Sabtu, 08 Desember 2012

SELEBRITI DI LANGIT





Oleh  :  pak Agus Balung


Dalam suatu kesempatan  Rasulullah SAW pernah mengeluarkan suatu ungkapan dari mulut beliau yang sangat mulia, ungkapan tersebut adalah  “majhulun fil ardh masyhurun fissama”—yang maknanya adalah :  tidak populer di bumi, tapi sangat masyhur diantara penghuni langit.

Potongan sabda  tersebut diungkapkan Rasulullah SAW  ketika beliau meminta menantunya, Ali bin Abi Thalib, mengecek keberadaan seorang pemuda yang bernama Uwais al-Qarny karena namanya sangat harum di kalangan ”penghuni langit”.  Apa gerangan keistimewaan Uwais sehingga Rasul menyuruhnya mencari pemuda ini? Mencari pemuda ini bukan perkara gampang. Susah betul karena Uwais al-Qarny bukanlah public figure. Bukan pemuda ngetop yang namanya dikenal di seantero jagat.

Dia bukan orator, ahli orasi, yang setiap ungkapannya selalu memukau pendengar dan mengundang tepukan dan decak kagum. Dia bukan penderma hebat yang namanya tercantum di media massa apapun, baik elektronik maupun cetak  sebagai penyumbang terbanyak. Dia bukan seorang pejabat yang pandai memainkan perasaan dan sandiwara air muka untuk merebut simpati rakyat jelata. Uwais bukanlah seorang bintang yang kehadirannya ditunggu jutaan penggemarnya. Pokoknya Uwais bukan siapa-siapa, dia hanya seorang pemuda biasa. Satu kelebihan Uwais yang membuat seluruh penghuni langit mencintainya dan menyebabkan Rasul memerintahkan Ali untuk mencari dan minta doa darinya adalah kecintaan Uwais kepada ibunya.

Dia konon mengorbankan masa remajanya untuk mencurahkan kasih dan sayang kepada ibunya. Ia mengorbankan begitu banyak kesempatan yang mestinya dia kecap lantaran begitu baktinya kepada bunda yang telah mengandungnya. Dalam kesempatan ini saya  tidak akan menceritakan kisah Uwais sebagai cerita utuh, melainkan ungkapan Rasul yang melatarbelakangi kisah ini yang akan diungkap. Majhulun fil ardh,  masyhurun fissama adalah potongan sabda atau ungkapan Rasulullah yang menggambarkan bahwa ada sebagian orang yang tidak disukai di bumi, tapi disukai Allah dan para malaikat-Nya.

Ungkapan teramat bagus ini juga mengisyaratkan kebalikannya. Bahwa teramat banyak figur manusia yang begitu terkenal di bumi, tapi tidak disukai penghuni langit. Tentu saja frase ”penghuni langit” bukan justifikasi keberadaan Allah sehingga menjadikan-Nya hanya ada di langit, jelas bukan. Ungkapan ini hanya untuk menunjukkan ukuran manusia kebanyakan, bukan memakai standar ketuhanan. Sebagaimana sebagian besar manusia yang memuliakan harta dan kedudukan serta menilai hina kemiskinan dan ketiadaan kekuasaan.

Bagi kita, yang terpenting adalah ungkapan “majhulun fil ardh, masyhurun fissama” itu harusnya menyadarkan kita tentang apa yang telah kita lakukan agar para malaikat senantiasa mendoakan kita. Ungkapan tersebut seharusnya memaksa kita berpikir bahwa tidak penting hanya terkenal menurut derajat kemanusiaan, sementara kita mengabaikan standar ketuhanan. Punya mobil banyak memang akan membuat kita membusungkan dada. Punya uang banyak memang akan membuat kita bisa berbuat banyak. Menyandang nama tenar juga akan membawa kebahagiaan tersendiri.

Dan memiliki kekuasaan dan kewenangan akan bisa membuat kita mudah melakukan sesuatu. Tapi pernahkah berpikir bahwa penghuni langit justru muak apabila semua yang kita miliki hanya untuk diri semata, seakan tiada hak orang lain di dalamnya. Ungkapan Rasul di atas layak untuk diperhatikan. Rasul tidak menyuruh untuk menjadi orang yang terkenal di bumi dan di langit. Karena memang tidak mudah. Setidaknya Rasul mengingatkan bahwa penting juga menjadi kebanggaan langit dengan memberikan kebahagiaan bagi sesama di bumi.

Pelajaran lainnya menjadi penting juga menjaga senyuman penghuni langit dengan tidak membuat penghuni bumi menderita. Adalah harapan kita semua tentang adanya kehadiran masyarakat yang menghargai Allah dan menghormati sesama. Begitu juga harapan lainnya, sebelum negeri impian yang sesungguhnya terengkuh, negeri hati, negeri alam pikiran, mental, dan asal-muasal perilaku sudah lebih dulu bergerak menuju hati impian. Di mana merengkuh kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan di hati menjadi sekian impiannya. Negeri hati, hati impian, bisa didapat dengan membawa hati kita masing-masing menuju perbaikan yang dikehendaki Allah.

Pada saatnya nanti hati bisa menggerakkan seluruh potensi tubuh, akal, dan pikiran untuk mempersembahkan yang terbaik untuk Allah dan sesama, dan tentu saja akan berpulang kebaikannya kepada diri sendiri. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini menjadi pengingat kita bahwa sudah saatnya kita membuat roh kita sendiri tersenyum atas perilaku kita.

Jika saja ruh kita sudah bisa tersenyum, tentu Sang Pemilik Roh akan ikut tersenyum dan menumpahkan segenap rahmat-Nya kepada kita semua. Jika saja roh kita sudah bisa bernafas lega, tentulah ”kemarahan Tuhan”, kemarahan alam, akan segera berakhir. Amin. Akhirnya kepada Allah jualah kita berharap.
Wallahu a’lam

Tidak ada komentar: