HISTORITICAL ILMU HIKMAH
(SEPUTAR ILMU HIKMAH, Part : 5)
Oleh : pak
Agus Balung
Banyak masyarakat kita punya anggapan
bahwa Rajah,
Wifiq, Isim dan Hizib adalah
bagian dari ilmu hikmah. Padahal pengertian dari ilmu hikmah yang sebenarnya
bukanlah seperti itu. Rajah, Wifiq, Isim dan Hizib lebih tepat disebut sebagai
ilmu kesaktian atau ilmu perdukunan. Dan sangat jauh berbeda dengan pemahaman
ilmu hikmah yang sebenarnya.
Selama ini masyarakat kita menjadikan
Rajah, Wifiq, Isim dan Hizib untuk memohon datangnya pertolongan yang diyakini
mampu membantu mereka untuk memenuhi keperluan atau mewujudkan keinginan, dan
ada juga yang menjadikannya sebagai media perlindungan diri dari segala
marabahaya yang ada. Untuk pengasihan (guna-guna atau pelet), untuk kekebalan
agar tidak mempan senjata tajam dan peluru, untuk penjagaan diri dari kejahatan
jin dan syetan, untuk pengobatan beberapa macam penyakit, untuk memperlancar
datangnya rizki, untuk meraih jabatan atau pangkat, dan kebutuhan duniawi
lainnya.
Dari mana asal mula datangnya ilmu
seperti itu? Tidak ada keterangan pasti atau referensi yang dapat dipercaya
yang mampu menjelaskan asal muasal datangnya ilmu yang mereka sebut dengan ilmu
hikmah. Banyak ayat dan hadits yang menjelaskan tentang ilmu hikmah, tetapi
yang dimaksud oleh al-Qur’an dan hadits tersebut bukanlah ilmu hikmah yang
banyak diiklankan di media massa. Bukan ilmu hikmah yang berupa Wifiq,
Rajah, Isim atau Hizib.
Menurut KH. Dr. Said Agil Siradj (dosen pasca sarjana UIN Jakarta),
dalam majalah Al Kisah edisi no.4/th.2006, beliau menyebutkan :
“Ilmu hikmah bukanlah ilmu tasawuf, dan juga bukan semacam karamah. Tetapi
kalau ilmu hikmah diamalkan sesuai aturan, akan membawa hasil yang diharapkan,
tidak peduli apakah yang mengamalkan itu orang baik, setengah baik, atau tidak
baik (orang jahat).”
Selanjutnya masih dalam majalah yang
sama, beliau mengutip pendapat Imam
Abdullah Sahal at-Tasturi yang mengatakan bahwa ilmu hikmah adalah ilmu
kuno (awail), yang diturunkan oleh Allah khusus kepada orang yang bernama Hurmus
yang keberadaannya sampai sekarang masih diperdebatkan.
Ada yang mengatakan bahwa ia adalah
Nabi Idris, ada yang mengatakan bahwa ia adalah seorang tokoh di zaman
Babylonia, dan ada yang mengatakan bahwa ia adalah tokoh Mesir kuno sebelum
Fir’aun. Hurmus
inilah yang menerjemahkan nilai-nilai ghaib menjadi kenyataan.
Dari Hurmus
itulah terbentuk kata Hermeunetik, yaitu upaya menafsirkan
sesuatu yang ghaib menjadi nyata.
Beliau juga mengatakan bahwa
mengenai hubungan antara ilmu hikmah
dengan jin, hal itu dilakukan
sebelum Islam datang. Setelah itu memakai khadam jin Islam. Menurutnya, tidak
salah menggunakan khadam jin Islam untuk tujuan-tujuan yang baik.
Sampai sekarang masih ada kiai yang
punya `penjaga rohani’ di belakang layar. Misalnya Kiai Hamid di Pejaten, Pasar
Minggu, Jakarta Selatan. Dia juga mengatakan bahwa kakeknya (Kiai Said) juga
punya khadam yang mampu melindunginya dari kejaran tentara Belanda yang saat
itu mengejar-ngejarnya.
Masih di majalah yang sama, KH. Syafi’I Hadzami mengakui bahwa
hadits-hadits yang berkaitan dengan ilmu hikmah (yang mereka maksud) jarang
yang bersanad kuat, bahkan banyak yang tidak bersanad. Karena hadits-hadits itu
didapat oleh para ulama melalui mimpi. Mereka mengaku bertemu Rasulullah yang
menganjurkannya membaca bacaan-bacaan tertentu.
Dengan begitu, ilmu hikmah seperti
yang dipahami banyak masyarakat selama ini sumber dan asal muasalnya tidak jelas. Tidak
ada hadits shahih yang mengabarkan bahwa Rasulullah pernah mengamalkan ilmu
seperti itu, begitu juga para shahabatnya.
Dan Rasulullah telah mengajarkan
kepada kita cara berlindung dari kejahatan semua makhluk, jin dan manusia. Cara
tersebut telah dikumpulkan oleh para ulama dalam kitab-kitab hadits. Cara
Rasulullah inilah yang harus kita praktikkan dan kita lestarikan. Dan cara yang
tidak jelas sumbernya seharusnya kita tinggalkan. Apalagi kalau kita tidak
paham akan bacaannya, jangan-jangan malah ada kesyirikan di dalamnya. Akibatnya
bisa fatal kan?
Ilmu Hikmah yang Berbeda
Ilmu
Hikmah yang semacam itulah yang menyimpang dari apa yang telah dicontohkan Nabi
kita Muhammad, Rasulullah SAW. Bentuk penyimpangan bisa terjadi pada materi
bacaan dan juga dalam cara penguasaannya.
Termasuk
penyimpangan bacaan di antaranya, membaca bacaan yang tidak jelas maknanya dan
juga sumbernya.
Misalnya,
amalan ilmu hikmah melindungi diri dari gangguan syetan di perjalanan. Bacaan
yang diperintahkan adalah “Tuhuronin”
(5x), disambung ayat 21-24 dari
surat al-Hasyr, lalu ditutup
dengan huruf Ha’ (3x) dan Hamzah (7x). meskipun ayat yang
disebutkan itu jelas bersumber dari al-Quran, tetapi kalimat pembuka dan
penutupnya tidak dimengerti maknanya.
Bentuk
penyimpangan dalam cara pelaksanaan atau penguasaannya, masih dengan amalan
tersebut, si pemberi amalan ilmu hikmah ini menyuruh para pengamalnya untuk
menulis bacaan tersebut di kain putih atau kertas putih, lalu di bawah pergi ke
mana-mana selama dalam perjalanan.
Laiknya orang dalam perjalanan, baik
via darat, laut, atau udara. Terkadang dalam perjalanan, kita ingin buang air
kecil atau air besar. Kalau tulisan ayat itu harus dibawa pergi kemana-mana,
berarti kita harus membawa ayat ke toilet atau WC. Padahal perbuatan itu menyalahi
syari’at. Di samping itu, tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an ataupun al-Hadits
yang menjelaskan bahwa syetan takut pada orang yang membawa tulisan seperti
itu. Inilah contoh kecil dari bentuk penyimpangan dari amalan yang banyak
beredar di masyarakat yang mereka sebut dengan ilmu hikmah.
Kalau amalan tersebut kita
bandingkan dengan ajaran Rasulullah, sangat jauh berbeda. Dengan tujuan dan
maksud yang sama, agar kita dilindungi oleh Allah dari aangguan syetan saat
keluar rumah atau saat bepergian.
Rasulullah tidak menyuruh kita untuk
menulis di kertas atau kain lalu dikantongi, tetapi Rasulullah menyuruh kita
untuk membaca. Bacaan yang diajarkan Rasulullah jelas merupakan do’a berlindung
kepada Allah, tidak ada kata yang tidak bisa dipahami, hal itu berbeda dengan
amalan di atas yang katanya termasuk ilmu hikmah.
Inilah ajaran Rasulullah kepada
umatnya apabila ingin selamat dari gangguan syetan dalam perjalanan. Anas bin Malik berkata: Rasulullah
bersabda, “Barangsiapa keluar dari
rumahnya membaca: `Bismillah (dengan nama Allah), aku bertawakkal kepada Allah,
tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah”. Maka dikatakan kepadanya: `Dengan
do’a itu, Kamu telah tercukupi dan terlindungi’. Dan syetan pun akan menjauh
darinya’.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan al-Albani).
Sungguh jauh berbeda, antara ilmu
hikmah yang mereka ajarkan dengan yang diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun yang
pertama menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, tetapi dicampur dengan kalimat yang
tidak bisa dimengerti. Cara pelaksanaannya pun berlainan dengan yang diajarkan
oleh Rasulullah. Amalan mana yang Anda pilih?
Kegunaannya sama. Tetapi yang satu
sumbernya tidak jelas, sedangkan satunya bersumber dari wahyu yang dijamin
kebenarannya.
Pastilah kita akan memilih yang
jelas dan kebenarannya terjamin, karena do’a adalah inti dari ibadah. Bagaimana
mungkin kita beribadah dengan benar kalau menyalahi ajaran Rasulullah ?
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar