Oleh : pak
Agus Balung
Dalam suatu kesempatan Rasulullah SAW pernah mengeluarkan suatu
ungkapan dari mulut beliau yang sangat mulia, ungkapan tersebut adalah “majhulun fil ardh masyhurun fissama”—yang
maknanya adalah : tidak populer di bumi,
tapi sangat masyhur diantara penghuni langit.
Potongan sabda tersebut diungkapkan Rasulullah SAW ketika beliau meminta menantunya, Ali bin Abi
Thalib, mengecek keberadaan seorang pemuda yang bernama Uwais al-Qarny karena
namanya sangat harum di kalangan ”penghuni langit”. Apa gerangan keistimewaan Uwais sehingga Rasul
menyuruhnya mencari pemuda ini? Mencari pemuda ini bukan perkara gampang. Susah
betul karena Uwais al-Qarny bukanlah public figure. Bukan pemuda ngetop yang
namanya dikenal di seantero jagat.
Dia bukan orator, ahli orasi, yang
setiap ungkapannya selalu memukau pendengar dan mengundang tepukan dan decak
kagum. Dia bukan penderma hebat yang namanya tercantum di media massa apapun,
baik elektronik maupun cetak sebagai
penyumbang terbanyak. Dia bukan seorang pejabat yang pandai memainkan perasaan
dan sandiwara air muka untuk merebut simpati rakyat jelata. Uwais bukanlah
seorang bintang yang kehadirannya ditunggu jutaan penggemarnya. Pokoknya Uwais
bukan siapa-siapa, dia hanya seorang pemuda biasa. Satu kelebihan Uwais yang
membuat seluruh penghuni langit mencintainya dan menyebabkan Rasul
memerintahkan Ali untuk mencari dan minta doa darinya adalah kecintaan Uwais
kepada ibunya.
Dia konon mengorbankan masa remajanya
untuk mencurahkan kasih dan sayang kepada ibunya. Ia mengorbankan begitu banyak
kesempatan yang mestinya dia kecap lantaran begitu baktinya kepada bunda yang
telah mengandungnya. Dalam kesempatan ini saya tidak akan menceritakan kisah Uwais sebagai cerita
utuh, melainkan ungkapan Rasul yang melatarbelakangi kisah ini yang akan
diungkap. Majhulun fil ardh, masyhurun fissama adalah potongan
sabda atau ungkapan Rasulullah yang menggambarkan bahwa ada sebagian orang yang
tidak disukai di bumi, tapi disukai Allah dan para malaikat-Nya.
Ungkapan teramat bagus ini juga
mengisyaratkan kebalikannya. Bahwa teramat banyak figur manusia yang begitu
terkenal di bumi, tapi tidak disukai penghuni langit. Tentu saja frase
”penghuni langit” bukan justifikasi keberadaan Allah sehingga menjadikan-Nya
hanya ada di langit, jelas bukan. Ungkapan ini hanya untuk menunjukkan ukuran
manusia kebanyakan, bukan memakai standar ketuhanan. Sebagaimana sebagian besar
manusia yang memuliakan harta dan kedudukan serta menilai hina kemiskinan dan
ketiadaan kekuasaan.
Bagi kita, yang terpenting adalah
ungkapan “majhulun fil ardh, masyhurun
fissama”
itu harusnya menyadarkan kita tentang apa yang telah kita lakukan agar para
malaikat senantiasa mendoakan kita. Ungkapan tersebut seharusnya memaksa kita
berpikir bahwa tidak penting hanya terkenal menurut derajat kemanusiaan,
sementara kita mengabaikan standar ketuhanan. Punya mobil banyak memang akan
membuat kita membusungkan dada. Punya uang banyak memang akan membuat kita bisa
berbuat banyak. Menyandang nama tenar juga akan membawa kebahagiaan tersendiri.
Dan memiliki kekuasaan dan
kewenangan akan bisa membuat kita mudah melakukan sesuatu. Tapi pernahkah
berpikir bahwa penghuni langit justru muak apabila semua yang kita miliki hanya
untuk diri semata, seakan tiada hak orang lain di dalamnya. Ungkapan Rasul di
atas layak untuk diperhatikan. Rasul tidak menyuruh untuk menjadi orang yang
terkenal di bumi dan di langit. Karena memang tidak mudah. Setidaknya Rasul
mengingatkan bahwa penting juga menjadi kebanggaan langit dengan memberikan
kebahagiaan bagi sesama di bumi.
Pelajaran lainnya menjadi penting
juga menjaga senyuman penghuni langit dengan tidak membuat penghuni bumi menderita.
Adalah harapan kita semua tentang adanya kehadiran masyarakat yang menghargai
Allah dan menghormati sesama. Begitu juga harapan lainnya, sebelum negeri
impian yang sesungguhnya terengkuh, negeri hati, negeri alam pikiran, mental,
dan asal-muasal perilaku sudah lebih dulu bergerak menuju hati impian. Di mana
merengkuh kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan di hati menjadi sekian
impiannya. Negeri hati, hati impian, bisa didapat dengan membawa hati kita
masing-masing menuju perbaikan yang dikehendaki Allah.
Pada saatnya nanti hati bisa
menggerakkan seluruh potensi tubuh, akal, dan pikiran untuk mempersembahkan
yang terbaik untuk Allah dan sesama, dan tentu saja akan berpulang kebaikannya
kepada diri sendiri. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini menjadi pengingat kita
bahwa sudah saatnya kita membuat roh kita sendiri tersenyum atas perilaku kita.
Jika saja ruh kita sudah bisa
tersenyum, tentu Sang Pemilik Roh akan ikut tersenyum dan menumpahkan segenap
rahmat-Nya kepada kita semua. Jika saja roh kita sudah bisa bernafas lega,
tentulah ”kemarahan Tuhan”, kemarahan alam, akan segera berakhir. Amin.
Akhirnya kepada Allah jualah kita berharap.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar