AHLI IBADAHPUN BISA
MASUK NERAKA
Oleh
: pak Agus Balung
Berikut ini saya angkat sebuah kisah
yang menarik dan layak untuk disimak bersama sama, dan semoga menjadi pembelajaran bagi kita
semua, amin.
Suatu ketika, Nabi Musa a.s berjalan
menuju Bukit Sina – tempat di mana Nabi Musa menerima perintah-perintah Tuhan.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang ‘abid (ahli ibadah) yang sedang
ber-uzlah (menjauhkan diri dari keramaian). Ketika melihat Nabi Musa, sang ‘abid mendekatinya, dia mendekat
dengan penuh semangat. Lalu berkata :
“Wahai Nabi Allah, pasti engkau akan
menemui Allah. Tolong tanyakan kepada Allah, di surga tingkat berapa nanti aku
ditempatkan di akhirat?” kata sang ‘abid penuh yakin.
“Lho, bagaimana engkau bisa
memastikan dirimu akan masuk surga?” kata Nabi Musa dengan heran.
“Bagaimana tidak, wahai Nabi Allah. Aku
mengasingkan diri dari keramaian sudah selama empat puluh tahun. Aku telah
meninggalkan segala-galanya. Selama itu aku tidak pernah melakukan perbuatan
dosa. Aku hanya berdzikir dan beribadah kepada Tuhan. Aku tidak makan kalau
tidak ada daun-daun yang jatuh ke pangkuanku. Aku tidak minum kalau bukan air
hujan. Tidak pastikah aku masuk surge,
wahai Nabi Allah ?”
Nabi Musa kemudian melanjutkan
perjalanannya. Di Bukit Sina, ia
berjumpa dengan Allah. “Ya Allah, di tengah perjalanan aku bertemu dengan
seorang hamba-Mu. Dia ingin tahu di surga tingkat berapakah gerangan tempatnya
nanti?”
Jawab Allah: “Wahai Musa, sampaikan
kepadanya bahwa tempatnya di neraka.” Nabi Musa terkejut.
Ia pun kembali menemui sang ‘abid.
Melihat Nabi Musa datang, sang ‘abid dengan penuh semangat menemuinya. Ia ingin
cepat mengetahui di surga tingkat berapa tempatnya kelak di akhirat
.
“Di surga ke berapa tempatku nanti?
Katakan secepatnya, wahai Nabi Allah!” kata sang ‘abid seraya
mengguncang-guncang bahu Nabi Musa. “Katakan wahai Nabi Allah, jangan biarkan
aku menderita karena menunggu.” Nabi Musa lama terdiam. Ia kesulitan
mengungkapkan jawaban yang santun agar tidak mengejutkan dia. Sang ‘Abid itupun terus mengguncang bahunya. Kemudian Musa menjawab :“Sabar wahai
sahabatku. Kata Tuhan, tempatmu nanti di neraka.”
“Bagaimana mungkin wahai Musa.
Ibadah empat puluh tahun diganjar dengan neraka? Tidak mungkin. Pasti engkau
salah dengar. Tolong engkau kembali lagi kepada Tuhan, tanyakan di surga ke
berapa tempatku kelak.” Nabi Musa kembali. Di tengah perjalanan ia
bergumam sendirian, “Iya ya, jangan-jangan
aku salah dengar, masak beribadah selama empat puluh tahun tanpa putus, koq
malah diganjar masuk neraka.”
“Wahai Allah, hambamu ingin kejelasan, apa benar tempat si
‘abid tadi kelak di neraka?” tanya Nabi
Musa kepada Allah sekali lagi. Allahpun berfirman : “Katakan, tempatnya
di surga.” “Jadi, Tuhan, tadi aku salah dengar ?” Allah menjawab :“Tidak. Wahai Nabi-Ku, engkau
tidak salah dengar. Aku tadinya memang
akan menempatkannya di neraka. Aku ciptakan manusia bukan untuk egoistis,
apapun alasannya, termasuk alasan spiritual. Aku menciptakan manusia sebagai
khalifah dan untuk saling membantu sesamanya. ‘Abid tadi bukan mendekatkan
dirinya kepada-Ku. Ia melarikan diri dari realitas kehidupan yang nyata.
“Lalu secepat itukah keputusan-Mu
berubah?” tanya Nabi Musa.
“Pada saat engkau berjalan menuju ke
sini, ‘abid itu tersungkur sujud, ia menangis sejadi-jadinya. Ia memohon
kepada-Ku – kalau benar ditempatkan di neraka – agar tubuhnya diperbesar
sebesar neraka Jahanam, supaya tidak ada orang lain yang masuk ke dalamnya
selain hanya dirinya. Pada saat itu, ia tidak lagi egoistis. Ia kembali ke
pangkuan realitas kehidupan. Saat itu ia telah memikirkan kepentingan orang
lain selain dirinya.”
Dalam cerita tersebut, ada pesan
Al-Qur’an yang ingin disampaikan, yaitu ibadah individu dan ibadah sosial yang
dalam bahasa agama disebut habl min Allah wa
habl
min
an-nas
(hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan sesama) merupakan dua sisi ibadah yang tidak dapat
dipisahkan. Kita tidak diperbolehkan hanya mementingkan ibadah sosial atau
kesalehan sosial, dan melupakan ibadah ritual atau kesalehan individu, atau
sebaliknya, hanya mementingkan ibadah ritual atau kesalehan individu, dan
melupakan kesalehan sosial.
Itulah sebabnya mengapa ibadah
seseorang ditolak, ketika saat itu masih ada tetangganya yang kelaparan. Dan
itulah sebabnya ibadah seseorang tertolak, walaupun dilakukan dengan khusyuk,
sementara pada saat yang sama dia mengurung seekor kucing, sampai kucing itu
mati kelaparan.
Subhanallah, semoga yang sedikit dan sederhana ini
bermanfaat bagi kita semua. Bagi anda,
dan juga saya. Insya Allah. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar