Oleh : pak
Agus Balung
Pada periode Mekkah, ayat yang mewajibkan untuk berpuasa di
Bulan Ramadhan itu belum turun, yaitu:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah: 183)
Jadi, pada periode Mekkah, belum ada kewajiban untuk
berpuasa di Bulan Ramadhan, karena ayat mengenai perintah tesebut (ayat di
atas) belum turun. Tapi, meskipun dalam periode Mekkah tersebut belum ada kewajiban
untuk berpuasa di Bulan Ramadhan, namun Rasulullah dan para sahabat telah
terbiasa berpuasa. Ada dua jenis puasa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah dan umat Islam
ketika itu (periode Mekkah), yaitu : pertama, puasa setiap tanggal 13, 14,
dan 15 (setiap bulannya), yang biasa disebut sebagai puasa hari putih. Kedua, puasa pada tanggal 10 Muharram.
Inilah dua jenis puasa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah dan umat Islam
ketika itu. Hampir-hampir seperti wajib, tapi sebetulnya tak ada kewajiban
untuk puasa jenis ini, sehingga kita menyebutnya sebagai puasa sunnah.
Ketika Rasullah dan umat Islam hijrah
ke Madinah, barulah ayat yang memerintahkan untuk melaksanakan puasa di Bulan
Ramadhan itu turun. Ayat tersebut turun pada Bulan Sya’ban tahun kedua hijriyah.
Karena itulah, Sya’ban merupakan gerbangnya Ramadhan.
Pada Bulan Rajjab, maka kita berdoa, “Allahumma
bariklana fi Rajjab wa Sya’ban, wa balikna Ramadhan.” (Ya Allah,
berkahilah kami di Bulan Rajjab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami untuk
bertemu dengan Bulan Ramadhan).
Banyak sekali hadits yang menceritakan
keistimewaan Bulan Rajjab dan Sya’ban. Salah satunya adalah:
Pada Bulan
Sya’ban itu (tepatnya yaitu ketika Nisfu Sya’ban), maka Allah akan turun ke
langit dunia. Allah akan melihat, siapa saja hamba-Nya yang meminta ampun, maka
Allah akan memberikan ampunan kepada semuanya. (Al-Hadits)
Dalam redaksi yang lain juga
disebutkan:
Allah akan
turun ke langit dunia, maka Allah memberikan ampunan semua hamba-Nya, kecuali
dua jenis manusia: pertama, orang yang mensyirikkan Allah. Kedua,
orang yang dalam hatinya ada permusuhan dengan orang lain. (Al-Hadits)
Sebenarnya tidak ada keraguan mengenai malam Nisfu Sya’ban.
Yang yang menjadi perbedaan pendapat adalah apa yang kita lakukan pada malam
Nisfu Sya’ban tersebut.
Pada tahun kedua hijriyah, muncul beberapa kewajiban. Selain
kewajiban mengenai puasa di Bulan Ramadhan, juga muncul kewajiban untuk
membayar zakat fitrah. Sedangkan perintah mengenai kewajiban zakat maal baru muncul pada tahun
kedelapan hijriyah.
Mengapa Bulan Sya’ban menjadi begitu
penting? Karena, jika kita tidak mempersiapkan diri (dalam arti ruh kita) untuk
menghadapi Ramadhan, maka ketika Ramadhan habis, ternyata kita tidak
mendapatkan apa-apa, karena ruh kita belum siap untuk berhubungan dengan Allah.
Allah tidaklah menilai berapa rakaat
kita salat tarawih, berapa banyak kita mengkhatamkan Alquran, berapa malam dan
berapa lama kita salat tahajjud, bahkan Allah juga tidak menilai berapa banyak
zakat dan sedekah yang kita bayar, melainkan yang dinilai oleh Allah adalah
keikhlasan kita dalam mencari keridhaan-Nya.
Karena itulah, sudah semestinya kita
bersungguh-sungguh mempersiapkan diri menghadapi datangnya Bulan Ramadhan. Bagi
yang mempersiapkan dirinya dengan sungguh-sungguh menghadapi Bulan Ramadhan,
seperti yang dikatakan oleh Rasulullah, bahwa barangsiapa yang senang, atau
sekedar senang saja dengan datangnya Bulan Ramadhan, maka syurga adalah
balasannya.
Senang yang dimaksud adalah bagi
orang-orang yang memang sudah sejak Bulan Rajjab, atau setidaknya sejak Bulan
Sya’ban sudah mempersiapkan dirinya (dalam arti ruhnya) untuk menghadapi
datangnya Bulan Ramadhan.
Allah berfirman:
Dan orang-orang
yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik.
(Q.S.
Al-‘Ankabuut: 69)
Kuncinya di sini adalah kesungguhan
diri kita mempersiapkan datangnya Bulan Ramadhan. Jika diibaratkan, maka Nisfu
Sya’ban adalah lampu kuning, yang menandakan bahwa sebentar lagi Ramadhan akan
menjelang. Kalau sudah lampu kuning, tinggal setengah bulan lagi Ramadhan,
sedangkan kelakuan kita masih seperti sebelum-sebelumnya: hati belum
dibersihkan dan dipersiapkan, sehingga ketika Bulan Ramadhan datang, ternyata
kita belum apa-apa. Ramadhan kemudian berlalu begitu saja tanpa ada kesan,
melainkan sekedar “illal ju’ wal athas” (sekedar tidak makan, sekedar
tidak minum).
Ingatlah ketika Nabi Ibrahim
diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya (Ismail). Allah mengatakan:
Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah
menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya
kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-Hajj: 37)
Allah tidak membutuhkan darah kambing,
tidak membutuhkan daging kambing, tidak membutuhkan kulit kambing, melainkan
kitalah (manusia) yang membutuhkan semua itu. Allah hanya sekedar mengecek,
apakah manusia mau “sami’na wa ’atha’na”. Apakah manusia siap
melaksanakan apa yang dikatakan-Nya.
Kesungguhan Nabi Ibrahim inilah yang
kemudian oleh Allah dibalas. Karena Nabi Ibrahim sungguh-sungguh memberikan
yang terbaik yang dimilikinya. Karena kesungguhannya untuk selalu memberikan
yang terbaik, maka anak yang ditunggu-tunggunya (Ismail) yang diperintahkan
untuk dikurbankan, kemudian Allah ganti dan Allah balas dengan yang terbaik.
Lihatlah bagaimana kesungguhan Siti Hajar. Waktu itu ia
ditinggal di lembah Bakkah (Mekkah), yang ketika itu belum ada apa-apanya
selain hanya lembah yang sunyi. Bayangkanlah, ketika itu Siti Hajar ditinggal
sendirian oleh Nabi Ibrahim, Siti Hajar hanya ditemani anaknya (Ismail) yang
masih kecil.
Ia (Siti Hajar) bertanya kepada Nabi Ibrahim, “Hai Ibrahim,
engkau meninggalkanku di sini apakah karena kehendakmu atau karena perintah
Allah? Kalau
kehendakmu sendiri, aku tak mau, sama saja engkau sudah menelantarkan isteri
dan anakmu. Tapi kalau ini merupakan perintah Allah, maka aku akan
mentaatinya.”
Siti Hajar waktu itu tidak membawa cangkul, tidak membawa
alat mengebor untuk menemukan air. Apakah yang dilakukan Siti Hajar? Yang dilakukannya
adalah selalu memberikan yang terbaik dan selalu bersungguh-sungguh. Yang bisa
dilakukan oleh Siti Hajar hanyalah berlari dari Shafa ke Marwa. Ternyata air
yang dicari itu tidak ada. Kemudian ia kembali lagi berlari ke Shafa, walaupun
ia tahu sebelumnya bahwa di Shafa juga tidak ada air, namun ia tetap
mencarinya. Begitu seterusnya beberapa kali bolak-balik berlari antara Shafa
dan Marwa. Tapi ia terus bersungguh-sungguh berusaha untuk mendapatkan air
tersebut. Menurutnya, bahwa mustahil Allah akan menelantarkan dia dan anaknya.
Akhirnya, ternyata yang menemukan
zam-zam adalah Ismail (anaknya), bukanlah Siti Hajar. Artinya, jika kita
beribadah kepada Allah, jika kita sungguh-sungguh berjuang di jalan Allah, maka
janganlah egois. Bisa saja Siti Hajar berkata, “Yang capek berlari aku, tapi
mengapa Ismail (anakku) yang mendapatkannya.”
Ternyata Siti Hajar tidak berkata
seperti itu. Terserah Allah akan memberikan rezeki lewat mana. Bayangkanlah
jika para pejuang yang dahulunya berjuang melawan penjajah, tapi mereka (para
pejuang itu) egois, maunya merdeka secepatnya pada saat itu juga.
Yang Allah minta bukanlah hasil,
melainkan usaha yang kita lakukan. Yang menikmati kemerdekaan adalah kita
sekarang, sedangkan para pejuang yang dahulunya berjuang ternyata tidak
merasakan hasil dari perjuangannya. Mereka juga mungkin tidak tahu ratusan
tahun kemudian barulah negeri ini merdeka. Dalam Bahasa Arab disebut “Man
jadda wa jada” (siapa yang mau sungguh-sungguh, maka dialah yang
mendapatkan hasilnya).
Kesungguhan inilah yang membedakan
orang-orang yang beriman yang oleh Rasulullah dikatakan:
Barangsiapa
yang bergembira dengan datangnya Bulan Ramadan, balasannya adalah surga
jannatun na’im. (Al-Hadits)
Tapi, jika kita tidak
bersungguh-sungguh mempersiapkan diri, maka kita bukanlah termasuk yang
disebutkan oleh Rasulullah itu.
Ketika menjalankan ibadah puasa
Ramadhan, maka yang dihitung oleh Allah bukanlah banyaknya rakaat shalat
tarawih, bukanlah banyaknya khataman Alquran, dan bukan pula panjangnya bacaan
Alquran ketika shalat tarawih, melainkan yang dinilai oleh Allah adalah
kesungguhan dan keikhlasan kita berjuang di jalan-Nya.
Kesungguhan seperti ini juga dilakukan
oleh para sahabat Rasulullah. Dalam suatu kesempatan, ketika Rasulullah sedang
berkumpul dengan para sahabatnya, ada seorang pemuda yang lewat di depan
mereka. Pemuda itu badannya tegap, masih muda, kuat, dan tangkas. Maka sahabat
yang hadir ketika itu mengatakan kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, jika pemuda
tersebut mengikuti kita berjihad, sepertinya cocok dan pas sekali.”
Lalu dijawab oleh Rasulullah, “Apabila
pemuda tadi keluar dari rumahnya demi berusaha mencari rezeki untuk
anak-anaknya yang masih kecil, maka itulah yang dinamakan fi sabilillah.
Jika ia keluar dari rumahnya sungguh-sungguh untuk mencari rezeki di jalan
Allah, maka itulah yang dinamakan fi sabilillah. Kalau pemuda ini keluar
dari rumahnya sungguh-sungguh mencari rezeki dan berusaha untuk memberi makan
orang tuanya yang sudah tua, maka itulah yang dianamakan fi sabilillah.
Apabila pemuda ini keluar dari rumahnya untuk kemegahan dirinya, untuk riya’,
agar dipuji oleh orang lain, maka itulah yang dinamakan fi sabilisy-syaithan.”
Dalam hal ini, sebenarnya adalah persoalan
ruh. Perbuatannya sama, sama-sama bekerja, sama-sama berusaha sungguh-sungguh,
tapi yang Allah nilai bukanlah perbuatan fisiknya, melainkan keikhlasannya
hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah.
Rezeki itu adalah rahasia Allah. Setiap orang sudah ditentukan
banyak dan sedikitnya rezeki yang ia dapatkan.
Diriwayatkan, bahwa suatu ketika Sayyidina Ali naik keledai,
lalu datang ke masjid. Dilihatnya di depan masjid ada seorang pemuda yang
sedang duduk-duduk. Melihat itu, Sayyidina Ali bermaksud untuk menitipkan
keledainya itu kepada pemuda tersebut. Niat Sayyidina Ali, bahwa nanti setelah
selesai shalat, maka beliau akan memberi sedekah kepada pemuda tersebut
sebanyak satu dinar. Kemudian masuklah Sayyidina Ali ke dalam masjid untuk
shalat, setelah sebelumnya menitipkan keledainya kepada pemuda tersebut.
Ketika Sayyidina Ali selesai shalat, lalu keluar dari
masjid, ternyata si pemuda tersebut sudah tidak ada. Keledainya masih ada, tapi
cangkang keledainya sudah tidak ada. Sehingga Sayyidina Ali berprasangka,
jangan-jangan si pemuda yang dititipi keledai tersebut malahan bukan menjaga
keledai, melainkan mencuri cangkang keledai. Lalu Sayyidina Ali pun memanggil
seorang temannya untuk pergi ke pasar mencari pemuda yang dimaksud. Sayyidina
Ali menitipkan satu dinar kepada temannya itu untuk membeli cangkang keledai
tersebut dari pemuda yang dimaksud.
Ketika temannya Sayyidina Ali itu pergi ke pasar, ternyata
benar, ia menemukan pemuda tersebut sedang menjual cangkang keledai yang
dimaksud seharga satu dinar. Lalu temannya Sayyidina Ali itu pun membeli
cangkang keledai yang dimaksud dari pemuda tersebut. Ketika temannya Sayyidina
Ali itu kembali menghadap Sayyidina Ali, ia pun menceritakan apa yang sudah
ditemuinya di pasar, bahwa benarlah apa yang disangkakan oleh Sayyidina Ali.
Mendengar ini, Sayyidina Ali berkata, “Subhanallah, ternyata
pemuda tersebut memilih untuk mendapatkan satu dinar yang haram dibandingkan
satu dinar yang halal.”
Jika si pemuda tersebut sabar sedikit saja, tentunya ia akan
mendapatkan satu dinar yang halal. Namun karena ia tidak sabar, maka ia
mendapatkan satu dinar yang haram. Pertanyaannya, apakah rezekinya itu
bertambah? Ternyata rezeki yang ia dapatkan dari cara yang haram tersebut tidak
bertambah. Memang sudah dari sananya mendapatkan rezekinya sebanyak itu, maka
sebanyak itu jugalah yang akan ia dapatkan, walau dengan cara apapun ia
lakukan. (kisah ini dikutip dari Buku “La Tahzan”).
Masih dari Buku “La Tahzan”, juga
dikisahkan:
Ada dua kelompok nelayan: satu kelompok
selalu berbuat maksiat terus, sedangkan kelompok yang satunya lagi selalu tekun
beribadah. Tapi tangkapan ikan pada kelompok nelayan yang selalu berbuat
maksiat itu ternyata jauh kebih banyak dibandingkan dengan kelompok nelayan
yang tekun beribadah. Jadi, kelompok nelayan yang tekun
beribadah mulai pusing dihadapkan pada kenyataan tersebut. Mengapa seperti ini,
mereka sudah tekun beribadah, tapi rezekinya sedikit, sedangkan yang suka
mengerjakan maksiat malahan mendapatkan rezeki yang melimpah. Akhirnya,
nelayan-nelayan yang tekun beribadah itu merundingkan hal tersebut sesama
mereka. Mereka merundingkan untuk mencoba melakukan maksiat kecil-kecilan,
siapa tahu ada perubahan akan rezeki yang mereka dapatkan. Akhirnya diputuskanlah,
kemudian mereka mencoba melakukan maksiat kecil-kecilan.
Ternyata benar, setelah mereka melakukan maksiat, tangkapan
ikan mereka menjadi melimpah ruah. Di antara tangkapan ikan yang banyak itu,
ada satu ikan yang besar. Ketika dibelah perutnya, ternyata di dalam perutnya
ditemukan mutiara yang nilainya tak terhingga. Pada saat itu, nelayan-nelayan
tersebut berdecak keheranan akan hasil tangkapan mereka tersebut. Mereka lalu
mengira, jangan-jangan ini bukan rezeki dari Allah, melainkan karena bantuan
setan. Kemudian mereka merundingkan lagi akan hal tersebut. Akhirnya mereka
sepakat untuk membuang mutiara tersebut, karena mereka beranggapan bahwa
mutiara tersebut tidak halal untuk mereka ambil. Kemudian atas kesadaran
mereka, para nelayan tersebut pun insaf, lalu bertobat, dan taat lagi kepada
Allah.
Setelah taat lagi kepada Allah, mereka
beralih dari tempat semula mereka mendapatkan ikan yang melimpah ruah
sebelumnya, berpindah ke tempat lain. Setelah taat lagi kepada Allah, dan
pencarian ikan pun mereka lakukan di tempat lain, ternyata tangkapan mereka
masih tetap banyak.
Jadi dalam hal ini hanyalah persoalan
waktu, bukanlah persoalan mengerjakan maksiat atau tidak. Sudah dari sananya
seperti itu, maka seperti itu saja. Walaupun mereka kini kembali tekun
beribadah, ternyata tangkapannya tetap banyak. Di antara tangkapan yang banyak
itu, ditemukan lagi ikan yang besar, lalu ikan itu dibelah perutnya Ternyata di
dalam perut ikan tersebut didapat lagi mutiara yang sebelumnya sudah mereka
buang itu. Jadi, kalau memang sudah rezeki, walaupun kita buang, maka rezeki
tersebut akan kembali lagi.
Dalam berbisnis, usaha, bekerja, maka
janganlah pernah berpikiran untuk melakukan yang haram. Karena yang haram itu
takkan pernah bisa untuk menambah rezeki kita.
Siapa saja yang mau menjadi kasirnya
Allah, maka dia akan dipilih oleh Allah untuk menjadi kasir-Nya. Kalau kita
mendapatkan rezeki, lalu rezeki itu kita simpan untuk diri kita sendiri, maka
Allah mengatakan, bahwa kita tidak cocok menjadi kasir-Nya. Tetapi jika kita
mendapatkan rezeki dari Allah, kemudian rezeki itu kita berikan lagi kepada
orang lain, maka kita cocok menjadi kasirnya Allah.
Kewajiban puasa turunnya pada Bulan
Sya’ban tahun kedua hijriyah. Kewajiban zakat turun pada tahun kedua hijriyah
juga. Tapi pada periode Mekkah, apakah Rasulullah dan umat Islam ketika itu
tidak memberi sedekah dan infak? Ternyata Rasulullah dan umat Islam ketika itu
memberi sedekah dan infak.
Sebelum turun ayat yang mewajibkan
zakat, maka turunlah ayat:
(1) Alif Laam
Miim. (2) Kitab (Al
Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (3) (yaitu) mereka yang beriman
kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang
Kami anugerahkan kepada mereka, (Q.S. Al-Baqarah:
1 – 3)
Jadi, pada periode Mekkah memang tidak
ada perintah untuk berzakat. Yang ada adalah perintah untuk menafkahkan
sebagian rezeki kepada orang yang membutuhkan. Karena ayat inilah, ketika itu
para sahabat selalu berlomba-lomba untuk memberikan sedekah. Ada yang datang
untuk mensedekahkan sepertiga dari hartanya, kemudian ada lagi yang ingin
menyedekahkan setengah dari hartanya, setelah itu ada lagi yang ingin
menyedekahkan dua pertiga dari hartanya, kemudian Abu Bakar Shiddiq mengatakan,
bahwa ia ingin menyedekahkan seluruh hartanya.
Rasulullah bertanya kepada Abu Bakar,
“Apa yang akan kau tinggalkan untuk anak dan istrimu?”
“Cukuplah Allah dan Rasul-Nya,” jawab
Abu Bakar.
Jadi, waktu itu para sahabat memiliki
semangat untuk bersedekah habis-habisan. Kemudian turunlah ayat yang
memerintahkan kewajiban zakat. Pesan yang ingin disampaikan oleh ayat yang
memerintahkan kewajiban zakat ini adalah agar para sahabat tidak usah
habis-habisan untuk bersedekah. Yang wajib untuk dizakatkan hanya 2,5 persen.
Tentunya berbeda dengan keadaan kita
kini. Bagi kita kini mungkin ada saja alasan yang dibuat-buat untuk menghindari
kewajiban membayar zakat, misalkan: nisabnya belum sampailah, haulnya masih
kurang, dan alasan-alasan lainnya.
Tapi kalau kita “wa mimmaa razaqnaa hum yunfiquun”, maka Allah mengatakan
bahwa kita cocok menjadi kasir-Nya. Allah akan menitipkan rezeki-Nya bukan
hanya untuk kita saja, melainkan untuk kita, juga untuk orang lain.
Teladanilah Rasulullah dalam hal ini.
Jika di luar Bulan Ramadhan, beliau sangat gemar bersedekah. Ketika Bulan
Rajjab, maka sedekahnya bertambah. Ketika Bulan Sya’ban, sedekahnya bertambah
lagi. Dan ketika Bulan Ramadhan, maka sedekahnya akan bertambah, dan bertambah
lagi. Inilah rahasianya jika kita ingin menambah rezeki.
Rezeki kita takkan pernah habis, karena
menurut Allah kita cocok untuk menjadi kasir-Nya. Jika kita mendapatkan rezeki,
lalu kita memberikan lagi rezeki tersebut kepada orang lain, maka Allah akan
terus menambah rezeki kita. Tetapi, jika ketika kita mendapat rezeki, lalu
hanya kita makan untuk diri kita sendiri, maka oleh Allah mungkin hanya diberi
sebesar itu saja, karena hanya untuk kita makan sendiri. Sedangkan jika rezeki
yang kita dapatkan tersebut juga kita berikan kepada orang lain, maka oleh Allah
rezeki tersebut akan terus ditambah, karena rezeki tersebut bukan hanya untuk
diri kita sendiri, tapi dititipkan juga untuk diberikan kepada orang lain.
Terlepas dari apa yang kita lakukan
pada malam Nisfu Sya’ban, maka sudah tak dapat disangkal lagi bahwa Malam Nisfu
Sya’ban itu memang memiliki keutamaan. Jika kita tidak sungguh-sungguh
mempersiapkan (terutama ruh kita) untuk menghadapi Bulan Ramadhan, maka
nantinya kita tidak terasa, tahu-tahu Ramadan sudah habis, kita hanya “illal ju’ wal athas”, hanya
mendapatkan lapar dan haus.
Sya’ban
gerbangnya Ramadhan. Sebentar lagi Ramadhan akan datang. Siapkanlah diri kita
baik-baik dengan sungguh-sungguh. Allah tidak melihat berapa rakaat shalat
tarawih kita, berapa kali kita khatam Alquran, berapa banyak uang yang kita
sedekahkan, melainkan yang Allah lihat adalah bagaimana kita melakukan segala
perintah-Nya sungguh-sungguh hanya untuk mencari keridhaan Allah.
(Sumber : disarikan dari Kuliah
Dhuha oleh KH. Adi Warman Kariem di
Masjid Agung Sunda Kelapa – Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar