Oleh : pak
Agus Balung
Sebut saja namanya Kadir. Wajahnya lumayan gagah. Ia anak kesayangan kedua orang tuanya sejak kecil. Di samping berprestasi, ia juga patuh dan taat pada kedua orang tua. Karena itu, saat keluar dari SMP, ia dimasukkan ke sebuah pesantren di Jawa. Sebelum berangkat, sang bapak hanya berpesan satu hal, “Nak, mudah-mudahan kelak kamu bisa bangun langgar ya di sini. Kamu nanti yang menjadi imamnya.” Kadir yang masih remaja, hanya manggut-manggut saja.
Bertahun-tahun Kadir menghabiskan
waktunya di pesantren. Akhirnya, Kadir lulus dengan nilai yang memuaskan. Doa
kedua orang tuanya dikabulkan Tuhan. Kadir pun pulang ke rumah dengan dada
tegap dan penuh kebahagiaan. Orangtuanya sampai membuat pesta syukuran.
Lulus dari pesantren, tidak banyak
yang dilakukan Kadir di rumah. Untuk mengamalkan ilmunya, ia mengalami
kesulitan. Sebab, di kampungnya, tidak ada pesantren dan masjid besar yang
menyelenggarakan pengajian. Tadinya, orangtuanya berniat langsung memasukkan
Kadir ke bangku kuliah, tapi bapaknya minta Kadir rehat dulu setahun atau dua
tahun. Masalahnya, usaha kebun palawija bapaknya sedang bangkrut karena habis
dimakan hama. Jadi, tidak ada biaya lagi untuk menyekolahkan Kadir ke perguruan
tinggi.
Banyak waktu luang, Kadir
menghabiskan waktu dengan nongkrong bersama kawan-kawannya. Pergaulan dengan
teman-teman lamanya ternyata membawa pengaruh buruk bagi Kadir. Ia jadi akrab
dengan minuman keras. Mulanya ia bisa menolak jika teman-temannya menawarkan
minuma keras kepadanya. Tetapi lama kelamaan keteguhannya jebol juga.
Hampir setiap hari, Kadir mabuk
dengan kawan-kawannya. Tapi, untuk membeli minuman keras itu tentu membutuhkan
uang. Dari mana Kadir mendapatkan semuanya itu? Jika sebelumnya, Kadir dikasih
gratis oleh kedua sahabatnya, kali ini ia harus memakai uang sendiri. Sejak itu
Kadir menjadi seorang pemalak. Dalam perkembangannya, aksi Kadir lebih dahsyat
lagi. Ia berani menghajar orang hanya karena tidak dikasih uang. Bahkan, Kadir
mulai berani membawa senjata tajam berupa celurit kecil. Dengan senjata itu,
pernah ia menyelurit kuping orang hingga putus dan berurusan dengan kepolisian.
Tetapi, setelah keluar dari kantor polisi, ia tidak jera, malah semakin
beringas. Dalam kondisi inilah, kedua orang tua Kadir akhirnya meninggal dunia
dengan tekanan berat karena kelaukan anaknya.
Mimpi Ayah
Bertahun-tahun Kadir melakoni
kejahatannya: malak, mabuk, dan judi. Selama itu pula, banyak orang yang
disakiti olehnya. Suatu kali, di tengah malam, ia duduk di depan rumahnya
sendirian. Kali ini ia tidak berkumpul dengan sahabat-sahabatnya. Ia menatap
langit yang bertaburkan bintang.
Tiba-tiba ia teringat masa kecilnya
yang indah bersama ibu dan bapaknya. Ia masih ingat bagaimana kedua orangtuanya
mengajarinya mengaji dan memasukkannya ke pesantren di Jawa.
Terbersit dalam hatinya penyesalan
mendalam atas perbuatan yang telah dilakukannya selama ini. Ia sudah lupa pada
Tuhan. Shalat kadang ditinggalkannya. Bahkan, saat bulan Ramadhan tiba, ia
jarang sekali berpuasa. Tak lama kemudian Kadir masuk ke dalam dan tidur. Dalam
tidurnya ia bermimpi bertemu bapaknya di suatu tempat yang sangat asing
baginya. Di sekitarnya benar-benar hanya berwarna putih. Oleh bapaknya, Kadir
ditanya, “Dir, kenapa kamu gak sadar-sadar juga? Hidup ini hanya sebentar.
Kembalilah ke jalan yang benar!” Setelah itu, bapaknya pergi begitu saja.
Kadir terkejut dan terjaga dari
tidurnya. “Ah, saya hanya mimpi!” bisik Kadir dalam hati. Tetapi, peristiwa itu
tak pernah dilupakannya. Mimpi itu selalu tergiang-ngiang di telinganya.
Akhirnya, Kadir menjadi malas keluar rumah. Saat temannya menyambanginya, ia
pun hanya berkata, “Badan saya lagi gak enak, nih. Kali ini saya absen lagi
deh.”
Suatu kali Kadir masuk ke kamar
bapaknya yang sudah lama tidak dilihat, sejak bapaknya meninggal. Keadaannya
kotor sekali tak terurus. Debu dan sawang bertebaran di mana-mana. Ia kemudian
membuka lemari pakaian bapaknya dan tiba-tiba sebuah benda jatuh. Ternyata
benda yang jatuh itu adalah foto bapaknya.
Diambillah foto itu dan dilihatlah
wajah bapaknya. Tanpa sadar Kadir menangis. Kedua kelopak matanya sembab dengan
air. “Pak, maafkan Kadir! Selama ini Kadir telah mengecewakan Bapak. Karena
Kadir, Bapak akhirnya meninggal dunia,” bisik Kadir dalam hati, sambil mengusap
kedua pipinya yang basah karena lelehan air mata.
Sejak itulah, Kadir akhirnya
bertaubat dan meninggalkan kebiasaan buruknya yang suka mabuk dan memalak
orang. Pakaian lama yang pernah dikenakannya seperti kopyah dan sarung, kini
mulai disarungkan kembali ke badannya. Ya, ia sudah mulai shalat dan beribadah
lagi kepada Tuhan. Sebagai bentuk penyesalannya, ia kemudian menjual kebun
palawija warisan bapaknya untuk memenuhi amanat almarhum sebelum dirinya
berangkat ke pesantren, yaitu mendirikan langgar (tajug).
Banyak orang yang tidak mau membantu
Kadir. Mereka tidak percaya dengan maksud baik Kadir. Preman mana yang mau
membuat langgar? Ejek mereka dalam hati. Akhirnya, Kadir mencari orang dari
desa tetangga untuk membangun langgarnya. Setelah langgar itu selesai dibangun,
Kadir sendiri yang menghidupi langgar tersebut. Ia yang adzan dan iqamah.
Bahkan, bila ada jamaah datang, ia sendiri yang menjadi imamnya. Lama-kelamaan
jamaah di langgar milik Kadir semakin banyak yang berdatangan. Langgar milik Kadir
pun menjadi hidup dan ramai. Pasalnya, suara Kadir juga tidak jelek-jelek amat
saat membacakan ayat-ayat suci al-Qur’an. Bacaan tajwidnya juga bagus, sebab ia
pernah jadi santri di Jawa.
Bahkan, setelah sekian lama
berjalan, Kadir mulai dipakai di masjid di kampungnya sendiri. Ia sekali-kali
menjadi imam dan khatib Jum’at di sana. Subhanallah! Sebuah akhir kisah hidup
yang manis untuk seorang preman, mantan penjahat!
Semoga banyak pelajaran yang bisa kita ambil
dari kisah ini! Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar