan itu oleh murid-murid senior.
Menurut saya ilmu-ilmu yang
diajarkan sangat banyak, dan sepertinya ilmu sang guru tidak ada
habis-habisnya. Hampir semua ilmu yang dimiliki dan diperagakan oleh perguruan
lain yang pernah saya lihat di TV dan media cetak lain, serta terdapat di
berbagai daerah, ternyata dikuasai oleh sang guru dan diajarkan kepada
murid-muridnya. Katanya sang guru telah belajar 57 guru (pendekar) yang terbesar
diseluruh indonesia. Hebatnya, seluruh jurus dapat diperagakan secara gerakan
fisik maupun batin, mempunyai efek yang sama. Untuk kesaktian maupun
pengobatan. Ya pantas saja kehebatannya tidak ada habis-habisnya, karena
diambilkan dari Al-Qur,an, pikir waktu itu.
Katanya, ilmu-ilmu tersebut warisan
dari seorang wali. Semua murid wajib menjalankan agama islam, menjalankan
segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya agar menjadi orang bertaqwa.
Semakin tebal ketaqwaannya, maka akan semakin cepat tinggi pencapaian ilmunya.
Jadi tidak mutlak di tentukan berapa lama dan tingkat berapa dalam perguruan
itu, semua tergantung ketaqwaannya. Sangat ditekankan agar banyak bedzikir
kalimat tauhid.
Sejak awal mengikuti latihan ibadah
menjadi relatif lebih baik, mungkin karena berdzikir sebagai bagian dari amalan
agar memperoleh “kesaktian” sehingga bisa mengobati diri sendiri maupun orang
lain. Banyak pengalaman spiritual yang saya alami ketika berdzikir seperti
melihat sinar bergelombang yang masuk ke dalam mata saya yang hampir selalu
terjadi dalam setiap bedzikir.
Lain waktu, ketika membaca Al-Qur’an
dan kebetulan lampunya mati maka sinar biru keputih-putihan memancar dari
Al-Qur’an dan menuntun saya membaca ayat demi ayat. Pada saat membaca surat Yaa
siin tiba-tiba seluruh tubuh saya bergetar hebat. Saya sempat terjengkang tiga
kali.
Dengan adanya “kelebihan-kelebihan”
itu, maka saya pikir jauh melebihi ilmu kebatinan dalam keyakinan kejawen
seperti yang dipelajari bapak dan saudara saya.
Bulan pertama, semuanya masih
berjalan lancar. Tidak ada sesuatu yang perlu di khawatirkan. Tapi selang
beberapa minggu berikutnya ketenangan saya mulai terusik. Bagaimana tidak, bila
setiap berdzikir dalam hati maka yang keluar adalah bisikan-bisikan yang
menggelisahkan hati saya. “Anallah…Anallah… (saya adalah Allah, Saya adalah
Allah)”. Itulah bisikan yang selalu keluar.
Jika demikian, saya segera
berkonsentrasi dan mengarahkan hati untuk melafadzkan kalimat tauhid, “laa
ilaaha illallah”. Tapi bisikan-bisikan itu terus mencerca saya, “Anallah…
Anallah”.
Awalnya saya berpikir bahwa hal ini
disebabkan pengaruh buku tentang Al-Hallaj yang sempat saya baca. Al-Hallaj
adalah seorang sufi dari Mesir yang dihukum pancung karena menyebarkan paham
wihdatul wujud (Bersatunya tuhan dengan hamba). Suatu keyakinan menyatunya
hamba dengan Tuhan yang terungkap dalam pernyataan, “Anallah…”. Tapi setelah
bisikan “Anallah…Anallah” selalu hadir saat berdzikir, saya pun semakin resah.
Meskipun hati saya gelisah, tapi
kehebatan saya kian lama kian meningkat. Hingga empat bulan tanpa terasa saya
bergabung dengan mereka. Hanya dengan melafalkan kalimat tauhid, lalu
menerapkan jurus-jurus yang diajarkan dalam perguruan, baik secara halus dalam
batin, kesaktian atau ilmu itu muncul begitu saja. Saya selalu berhasil.
Sepertinya Allah selalu mengabulkan permintaan saya atau permintaan setiap
orang yang belajar di perguruan ini, begitulah keyakinan saya saat itu.
Dari sinilah mulai muncul pertanyaan
dalam hati, apakah sedemikian tinggi kualitas ibadah saya sehingga Allah dekat
dengan saya? Jangan-jangan ada ‘oknum’ lain yang berperan mengabulkan doa saya?
a. Dipandang Menjadi Murid oleh
Orang-Orang ‘Sakti’
Pertanyaan-pertanyaan itu,
melahirkan keraguan. Saya mulai curiga ketelibatan “oknum” lain, yaitu syetan
yang menipu. Sejak itu batin saya bergejolak. Saya gelisah. Akhirnya saya
putuskan keluar dari perguruan dengan diam-diam.
Waktu terus berjalan. Secara
perlahan muncul rasa enggan terhadap segala macam ilmu tersebut. Namun, ada
peristiwa lain yang menyebabkan saya harus berhubungan dengan orang linuwih.
Suatu ketika saya menemani seorang teman
bertemu Eyang Slamet di lereng gunung Merapi, yang dipandang sebagai “orang
pintar” oleh sebagian masyarakat.
Saya heran setengah mati, begitu
mendengar pernyataannya bahwa saya adalah cucunya. Padahal selama ini tidak ada
seorang pun keluarga bapak maupun ibu yang menyatakan bahwa mereka punya
hubungan kerabat dengan Eyang Slamet. Waktu itu saya tidak percaya begitu saja
akan ucapnya. Saya hanya menganggapnya sebagai orang biasa.
Apakah dia bisa membaca pikiran
saya, saya tidak tahu. Tapi yang jelas, tepat tengah malam saya disuruh
berdzikir di area perkebunan yang sepi di belakang rumahnya. Di sana saya
melihat Eyang Slamet menunjukkan kesaktiannya. Setiap ada yang bermaksud
menyentuhnya, maka ia langsung terjengkang. Seakan ada aliran listrik yang
mengaliri tubuhnya. “Ini untuk perlindungan dari serangan santet”, ujar Eyang
Slamet, saat menangkap sinyal keterkejutan dalam diri saya.
Selain itu, wajah Eyang Slamet pun
berubah-ubah, matanya yang semula hanya dua, kini bergerak-gerak, entah
bagaimana caranya, hingga akhirnya mata itu pun berjumlah lima, sejurus
kemudian, kelima mata diraut mukanya kembali bergerak sedemikian rupa dan
menyatu membentuk satu mata yang besar.
‘Deg deg deg’ jantung saya seakan
terpacu, keringat dingin pun membasahi kulit saya. “Apalagi kamu, jin saja
takut melihat saya”, ejek Eyang Slamet, saat melihat muka saya pucat pasi.
Sedetik kemudian, lampu dimatikan.
Hitam pekat diiringi deru suara dedaunan tertiup angin. Bayangan mata satu yang
besar belum hilang dari benak saya, tiba-tiba dalam kegelapan dan keheningan
itu keluar warna putih yang terus membesar. ‘Woow’ jerit saya terpekik. Tubuh
Eyang Slamet meninggi dan tangannya yang berwarna putih seakan cahaya ditengah
kegelapan.
“Ini untuk dakwah Islamiyah”, kata Eyang Slamet kemudian. Eyang Slamet memang
aneh, dia hanya bekerja diladang pada malam hari sampai pagi. Siangnya di
rumah. Ia pun menginginkan saya menjadi muridnya. Tapi keinginan itu saya tolak
dengan halus, cukup sudah kegelisahan yang terjadi kemarin. Saya tidak ingin
memperdalam sesuatu yang mendatangkan kegelisahan dan ketidaktenangan.
Pada kesempatan lain, saat KKN
(Kuliah Kerja Nyata) di Semarang saya berkenalan dengan seorang kyai pemilik
pondok pesantren. Dia tertarik pada saya dan mengajak menemui gurunya di daerah
temanggung. Saya sendiri juga melihat keanehan-keanehan dari gurunya itu. Apa
yang saya pikirkan seakan diketahuinya.
Demikianlah, kesempatan-kesempatan
untuk memperdalam kemampuan spiritual dari beberapa pihak itupun saya tolak.
Sebenarnya yang saya cari sangat sederhana yaitu bisa beribadah dan punya
sedikit pengetahuan agama. Itu saja.
b. Memutuskan Perkara dengan Bisikan
Meski pada dasarnya saya menolak dan
sudah meninggalkan ilmu-ilmu linuwih, namun tanpa sadar, saya sering
mendapatkan bisikan-bisikan dalam hati. Bisikan yang mengantarkan saya dalam
dunia penerawangan atau mendapat firasat dalam bentuk mimpi atas apa yang belum
terjadi.
Saat melamar menjadi dosen,
misalnya. Saya seperti melihat sendiri dalam mimpi dan membaca surat penerimaan
atas lamaran saya tersebut. Dan memang persis seperti apa yang saya baca saat
di terima menjadi dosen disebuah perguruan tinggi. Bahkan sampai detail
suratnya pun sudah saya ketahui sebelumnya. Demikian pula halnya ketika
mengikuti seleksi menjadi pengacara, saya sudah tahu lebih dahulu bahwa saya
akan lulus. Hal ini tidak lain karena adanya bisikan dalam hati.
Setelah menjadi pengacara bisikan
dalam hati itu pun masih setia mengiringi perjalanan saya. Padahal sebelum
memutuskan untuk menerima atau menolak menangani sebuah kasus, biasanya saya
shalat istikharah terlebih dahulu. Tapi disinilah justru syetan menunjukkan
kelihaiannya. Dan muncullah bisikan-bisikan yang seakan itu adalah petunjuk
Allah.
Bisikan yang sering menyebabkan saya
terjebak dalam keruwetan yang berkepanjangan.
Ada sebuah kasus yang mulai saya tangani tahun 2000. seperti biasanya saya
shalat istikharah. Saya mohon petunjuk kepada Allah apakah sebaiknya kasus
tersebut saya tangani atau tidak. Ternyata setelah sholat istikharah, dari
dalam dada saya terdengar suara yang saya dengar cukup keras dan berulang-ulang
membisiki agar menangani kasus tersebut.
Akhirnya saya putuskan untuk
menerima tawaran menangani kasus tersebut. Kini setelah bertahun-tahun
menanganinya saya justru terjebak dalam keruwetan kasus itu sendiri, karena
kasusnya menjadi melebar kemasalah lain yang lebih rumit.
Anehnya, setiap saya bertemu dengan
pihak lawan, keraguan muncul dan lidah menjadi kelu, akibatnya saya sulit
berbicara bila bertemu dengannya. Sungguh sangat mendebarkan. Selanjunya
munculah kecemasan yang luar biasa. Bebarapa hari menjelang sidang pengadilan,
bisa dipastikan saya dilanda kegelisahan yang tidak kalah beratnya. Malam
menjelang sidangpun saya tidak bisa tidur.
Bila sudah demikian, saya
menenangkan diri dengan bedzikir hingga berjam-jam lamanya. Barulah kemudian,
saya memiliki keberanian untuk melangkah ke pengadilan. Itu pun di bawah
ancaman kecemasan yang luar biasa. Hal semacam itu berlangsung terus menerus
saat persidangan di tingkat pengadilan Negeri. Padahal untuk kasus-kasus yang
lain, hal seperti ini tidak pernah terjadi.
Setelah perkara memperoleh putusan
pengadilan yang memenangkan kami, maka pihak lawan mengajukan banding ke
pengadilan tinggi. Di sini mulai lagi terjadi keanehan. Perkara yang sudah
berlangsung empat tahun tidak juga turun. Setiap saya cek, selalu saja belum di
putuskan oleh pengadilan tinggi. Jelas ini menyalahi peraturan yang berlaku.
Perkara yang satu ini jelas seperti hilang lenyap di telan bumi. Saya sendiri
setiap melangkah mau mengurus dan menyelesaikan perkara ini selalu saja merasa
cemas dan gelisah.
Sejak perkara ini masuk ke
pengadilan, klien saya menetap di Singapura dan tidak berani kembali kembali ke
Indonesia. Ia tidak berhubungan dengan pengacara lain. Semua perkaranya hanya
saya yang mengetahuinya. Kondisi yang sangat aneh dan membuat pikiran saya
selalu cemas dan gelisah. Hal ini jelas sangat menguntungkan pihak lawan dan
dia diuntungkan dengan menguasai rumah berikut isinya senilai hampir satu
milyar, padahal sebenarnya itu bukan haknya.
Seiring dengan itu, kehidupan
spiritual saya menjadi kacau, bahkan saya mulai berani meninggalkan shalat.
Waktu itu tidak ada rasa bersalah. Semuanya masih saya anggap biasa saja.
Apakah ini karena pengaruh pergaulan saya selama ini ataukah faktor lainnya,
saya tidak begitu peduli. Yang jelas sedikit kesadaran yang menyeruak di dalam
dada harus segera di jawab, karena itu saya pun mulai mengikuti kajian
keislaman di Jakarta pusat. Inilah awal perkenalan saya dengan majalah Ghoib.
Meski saya baru ikut terapi setahun kemudain. Hal ini tidak terlepas dari
perasaan yang sulit dijabarkan. Setiap kali terbesit keinginan untuk terapi
ruqyah ada saja alasan yang menggagalkannya.
c. Perjuangan Melawan Syetan
Saya pertama kali di ruqyah di
kantor ruqyah Majalah Ghoib. Pada awal di bacakan doa-doa ruqyah, semula biasa
saja tidak nampak reaksi. Namun sekitar sepuluh menit, tiba-tiba tubuh saya
gemetar. Saya menjerit. Ustadz yang mendampingi segera bertindak dengan memijit
telapak tangan saya sambil membacakan doa ruqyah dan tak lama kemudian saya
menjadi tenang kembali.
Selanjutnya saat giliran pasien di
terapi satu persatu, saat diterapi oleh ustadz Hasan Bisri. Begitu dibacakan
doa di telinga, lagi-lagi saya gemetar dan berteriak-teriak. Saat ustadz Hasan
Bisri menekan dan memijat bagian dada saya, kembali muncul reaksi dan ketika
ustadz bertanya siapa jin yang bersarang di dada, dan dengan susah payah sambil
merasakan kesakitan jin itu mengaku bernama Suryamo.
Dan ketika di tanya ada berapa dan
dimana saja jin-jin yang lain berada. Maka secara reflek dan diluar kendali,
tangan saya bergerak menunjukkan keberadaan jin dengan cara memegang
bagian-bagian anggota tubuh saya sambil gemetar. “di kepala ada lima, di
tengkuk dan leher ada lima, di dada ada lima, di kedua telapak tangan
masing-masing ada lima, di perut ada lima, dikedua kaki masing-masing ada
lima”, kata jin Suryamo. Total jendral semuanya ada lebih dari dua puluh lima
jin. Masya Allah, tubuh saya menjadi sarang para jin.
Pada terapi yang pertama itu belum
semua jin keluar dari tubuh saya, karena saya kelelahan dan ruqyah di hentikan.
Selesai ruqyah yang pertama ini saya merasakan perubahan yang sangat nyata,
dada saya terasa ringan sekali sepertinya beban-beban jauh berkurang, perasaan
jadi gembira, pikiran terasa jernih dan bisa berkonsentrasi kerja. Namun,
rupanya hal itu hanya saya rasakan dalam waktu kira-kira seminggu, karena
setelah itu saya merasakan ada sesuatu yang masuk seperti hembusan angin
menyelusup lewat kepala saya dan tiba-tiba kembali saya merasakan beban hidup
ini menjadi berat, susah konsentrasi, lemas dan gelsiah lagi. Mungkin, jin itu
masuk lagi.
Pada ruqyah kedua, jin-jin itu
nampaknya semakin bandel dan agak susah keluar. Bahkan selesai ruqyah kedua ini
entah kenapa kepala saya terasa berat dan pusing. Ketika pulang, saya merasa
kebingungandan tidak tahu arah pulang, padahal saya sudah sangat paham dan
kenal dengan jalan pramuka tempat kantor Majalah Ghoib. Berkali-kali saya tanya
orang tentang arah yang akan saya tuju. Meski sudah di kasih tahu, tapi tetap
saja saya tidak tahu jalan meski sudah berkali-kali di tunjukkan.
Namun, pada akhirnya alhamdulillah
saya perlahan-lahan mulai bisa mengenali arah jalan dan bisa pulang dengan
selamat. Sedemikian beratnya gangguan yang saya hadapi sehingga jin yang
bersarang dalam diri saya itu pun harus dikeluarkan secara perlahan. Saya tidak
peduli berapa kali harus datang dan ruqyah di kantor ruqyah. Bagi saya yang
terpenting adalah terhindar dari kemusyrikan pada saat mengalami cobaan. Saya
memaknai semua ini bagian dari penghapusan dosa atas kesalahan yang terjadi
pada masa lalu. Dengan ini, Allah menegur saya.
Kini setelah mengikuti ruqyah terapi
yang kesepuluh kalinya, saya merasakan diri saya jauh lebih baik. Rasa cemas
yang biasa hadir kini jauh berkurang, bila tidak boleh dikatakan hilang sama
sekali. Karena itu, saya mulai mengurus klien saya kembali setelah
terkatung-katung selama empat tahun.
Bagi saya semuanya serba misteri dan
saya tidak berani menduga-duga ada ulah dukun di balik semua ini. Saya sudah
merasa jauh lebih baik, dan siap melakukan aktivitas kerja lagi sebagai seorang
praktisi hukum.
Semoga kisah ini menjadi pelajaran
berharga bagi siapapun. Terlebih seorang praktisi hukum seperti saya yang
hampir setiap hari ‘bermusuhan’ dengan orang lain. Ini adalah risiko pekerjaan.
Tidak semua orang itu baik. Dengan kata lain, tidak sedikit diantara mereka
yang akhirnya memanfaatkan dunia lain untuk kepentingan dan keuntungan mereka.
(Sumber : Majalah Ghoib Edisi 26 Th.2/19
Sya’ban 1425 H/4 Oktober 2004 M)