Oleh : pak
Agus Balung
“Orang yang kuat itu bukanlah orang yang kuat
bergulat, akan tetapi orang yang kuat itu adalah mereka yang dapat menahan hawa
nafsunya ketika marah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak
hal yang dapat membangkitkan kemarahan, mulai dari perkara sepele hingga
persoalan besar. Ketersinggungan, misalnya, adalah hal sepele yang kadang tidak
diperhitungkan sebelumnya. Dua teman yang sudah menjalin persahabatan
bertahun-tahun, tiba-tiba rusak hanya karena ucapan yang menyinggung perasaan.
Itupun pada hari-hari biasa, dalam keadaan normal, ucapan tersebut biasa
disampaikan sebagai “bumbu pergaulan”.
Dalam keadaan sensitif, orang mudah
tersinggung, lalu marah-marah. Ada yang marah secara pasif, dengan cara menarik
diri dari pergaulan. Ada yang dilakukan secara aktif, yaitu merespon secara
langsung dengan menunjukkan secara terus terang kemarahannya, baik melalui
kata-kata atau perbuatan.
Orang yang sedang marah biasanya
lepas kendali. Mereka bisa berbuat nekat tanpa perhitungan. Buya Hamka
mengatakan, orang yang sedang marah biasanya menggampangkan hal-hal yang sulit
dan mengecilkan masalah yang besar. Lalu beliau memberi contoh, seorang suami
yang telah menjalin hubungan keluarga puluhan tahun dengan suka duka, dalam
keadaan marah bisa saja dengan mudahnya mengusir sang istri hanya karena
persoalan sepele. Seorang suami atau istri bisa saja membanting perabot rumah
tangga yang dibeli dengan mengumpulkan uang rupiah demi rupiah selama puluhan
tahun, hanya dalam waktu sekejap saja.
Ya, banyak alasan untuk marah.
Ketersinggungan, merasa dilecehkan, merasa tidak dihormati, dikhianati, ditipu,
difitnah, termasuk tak terpuaskan, dan masih banyak lagi. Bukankah itu semua
telah menjadi menu makanan kita dalam pergaulan hidup sehari-hari? Jika
dituruti, lalu berapa kali dalam sehari kita harus marah-marah ?
Objek kemarahan itu sangat banyak
dan luas. Bisa jadi yang menjadi objek kemarahan itu adalah orang yang paling
kita cintai, misalnya suami/isteri atau anak. Bisa juga orang-orang dekat,
seperti guru atau murid, pemimpin atau anak buah. Bisa juga negara atau para
pejabatnya. Bisa juga Tuhan, bahkan kita bisa marah terhadap diri sendiri.
Ketika kita kalah bersaing,
misalnya, tak jarang kita menyalahkan keadaan, tak jarang pula menyalahkan
orang lain. Lalu, kita berkata, andaikata begini, andaikata begitu…..seandainya
begini.., seandainya seandainya begitu. Beribu kata andai berhamburan..
Bayangkan, jika seorang dai, muballigh, atau pegiat agama mempunyi sifat mudah marah. Sungguh hal itu sangat membahayakan dirinya, membahayakan orang lain, dan membahayakan agamanya. Seorang dai yang sedang marah, tak kuasa lagi menahan kata-kata kasar, umpatan, cacian, bahkan tindakan kaki dan tangan.
Bayangkan, jika seorang dai, muballigh, atau pegiat agama mempunyi sifat mudah marah. Sungguh hal itu sangat membahayakan dirinya, membahayakan orang lain, dan membahayakan agamanya. Seorang dai yang sedang marah, tak kuasa lagi menahan kata-kata kasar, umpatan, cacian, bahkan tindakan kaki dan tangan.
Lalu,
bila hal itu sampai terjadi, siapa lagi yang bisa diteladani? Sang Qudwah kini
sudah kehilangan kendali.
Renungkan, jika seorang pemimpin
mempunyai tabiat pemarah! Dengan kekuasaan di tangannya, ia bisa memecat,
mengusir, menghukum, memenjarakan, menyiksa, bahkan membunuh orang-orang yang
dianggap menghalang-halangi kebijakannya “yang tidak bijak itu”. Tidak saja
anak buahnya yang bekerja di bawah tekanan, tapi ia sendiri mengalami stress
yang sangat berat. Orang yang demikian akan terjauhkan dari rasa puas, bahagia,
dan sejahtera. Hari-harinya dipenuhi oleh perasaan kebencian, permusuhan,
ketidakpuasan, dan konflik batin yang berkepanjangan.
Itulah sebabnya, sebagaimana Hadits
yang diriwayatkan Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW)
memberi pesan singkat kepada sahabatnya yang datang khusus untuk meminta fatwa,
beliau bersabda: La Taghdhab (jangan marah). Pesan itu diulangi sampai tiga
kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar