Minggu, 09 Desember 2012

AHLI IBADAHPUN BISA MASUK NERAKA



AHLI  IBADAHPUN  BISA  MASUK  NERAKA
Oleh  :   pak Agus Balung

Berikut ini saya angkat sebuah kisah yang menarik dan layak untuk disimak bersama sama,  dan semoga menjadi pembelajaran bagi kita semua, amin.

Suatu ketika, Nabi Musa a.s berjalan menuju Bukit Sina – tempat di mana Nabi Musa menerima perintah-perintah Tuhan. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang ‘abid (ahli ibadah) yang sedang ber-uzlah (menjauhkan diri dari keramaian). Ketika melihat Nabi Musa, sang  ‘abid mendekatinya,   dia  mendekat dengan penuh semangat. Lalu berkata :
“Wahai Nabi Allah, pasti engkau akan menemui Allah. Tolong tanyakan kepada Allah, di surga tingkat berapa nanti aku ditempatkan di akhirat?” kata sang ‘abid penuh yakin.
“Lho, bagaimana engkau bisa memastikan dirimu akan masuk surga?”  kata Nabi Musa dengan heran.
 “Bagaimana tidak, wahai Nabi Allah. Aku mengasingkan diri dari keramaian sudah selama empat puluh tahun. Aku telah meninggalkan segala-galanya. Selama itu aku tidak pernah melakukan perbuatan dosa. Aku hanya berdzikir dan beribadah kepada Tuhan. Aku tidak makan kalau tidak ada daun-daun yang jatuh ke pangkuanku. Aku tidak minum kalau bukan air hujan. Tidak pastikah aku masuk surge,  wahai Nabi Allah ?”

Nabi Musa kemudian melanjutkan perjalanannya.  Di Bukit Sina, ia berjumpa dengan Allah. “Ya Allah, di tengah perjalanan aku bertemu dengan seorang hamba-Mu. Dia ingin tahu di surga tingkat berapakah gerangan tempatnya nanti?”
Jawab Allah: “Wahai Musa, sampaikan kepadanya bahwa tempatnya di neraka.” Nabi Musa terkejut.
Ia pun kembali menemui sang ‘abid. Melihat Nabi Musa datang, sang ‘abid dengan penuh semangat menemuinya. Ia ingin cepat mengetahui di surga tingkat berapa tempatnya kelak di akhirat
.
“Di surga ke berapa tempatku nanti? Katakan secepatnya, wahai Nabi Allah!” kata sang ‘abid seraya mengguncang-guncang bahu Nabi Musa. “Katakan wahai Nabi Allah, jangan biarkan aku menderita karena menunggu.” Nabi Musa lama terdiam. Ia kesulitan mengungkapkan jawaban yang santun agar tidak mengejutkan dia.  Sang ‘Abid itupun terus mengguncang bahunya.  Kemudian Musa menjawab :“Sabar wahai sahabatku. Kata Tuhan, tempatmu nanti di neraka.”
“Bagaimana mungkin wahai Musa. Ibadah empat puluh tahun diganjar dengan neraka? Tidak mungkin. Pasti engkau salah dengar. Tolong engkau kembali lagi kepada Tuhan, tanyakan di surga ke berapa tempatku kelak.”  Nabi Musa kembali. Di tengah perjalanan ia bergumam sendirian,   “Iya ya, jangan-jangan aku salah dengar, masak beribadah selama empat puluh tahun tanpa putus, koq malah diganjar masuk neraka.”

“Wahai Allah,  hambamu ingin kejelasan, apa benar tempat si ‘abid tadi  kelak di neraka?” tanya Nabi Musa kepada Allah sekali lagi.        Allahpun berfirman : “Katakan, tempatnya di surga.” “Jadi, Tuhan, tadi aku salah dengar ?”   Allah menjawab :“Tidak. Wahai Nabi-Ku, engkau tidak salah dengar.   Aku tadinya memang akan menempatkannya di neraka. Aku ciptakan manusia bukan untuk egoistis, apapun alasannya, termasuk alasan spiritual. Aku menciptakan manusia sebagai khalifah dan untuk saling membantu sesamanya. ‘Abid tadi bukan mendekatkan dirinya kepada-Ku. Ia melarikan diri dari realitas kehidupan yang nyata.
“Lalu secepat itukah keputusan-Mu berubah?” tanya Nabi Musa.
“Pada saat engkau berjalan menuju ke sini, ‘abid itu tersungkur sujud, ia menangis sejadi-jadinya. Ia memohon kepada-Ku – kalau benar ditempatkan di neraka – agar tubuhnya diperbesar sebesar neraka Jahanam, supaya tidak ada orang lain yang masuk ke dalamnya selain hanya dirinya. Pada saat itu, ia tidak lagi egoistis. Ia kembali ke pangkuan realitas kehidupan. Saat itu ia telah memikirkan kepentingan orang lain selain dirinya.”

Dalam cerita tersebut, ada pesan Al-Qur’an yang ingin disampaikan, yaitu ibadah individu dan ibadah sosial yang dalam bahasa agama disebut  habl min Allah wa habl min an-nas   (hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesama) merupakan dua sisi ibadah yang tidak dapat dipisahkan. Kita tidak diperbolehkan hanya mementingkan ibadah sosial atau kesalehan sosial, dan melupakan ibadah ritual atau kesalehan individu, atau sebaliknya, hanya mementingkan ibadah ritual atau kesalehan individu, dan melupakan kesalehan sosial.
Itulah sebabnya mengapa ibadah seseorang ditolak, ketika saat itu masih ada tetangganya yang kelaparan. Dan itulah sebabnya ibadah seseorang tertolak, walaupun dilakukan dengan khusyuk, sementara pada saat yang sama dia mengurung seekor kucing, sampai kucing itu mati kelaparan.
Subhanallah,  semoga yang sedikit dan sederhana ini bermanfaat bagi kita semua.  Bagi anda, dan juga saya. Insya Allah. Amin.

Tidak ada komentar: