KAKEK BUYUT KITA JUGA DIGDAYA
(SEPUTAR ILMU HIKMAH
: Part 2)
Oleh : pak
Agus Balung
Rasulullah SAW adalah hamba Allah yang sangat mulia, yang
karena kemuliannya itulah, Allah dan para malaikat bershalawat kepadanya. Namun
demikian Rasulullah yang sangat mulia ini tidak sakti mandraguna sebagaimana layaknya “Super Hero” masa kini. Nabi dan para sahabat dalam perang Badar
dan perang Uhud, kulitnya robek oleh panah, tombak dan pedang kaum musyrikin.
Bahkan berpuluh sahabat gugur, mati syahid dalam menegakkan agama Allah,
sementara dalam riwayat disebutkan, Rasulullah juga tanggal giginya dalam
peperangan.
Sementara kita tidak bisa menutup
mata akan adanya cerita tentang nenek moyang kita yang katanya sakti
mandraguna, kebal senjata tajam atau tidak mempan timah panas, atau seabrek
kedidgdayaan-kedigdayaan yang lainnya. Sampai sekarang juga, fenomena itu
terkadang masih kita saksikan keberadaannya di tengah masyarakat. Ada atraksi
kekebalan, pamer kesaktian dan unjuk kekuatan. Media massa pun ramai mengekspos
kehebatan mereka, dengan julukan si manusia digdaya, orang hebat, jawara pilih
tanding, pendekar sakti mandraguna, makhluk terkuat, atau sosok yang luar biasa,
Meskipun kita tidak tahu secara persis, bagaimana orang-orang itu
memperoleh ‘kesaktiannya’. Ritual apa saja yang telah mereka jalani.
Lelaku apa saja yang telah mereka lakoni. Apakah yang ada di hadapan kita itu
hanya “trik” atau memang “mistik”.
Apakah atraksi kehebatan yang ada
itu sihir atau permainan alat-alat mutakhir, kita tidak tahu.
Yang kita tahu hanya, Mereka
sekarang sudah menjadi orang hebat, lalu kita ingin meniru kehebatannya. Ingin
belajar dan berguru kepadanya’. Akhirnya, ilmu agama kita abaikan dan kita
remehkan. Sementara ilmu kesaktian, kita cari-cari dan kita pelajari.
Astaghfirullah.
Pertanyaan yang mendasar sekarang
adalah, kalau di zaman Rasulullah dan para shahabatnya, ilmu kesaktian dan
kedigdayaan seperti itu tidak diajarkan, lalu sekarang kita mengenal adanya
ilmu semacam itu, “Dari mana datangnya ilmu
tersebut, siapa yang meramunya dan siapa yang mengajarkannya pertama kali ?
Mengapa ilmu itu dimasukkan ke dalam
ilmu Hikmah sehingga merancukan pengertian ilmu Hikmah yang terkandung dalam
al-Qur’an?
Apakah ini merupakan upaya
musuh-musuh Islam untuk memalingkan para generasi Islam dari syaria’t dan
sunnah Rasulullah Atau ilmu seperti itu merupakan penestrasi ajaran agama lain
ke Islam, atau akulturasi budaya nenek moyang yang diklaim sebagai bagian
ajaran Islam oleh orang-orang Islam sendiri ?
Sungguh merupakan pertanyaan yang
jawabannya memerlukan kajian yang panjang dan melelahkan.
Ilmu Hikmah yang identik dengan
kedigdayaan ternyata lebih berkembang dan dominan
Sampai saat ini, ilmu Hikmah yang berkembang di masyarakat adalah ilmu hikmah yang identik dengan ilmu kesaktian dan olah kanuragan. Sehingga terformat dalam benak masyarakat yang tidak suka dengan ilmu sejenis itu rasa dan sikap kebencian terhadap ilmu Hikmah itu sendiri. Dan itu merupakan keberhasilan mereka dalam merusak citra ilmu Hikmah yang sebenarnya.
Padahal ilmu hikmah itu hakikatnya
bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. Orang bisa dikatakan sebagai ahli
hikmah (al-Hakim), karena ucapan dan perbuatannya sesuai dengan dua
sumber yang suci tersebut.
Apabila menyimpang dari keduanya,
bukan ahli Hikmah namanya.
Di sisi lain, karena pengertian dari
ilmu Hikmah sudah diputar balikkan, akhirnya generasi Islam banyak yang
menganggap bahwa ilmu Hikmah yang berkembang di masyarakat dewasa ini adalah
bagian dari ilmu Islam. Tidak berbahaya atau berdosa untuk dipelajari, bahkan
malah harus atau wajib
Media massa punya peran penting
dalam memblow-up praktik praktik ilmu kesaktian tersebut.
Banyaknya iklan yang ada, memudahkan
bagi siapa saja untuk belajar ilmu olah kanuragan itu. Apalagi ada propaganda
bahwa mempelajari ilmu itu cukup mudah dan murah. Ada yang mengajarkannya
dengan mahar (bayar), dan ada juga yang memberikannya secara gratis. Dalam
semalam, mereka menjanjikan sesuatu yang luar biasa. Bisa kebal dan sakti, uji
coba di tempat. Tidak terbukti, uang kembali. Sakti dalam sesaat. Siapa makhluk
yang membantu mereka?
Karena instan, mudah dan cepat itulah, banyak generasi muda
tergiur untuk belajar, entah itu laki
atau perempuan, mereka sangat antusias berburu ilmum Hikmah yang “Wah” itu. Mereka lebih suka puasa mutih berhari-hari,
dari pada puasa Senin-Kamis sebagaimana yang diajarkan Rasulullah. Mereka lebih
suka bangun malam, shalat dua rakaat lalu merapal mantra (wirid) sampai pagi,
dari pada shalat tahajjud dan witir atau baca al-Qur’an. Mereka suka mendatangi
perguruan kesaktian, daripada datang ke majlis ta’lim yang mengajarkan
al-Qur’an dan tafsirnya. Mereka lebih suka mengamalkan Rajah, Isim, Wifiq dan
Hizib dari pada do’a-do’a yang berasal dari Rasulullah. Mereka lebih percaya
diri dengan membawa jimat ke mana-mana dari pada membaca do’a-do’a yang telah
dicontohkan Rasulullah.
Ironis memang, tapi itulah yang
sekarang pesat berkembang dan dominan.
Padahal dalam haditsnya, Rasulullah
menyatakan, “Tidak ada amalan (perbuatan)
yang bisa mendekatkan pelakunya ke surga, kecuali aku telah memerintahkannya.
Dan tidak ada amalan (perbuatan) yang bisa mendekatkan pelakunya ke neraka,
kecuali aku telah melarangnya. Janganlah kalian bermalas-malasan untuk mencari
rizki. Karena malaikat Jibril telah memberitahukan kepada diriku, bahwa tidak
seorangpun dari kalian mati, kecuali rizki yang ditakdirkan telah diterimanya.
Maka takutlah kalian kepada Allah wahai manusia, dan carilah rizki dengan cara
yang baik. Apabila kalian merasa rizkinya seret, janganlah mencarinya dengan
cara maksiat. Karena karunia Allah tidak bisa diperoleh dengan cara masiat
(salah).” (HR. Hakim, no. 2136).
Dalam riwayat lain, Abu Hurairah
berkata bahwasannya ia telah mendengar Rasulullah bersabda, “Apa yang aku larang, tinggalkanlah. Dan
apa yang aku perintahkan, laksanakanlah sesuai dengan kemampuan kalian. Karena
yang menyebabkan binasanya umat sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan
mereka dan menyimpangnya mereka dari sunnah nabi mereka.” (HR. Muslim, no.
4348).
Dengan
demikian, masihkah kita memilih sakti dan hebat di dunia dengan menyalahi
sunnah Rasulullah, atau kita lebih memilih sunnah Rasulullah yang memberikan
jaminan kepada kita akan kebahagiaan dan keamanan dunia dan akhirat. Meskipun
di dunia kita tidak sakti dan hebat, sebagaimana yang dialami para shahabat
Rasulullah Kita harus menentukan pilihan itu dari sekarang, sebelum terlambat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar