RASULULLAH MENANGIS KETIKA MENERIMA WAHYU TENTANG LANGIT
& BUMI
Oleh : pak
Agus Balung
Ratusan kali Allah memotivasi umat
Islam untuk memahami alam semesta. Ada perintah untuk mempelajari langit,
memahami bumi, meneliti tumbuh-tumbuhan, mengobservasi hewan, mencermati
atmosfer, sungai, gunung-gunung, lautan, bebatuan, dan sebagainya. Termasuk
mempelajari tentang betapa mengagumkannya diri kita sendiri sebagai makhluk
kompleks yang diciptakan-Nya dalam derajat tertinggi dibandingkan makhluk
lainnya.
Umat Islam didorong untuk menjadi ulul
albab.
Yakni, seorang pembelajar sejati yang
selalu melakukan eksplorasi terhadap kebesaran Allah di alam semesta lewat
segala ciptaan-Nya. Namun tidak berhenti disitu, Allah mendorong dan menghargai
lebih tinggi orang-orang yang disebut sebagai ulama. Yakni, para ilmuwan yang
menguasai ilmu-ilmu Allah dalam kualifikasi yang lebih mendalam.
Ulama dalam istilah Al Qur’an, bukan hanya orang-orang yang
pandai bahasa Arab dan hafal Al Qur’an – sebagaimana kesan di kebanyakan
kalangan di Indonesia – melainkan orang-orang yang memahami dan mendalami
ayat-ayat Allah, secara qauliyah
maupun kauniyah. Secara
tekstual sebagaimana termaktub di dalam kitab suci maupun yang kontekstual
terhampar di alam semesta. Bahkan, jika dicermati lebih jauh, bobotnya
lebih kepada mereka yang menguasai dan mendalami ayat-ayat kauniyah yang
dihamparkan Allah di alam semesta. Teori dan motivasinya mengambil dari
ayat-ayat qauliyah, sedangkan
prakteknya langsung menceburi ayat-ayat kauniyah.
Perhatikanlah ayat berikut ini, bagaimana
Allah memberikan definisi secara tersirat tentang kualitas seorang ulama. Yang
di akhir ayat, disebut sebagai orang yang takut kepada Allah. Hanya para ulama
yang benar-benar takut kepada-Nya.
QS. Faathiir : 27-28, : ‘’Tidakkah
kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan
dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara
gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya
dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ULAMA. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun.’’
Ya, kalimat innamaa yakhsyallaaha min ‘ibaadihil ‘ulamaa itu menunjuk
kepada dua penegasan, yang menyatakan kesungguhan sekaligus kekhususan. Bahwa statement Allah benar-benar
terjadi pada para ulama. Dan yang kedua, yang benar-benar punya rasa takut itu HANYALAH para ulama. Yang selainnya
tidak terlalu takut. Atau, malah tidak punya rasa takut kepada Allah.
Kenapa para ulama takut kepada
Allah? Karena mereka memiliki ilmu yang tinggi dan mendalam, sehingga
mengetahui dengan detil betapa dahsyat sebenarnya ciptaan Allah yang
dihamparkan di alam semesta ini. Apalagi Sang Penciptanya, subhanallaah.
Tentu, ini berbeda dengan
orang-orang yang tidak punya ilmu. Mereka tidak memiliki rasa takut,
dikarenakan tidak tahu apa-apa. Mirip anak kecil yang tidak tahu betapa
panasnya api, betapa berbahayanya jalan raya, dan betapa menakutkannya
gelombang samudera.
Para ulama adalah mereka yang telah
memahami betapa hebat dan mengagumkannya ciptaan Allah yang bernama Alam
semesta, sekaligus mengetahui kedahsyatan potensi yang tersimpan di dalamnya.
Yang sebagiannya disiratkan dalam firman di atas.
Perhatikanlah, sebelum memberikan
apresiasi kepada para ulama, Allah membangunkan kesadaran kita terlebih dahulu
tentang berbagai fenomena alam, seperti mekanisme hujan yang menghidupkan bumi
dengan beragam tetumbuhan dan buah-buahan.
Tentang gunung-gunung yang menghiasi
keindahan alam sekaligus menjadi sumber dari segala macam mineral. Tentang
berbagai macam binatang, beserta beragamnya suku dan bangsa manusia, dan
seterusnya. Lantas, barulah Allah menegaskan bahwa hanya para ulama – yang
sudah paham semua itu dengan mendalam – yang bakal memiliki rasa takut kepada
Allah, Sang Pencipta dan Sang Penguasa alam semesta.
Sebuah ketakutan yang bercampur
dengan kekaguman tiada tara. Antara kengerian dan ketakjuban. Antara ancaman
dan keterpesonaan.
Antara ketakberdayaan dan kerinduan
dari seorang hamba kepada Tuhannya, Zat Yang Maha Sempurna.
Sebuah suasana jiwa yang khas pada
diri seorang ulama, yang memendam kekaguman tiada bandingnya terhadap Allah
yang Maha Segala-galanya.
Itulah sebabnya, Rasulullah menangis
semalaman saat menerima wahyu QS. Ali Imran: 190-191. Dimana isinya adalah
tentang ayat-ayat kauniyah yang dihamparkan Allah di alam semesta. Yang demikian
ini, bukan hanya bisa terjadi pada Rasulullah. Melainkan juga bisa terjadi pada
siapa saja yang terus berproses sebagai seorang ulul albab dalam mempelajari
ayat-ayat-Nya. Khususnya bagi para ulul albab yang telah berproses menjadi
seorang ulama. Meskipun, berbeda-beda kedalamannya pada setiap orang.
QS. Al Israa’ : 107-108. ‘’... Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan
sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas
muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan
kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi. Dan mereka menyungkur atas
muka mereka sambil MENANGIS dan mereka bertambah khusyu'.’’
Siapa saja yang sudah diberi
pengetahuan oleh Allah, ketika membaca ayat-ayat Al Qur’an akan bergetar
hatinya. Karena, dia tidak hanya menguasai teorinya, melainkan sudah memahami
betul apa yang terkandung di dalamnya secara nyata.
Persis seperti Rasulullah yang
menangis hebat ketika menerima wahyu tentang langit dan bumi tersebut,
sementara beliau sudah mengalami perjalanan Isra’ Mi’raj secara nyata. Maka,
beliau pun tak mampu menahan gejolak jiwanya yang pernah merasakan kekaguman
tiada tara saat terpesona di Sidratul Muntaha.
Beliaupun menangis semalaman sebagai seorang
ulul albab, dengan kedalaman makna seorang ulama..!
Wallahu a’lam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar