Oleh : pak
Agus Balung
Jin
memiliki perasaan cinta ? Ya, memang demikian. Karena mereka adalah
makhluk yang berkembang biak seperti halnya manusia. Kian hari jumlah mereka
kian banyak. Bila rasa cinta tersebut terjadi sesama mereka, tentu hal ini
tidak menjadi masalah. Tapi rasa cinta akan membawa bencana bila ada jin yang
mencintai manusia. Seperti yang dialami Siska
(nama samaran). Ia pun pingsan sesaat setelah mengetahui bahwa suaminya yang begitu bernafsu minta untuk
dilayani saat itu juga, adalah jin. .
Kisah ini saya kutip dari Majalah Ghoib edisi khusus. Begini kisahnya :
Mahligai rumah tangga saya seakan
tidak pernah terpisah dari dunia gaib. Tujuh tahun lalu, beberapa bulan sebelum
melangsungkan pernikahan pun, saya telah merasakan sakitnya cakar macan. Walau
macan itu hanya hadir dalam mimpi, tapi tak urung lima cakaran membekas di
dada. Saya baru sadar, sesaat setelah mandi. Saya pun keheranan bukan kepalang.
Bagaimana mungkin itu terjadi. Waktu itu, saya hanya cerita kepada Bambang
(nama samaran), seorang pemuda
yang kini menjadi suami saya.
Siangnya, Bambang main ke rumah. Di
sinilah, peristiwa yang memalukan itu terjadi. Saya yang sedang kasmaran dengan
Bambang, tanpa tedeng aling-aling, langsung menariknya ke dalam kamar. Bambang
pun terkejut. Tidak biasanya saya berperilaku seperti ini. Apalagi, ia melihat
sorot mata saya berubah. Mata saya merah. Bambang dengan tegas menolak. Saya
tetap merengek, walau saat itu saya hanya minta dicium.
la pun berlari menghindar. Tapi saya
terus mengejarnya. Katanya bajunya sampai robek-robek. Barulah setelah
terdengar adzan dzuhur ulah saya terhenti. “Panaas. Panaaas. Hentikan suara
itu,” teriak saya.
Dari sini, Bambang sadar bahwa itu
bukanlah diri saya. Ada makhluk gaib yang merasuk ke dalam diri saya. Maka ia
pun segera mencari pertolongan kepada tetangga yang kebetulan seorang haji dan
katanya bisa mengusir gangguan jin.
“Saya tidak tahu bagaimana cara
perginya. Semoga Siska tidak diganggu lagi,” ujar wak haji. Keesokan harinya,
saya kerasukan lagi. Kali ini lebih parah. Saya berlari kesana kemari, sambil
terus berteriak “Mana Siska. Mana Siska. Saya ingin membunuhnya. Dia merebut
pacar saya.” Aneh, memang. Saya berlarian kesana kemari mencari diri saya
sendiri. Bahkan saya ingin membunuh diri saya.
Waktu itu, orang pintar kembali
dipanggil untuk menyadarkan saya. “Segera nikah saja, karena ada orang yang
ngganggu. Semoga setelah menikah tidak ada lagi gangguan,” saran orang pintar itu
kepada bapak saya.
Singkat cerita, kami pun
melangsungkan pernikahan. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Orang yang
tidak senang dengan hubungan kami pun tidak membuat ulah di hari kebahagiaan
kami.
Hari-hari berikutnya, semua berjalan
normal. Saya bisa menikmati peran yang baru, sebagai istri dari suami tercinta.
Waktu terus berjalan. Anak kami yang kedua pun lahir, bayi laki-laki yang
montok. Anak yang pertama kebetulan adalah perempuan. Lengkap sudah kebahagiaan
kami.
Jin
Menyerupai Wajah Mas Bambang
Hingga suatu malam, tidak seperti
biasanya Rinto, anak saya yang kedua menangis keras. la nangis sejadi-jadinya.
Ah, Rinto lagi kehausan, pikir saya. Saya pun segera membangunkan pembantu dan
memintanya membuat susu. Tapi entah kenapa, pembantu agak lama di belakang.
Sementara Rinto yang baru berumur satu bulan itu pun belum berhenti menangis.
Saya beranjak ke dapur untuk
menyeduh susu sendiri. Dan begitu kembali ke kamar saya lihat Mas Bambang sudah
berada di kamar. Padahal, seharusnya dia tidur di kamar sebelah bersama Ratih,
anak saya yang pertama.
Saya segera meraih Rinto dan
memberinya susu. Tapi Mas Bambang, malah bikin ulah yang aneh. la merajuk dan
meminta saya melayaninya. Saya sendiri heran, tidak biasanya ia bersikap
seperti itu. “Eh, ngapain sih. Jangan kayak begini dong.”
Mas Bambang tetap tidak mau
menyerah, dia terus membujuk saya. Bahkan berusaha melepas baju saya. “Ntar
dulu dong mas. Ngapain sih Mas Bambang ini.” “Rinto lagi minum susu.
Macam-macam saja,” saya sampai berteriak.
Rinto, tetap saja menangis. Susu
yang saya berikan tetap tidak bisa meredakan tangisnya. Tapi Mas Bambang tidak
peduli. la sangat bernafsu malam itu. “Mas ini, apaan sih,” teriak saya lagi.
Sedetik kemudian, saya langsung
pingsan. Pasalnya, dari pintu yang terbuka perlahan, muncul Mas Bambang yang
lain. Saya bingung mana yang asli. Bajunya sama-sama putih dan memakai sarung
yang serupa. Mereka layaknya saudara kembar saja.
Entah, berapa lama saya pingsan,
saya tidak tahir. Begitu tersadar, tinggal Mas Bambang yang asli, masih setia
menemani saya. Barulah kemudian saya ceritakan apa yang terjadi. Memang,
sebelum kedatangan jin yang menyerupai Mas Bambang, angin berhembus kencang.
Korden jendela yang sedikit terbuka untuk membiarkan udara masuk, sampai tersingkap
ke atas. “lni angin kok kencang begini,” pikir saya. Tapi, keanehan itu belum
menyadarkan saya atas apa yang terjadi. Terlebih tangis Rinto yang berlebihan
telah menyita perhatian saya.
Saya tidak tahu apakah jin masuk
bersamaan dengan hembusan angin yang kencang. Tiba-tiba saja, jin yang
menyerupai Mas Bambang sudah berada di dalam kamar dan saya sedikit pun tidak
menaruh curiga. Saya beruntung, pukul 02.30 malam itu tidak menjadi korban
kebiadaban jin. Malam itu, Mas Bambang pun shalat sambil terus membaca ayat
kursi.
Apakah kedatangan jin itu terkait
dengan rumah yang saya tinggali sekarang? Saya tidak tahu. Saya menempati rumah
ini sejak empat tahun lalu. Tapi ini kejadian pertama yang saya alami di sini.
Tahun-tahun pertama tidak pernah teriadi apa-apa. Dari tetangga, saya pun tahu
bahwa rumah ini dulunya dihuni oleh orang China penganut Konghuchu yang
terbilang taat. Di ruang tamu ini dulunya ada patung Dewi Kwan ln yang sangat
besar. Sorot matanya merah menembus kaca jendela. Menakutkan warga yang lewat
di malam hari.
Hari-hari berikutnya semuanya
kembali normal. Aktifitas rutin sebagai ibu dari kedua anak saya, menyita
banyak perhatian. Apalagi Ratih sudah mulai masuk TK. Biasanya saya
mengajarinya bahasa Inggris. Ratih pun mampu menjadi juara ll lomba bahasa
lnggris se kabupaten Bogor.
Ketenangan yang masih dalam hitungan
bulan itu pun terusik kembali, sepulang Mas Bambang dari umrah. Yang saya
rasakan adalah hawa panas bila berada di rumah. Terkadang saya pun jengkel,
“Kok, Mas Bambang sepulang dari umrah, malah tidak benar sih. Kasar,” keluh
saya suatu hari. Tapi Mas Bambang tidak merasa berubah. la masih tetap seperti
yang dulu.
Hingga suatu malam, kata Mas Bambang
saya tidur sambil duduk. Melihat itu, dia merasa ada kejanggalan dalam diri saya.
“lni pasti ada yang tidak beres,” Mas Bambang mulai curiga. Tangannya segera
menarik dan membangunkan saya. Tapi saya belum sadar seutuhnya. Katanya mata
saya plerok-plerok. Jelas ini bukanlah diri saya. Pasti ada jin yang
merasuk ke dalam diri saya kembali.
Dengan cepat, saya segera
didekapnya, sambil terus dibacakan al-Qur’an sebisanya Saya berontak. Ada
kekuatan lain, yang menguasai saya. Hingga saya tidak lagi dapat
mengontrol diri. Yang terjadi kemudian adalah pergumulan dan adu jotos yang
tidak lagi terelakkan.
Kegaduhan itu berlangsung
beberapa saat, sebelum akhirnya saya terduduk lemas dan ... pingsan. Mungkin,
saat itu jin yang merasuk ke dalam diri saya keluar setelah tidak tahan dengan
bacaan ayat-ayat al-Qur’an.
Beberapa saat saya tidak sadarkan
diri. Setelah sadar pun saya masih setengah sadar setengah tidak. Yang saya
rasakan waktu itu hanyalah seperti orang yang tidur sebentar, kemudian
terbangun lalu tertidur lagi.
Jam 6 pagi, keesokan harinya, saya
seperti orang bengong. Diam membisu Melihat hal itu, Mas Bambang langsung
bertanya, “Eh, kamu siapa. Jangan ganggu orang,” (sebagaimana dituturkan suaminya). Saya lari. Tapi Mas Bambang, tidak membiarkan saya keluar
dari rumah. Ia segera mengejar dan menangkap saya kembali. Untung saat itu, pagar
depan rumah masih terkunci, sehingga dengan mudahnya saya ditangkap. Kembali
bacaan ayat-ayat al-Qur’an melemahkan jin yang merasuk ke dalam diri saya.
Waktu itu sayatidak merasakan apa-apa. Goresan kawat besi pagar rumah pun tidak
terasa.
Baru setelah sadar saya merasakan
nyeri dan letih. Pukul 8 pagi, orangtua saya datang dari Jakarta. Saya
ceritakan semua peristiwa yang terjadi sejak semalam. Bapak hanya
manggut-manggut saja, sebelum akhirnya menawarkan untuk mengajak saya terapi
ruqyah di kantor Majalah Ghoib. “Kalau begitu datang saja ke kantor Maialah
Ghoib. di sana ada ruqyah terapi gangguan jin dengan cara yang benar karena
tidak bertentangan dengan syariat lslam. Bawa ke sana saja.”
Hari itu diputuskan untuk segera ke
Jakarta. Waktu itu hari Ahad, lalu Mas Bambang telpon ke kantor Majalah Ghoib,
karena khawatir hari Ahad libur. “Mas saya mau kesana, ditunggu sampai jam
berapa?” “Oh, saya tunggu sampai jam dua” kata suara di balik telpon. Akhirnya
saya diajak Mas Bambang. Tapi ketika sampai di sana ternyata hanya disuruh
daftar saja. Dapatnya entah berapa minggu lagi.
Waktu itu, Mas Bambang melobi,
“Kalau ini sakit biasa mungkin tidak apa-apa Tapi ini gangguan jin. Saya tidak
bisa mengusir. Tolonglah bantu saya.” Akhirnya Mas Bambang diberi nomor
handphone Ustadz Aris.
Mas Bambang, mencoba
menghubungi Ustadz Aris, tapi tidak ada jawaban. Baru setelah dihubungi
beberapa kali, handphone diangkat dan saya disuruh datang ke masiid At-Taibin
yang hanya berjarak 200 meter dari terminal Senen. Terus terang, kami srek
dengan Majalah Ghoib, karena mereka menterapinya dengan cara islami. Kami
merasa nyaman.
Setiba di masjid At-Taibin, saya
langsung dibawa naik ke lantai dua. Setelah beberapa saat dibacakan ayat-ayat
al-Qur’an, terjadilah dialog. “Siapa namamu?” Tanya Ustadz Aris. Jin
menjawab“Jamal.”
“Mengapa kamu masuk ke tubuh ibu
ini?”
“Saya suka sama Siska.”
”Berapa umurmu?”
“Dua genep (26 ) tahun.”
“Kamu masih perjaka?”
“Ya. Saya masih perjaka.”
“Kenapa senang?”
”Dia ditinggal terus sama suaminya.
Padahal dia itu orangnya baik, shalihah. Jadi sya kasihan sama dia.”
"Suaminya kerja untuk nyari
duit,” jin Jamal itu pun tertawa saja. Setelah dialog yang mengalami kebuntuan,
Ustadz Aris kembali membaca ayat-ayat al-Qur’an.Ketika disuruh keluar, jin
Jamal tidak mau. Jin itu bahkan minta diantar ke Bogor. “Ya sudah kamu ikut
saja di mobil. Nanti kan sampai di Bogor”. Setelah disuruh demikian, akhirnya
jin Jamal keluar. (sebagaimana dituturkan suaminya)
Setelah ruqyah itu, saya tidak
langsung pulang ke Bogor, tapi diantar Mas Bambang ke rumah orangtua di Jakarta
Selatan. Sementara Mas Bambang sendiri ada keperluan kantor dan harus menginap
di hotel selama tiga hari di daerah Sunter, Jakarta Utara. Otomatis, Mas
Bambang membawa mobil ke hotel di daerah Mangga Dua. Berputar-putar lewat
Ancol.
Selesai acara, Mas Bambang langsung
menjemput saya. “Dik, tolong ambilkan baju yang ketinggalan di bagasi,” pinta
Mas Bambang. Tapi begitu pintu bagasi saya buka, saya merasakan ada jin yang
merasuk lagi.
Tanpa pikir panjang, Mas Bambang
segera menjemput Ustadz Aris dan diajak ke rumah. “Kamu siapa?” “SayaJamal.”
“Lho kenapa kamu masuk?” “Ya, katanya saya mau dipulangkan ke Bogor, tapi tidak
dipulangkan. Diputar-putar saja di daerah laut-laut. Terus saya lihat ibu Siska,
ya saya masuk lagi,” elak jin Jamal. Ternyata selama tiga hari itu, iin Jamal
masih menumpang di mobil. “Ya sudah sekarang kamu pergi saja Tidak usah
menumpang di mobil.” Jin Jamal pun keluar.
Kebetulan di depan rumah ada pohon
mangga di area pemakaman. Tidak lama kemudian jin Jamal masuk ke tubuh saya
lagi. “Lho kamu kok balik lagi.” “Ya saya balik lagi. Karena di pohon mangga
itu banyak syetannya. Saya dipukul. Saya ditendang.” Setelah dibacakan ruqyah
beberapa kali, akhirnya jin Jamal keluar dan tidak masuk lagi.
Sebelum keluar, jin Jamal mengaku
bahwa dia masuk ke tubuh saya ketika saya bermain ke rumah saudara di daerah
Batu Lampar. Katanya, dia masuk begitu saja, karena melihat saya orangnya baik.
Saya tidak tahu, apa alasan jin
Jamal mengatakan saya orangnya baik dan harus dikasihani. Tapi bila dikatakan
sering ditinggal suami, memang benar adanya. Mas Bambang, sering pulang malam.
Kadang-kadang ke luar kota tiga hari atau bahkan seminggu. Sesekali juga ke
China, Hongkong atau Singapura.
Saya sering telpon Mas Bambang di
kantor bila jam sembilan belum pulang, “Mas, kok belum pulang?” "Oh, ya
Dik. Saya nanti pulangnya malam.” Saya tidak tidur sebelum Mas Bambang pulang.
Perasaan saya tidak tenang bila suami belum di rumah. Biasanya, saya mondar-mandir
di rumah, sampai Mas Bambang pulang.
Pernah, saya menangis seharian.
Waktu itu hari ketiga Mas Bambang umrah. Biasanya ia selalu telpon setiap hari,
bila bepergian kemana saja. Tapi pada hari ketiga itu, Mas Bambang, tidak
telpon seharian. Saya sampai sesenggukan. “Ya Allah, yang namanya ibadah kok
diberatin kayak gitu sih. Didoain kan lebih baik. Doa semoga di sana lancar,”
kata ibu menenangkan hati saya.
Saya menangis sedemikian rupa,
karena saya benar-benar kangen. Biasanya tidak pernah kangen sampai begitu.
Padahal suami pergi ke China atau Hongkongtidak pernah kangen seperti ini.
Sakit
migrain sembuh setelah ruqyah
Sudah bertahun-tahun saya sakit
asma. Yang selalu saya kambuh bila saya mengalami mimpi buruk, misalnya
berenang di sungai yang tidak bertepi. Bila sudah demikian, maka nafas
saya sesaknya bukan main. Mata saya melotot. Kepala sepertinya mau pecah.
“Aduh mas, sakit-nya.” Kadang saya sampai kehilangan akal, sehingga kepala
saya, saya benturkan ke dinding sampai berdarah-darah. Tapi rasa sakit itu
masih saja belum hilang. "Ya Allah, istighfar. Ke rumamah sakit yuk. Ke
rumah sakit,” hanya kata-kata suami semacam ini lah yang sedikit mengobati rasa
sakit.
Mulanya saya tidak tahu bila sakit
kepala yang datang seminggu dua kali itu berasal dari gangguan jin, sampai saya
bilang, “Aduh. Buntungin saja nih.” Taruh dulu atau diapain dulu kepala ini.”
Saya mulai kehilangan akal, karena rasa sakit itu tidak bisa dihentikan. Mau
dibawa tidur, kepala makin pusing. Bila mata dipejamkan, berkunang-kunang .Tapi
setelah diterapi ruqyah alhamdulillah, saya sampai sekarang tidak migrain lagi.
Kalau pun toh, asma saya kambuh, tapi semuanya masih dalam batas yang wajar.
Mata tidak sampai melotot.
Jin
kepala buntung menyatroni rumah saya
Akhir Agustus 2004, ketenangan saya
kembali terusik. Rumah saya disatroni jin. Kali ini, ia menakut-nakuti saya
dengan menampakkan kepala buntung. Apakah ini terkait dengan ocehan saya waktu
sakit kepala dulu? Saya tidak tahu.
Waktu itu, sekitar jam sepuluh
malam, seperti biasanya saya, Mas Bambang dan kedua anak saya bercanda di
kamar. Tiba-tiba,’dhooorrrr’ lerdengar suara keras membentur atap rumah. “Aduh.
Suara apa itu. Kencang banget.” “Mas suara apa itu mas?” Tanya saya.
Rinto langsung menangis dan
digendong oleh pembantu. Sementara itu, selang lima menit kemudian perasaan
saya seperti antara sadar dan tidak. Saya bingung, pikiran saya seakan-akan
hilang. Seperti orang yang tidur sebentar lalu bangun lagi. Kemudian tidur
lagi.
Saya terdiam antara sadar dan tidak.
Tak lama kemudian Mas Bambang membuka pintu kamar. Dari balik pintu, “Oh, mas,
mas itu apaan mas. Kok nggantung begitu,” teriak saya. Seonggok kepala
tergantung di atap-atap rumah. Persis di depan pintu. Rambutnya hitam. Kepala
buntung itu berputar perlahan, menyeringai. Dan ... Ohh… wajah itu seperti
mayat hidup. Matanya berlobang. Darahnya menetes.
Tes. Tes. Tetesan darah seakan
menetes ke lantai, tapi ... tidak ada bekas darah setitik pun di lantai. Saya
semakin bingung, astaghftrullahal
adzim saya bacakan ayat Kursi. Anak-anak,
saya tutup matanya jangan sampai melihat. Ratih berontak-berontak dan menangis
keras. Saya keluar. Sementara Mas Bambang, nampak kebingungan. Dia tidak
melihat kepala buntung atau tetesan darah.
Tetangga yang mendengar keributan di
rumah segera berdatangan. Dan tak lama kemudian, saya kembali linglung. Saya
tidak ingat apa-apa, “Saya dimana. Saya dimana.” Mas Bambang langsung menangkap
saya. “Ayo kamu siapa.” “Aku mau pulang. Aku pulang saja,” kata jin melalui
mulut saya. Akhirnya mas Bambang rnembaca al-Qur’an sebisanya. Saya berontak.
Lima orang satpam pun katanya segera memegang saya. “Saya pulang saja. Saya
pulang saja.”
Mas Bambang terus membaca ayat-ayat
al-Qur’an. Akhirnya badan saya lemas dan tertidur. Bersamaan dengan itu,
tetangga rumah yang katanya adalah ‘orang pintar’ juga datang. la sempat
mengatakan bahwa jinnya sudah hilang. Ketika dia melihat ke atas loteng tidak
menemukan sumber suara kegaduhan tadi.
Saya tidak tahu apakah kejadian yang
menimpa saya karena ada orang yang tidak senang dengan kebahagiaan keluarga
saya? Saya tidak berani mereka-reka. Karena selama ini saya merasa tidak punya
musuh. Tidak ada lawan.
Masih banyak hal yang harus saya
benahi dalam kehidupan saya. Mungkin banyak ‘lubang’ yang harus saya tutup
sehingga jin tidak lagi keluar masuk ke dalam raga saya seenaknya saja. Semoga
kasus demi kasus ini semakin mendewasakan kami dalam bersikap dan menatap
kehidupan ini. Tidak ada kata menyerah. Semoga kisah ini menjadi pelajaran
berharga bagi siapapun bahwa suami adalah belahan jiwa sang istri. Mereka harus
selalu seiring dan sejalan. Bersatu dalam menghadapi cobaan dan tantangan
kehidupan yang makin tidak bersahabat.
(Sumber : Majalah Ghoib Edisi Khusus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar