Iman yang Haqqul Yaqin
Oleh : pak Agus Balung
Kali ini mari kita mencoba berbicara
dan menggali tentang “Iman”. Secara definitif menurut bahasa, iman adalah “pembenaran
hati”. Sedangkan menurut
istilah, iman adalah “Membenarkan
dengan hati , mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggauta badan”.
Kalau didefinisikan menurut kata
hati, sebenarnya kita lebih suka menyebut iman sebagai ‘rasa
yakin’. Sebab, ‘yakin’ memiliki bobot lebih besar
dibandingkan dengan ‘percaya’. Dan oleh karenanya, ‘yakin’ memiliki kualitas bertingkat-tingkat seiring dengan proses
keimanan yang terjadi. Di dalam Islam
dikenal istilah ‘ilmul yaqin, ‘ainul yaqin,
dan haqqul yaqin.
Keimanan yang diperoleh dengan
mudah, akan runtuh dengan mudah. Sebaliknya, keimanan yang diperoleh dengan
perjuangan dan proses yang panjang, akan berakar kokoh di dalam sanubari. Tak
mudah tergoyahkan, tak mudah dibeli, atau apa lagi diruntuhkan. Ia seperti
pohon yang akarnya menghunjam kuat ke dalam tanah, dan cabang-cabangnya
menjulang ke langit. Begitulah Al Qur’an memberikan perumpamaan.
‘’Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan
cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim
dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia
supaya mereka selalu ingat.’’
[QS. Ibrahim: 24]
Level paling bawah dari sebuah
keimanan atau keyakinan adalah ‘ilmul
yaqin. Yakni, keyakinan yang
diperoleh lewat proses pembelajaran dari orang lain, bisa guru, orang tua,
ataupun teman. Kepahaman yang baik terhadap suatu persoalan bakal memunculkan
keyakinan, meskipun ia belum mengalami sendiri. Misal, ketika kita bertanya
kepada seseorang: ‘’apakah Anda yakin Allah itu ada?’’. Bagi seseorang
yang sudah belajar tentang eksistensi Sang Pencipta alam semesta, boleh jadi
dia akan mengatakan: ‘’ya saya yakin Allah itu ada!”
Tetapi, ketika kita tanyakan lagi: ‘’Apakah
Anda sudah bertemu dengan Allah, sehingga merasa yakin akan keberadaan-Nya?’’,
dia menjawabnya: ‘‘belum’’. Lantas, kenapa kok yakin? Dia pun
mengatakan, semua itu diperolehnya lewat proses belajar. ‘’Begitulah kata guru
saya. Saya memahaminya dan meyakininya,’’ tuturnya. Keyakinan yang demikian itu
baru berada pada tataran ‘ilmul yaqin
: yakin karena kata orang.
Keyakinan semacam ini, di dalam
Islam belum dianggap cukup. Harus meningkat menjadi sebuah pengalaman yang
bersifat personal: ‘ainul yaqin
– ‘melihat’ sendiri atau merasakan sendiri.
Pada level ini jika ia ditanya: Apakah Anda yakin Allah itu ada? Dengan
mantap ia akan menjawab: ‘’tentu saja yakin.’’ Dan ketika ditanya,
apakah ia sudah bertemu dengan Allah sehingga sedemikian yakin, ia pun dengan
mantap mengatakan: ‘’sudah’’. Kapan bertemu dengan-Nya? Boleh jadi dia
menjawab: ‘’barusan, saat shalat dan berdoa. Semua doa dan shalat
saya langsung dijawab dan direspon oleh-Nya!’’
Jika seseorang sudah menjawab
seperti itu, Anda akan mulai sulit untuk menggoyakan imannya. Karena ia telah
merasakan bukti-bukti yang dihadapinya sendiri. Bukan hanya kata orang. Dan
akan semakin kokoh, ketika ia sudah mencapai tingkatan haqqul yaqin. Yakni, sebuah level keimanan dimana dia telah
berulangkali dan terus menerus memperoleh bukti atas apa yang diimaninya.
Selama bertahun-tahun.
Sehingga, ketika ia ditanya: Apakah Anda yakin bahwa Allah itu ada?
Jawabannya tak mengandung keraguan sama
sekali: ya jelas ada! Apakah
sudah bertemu dengan Allah? Sambil tersenyum dia mengatakan: sudah, setiap
saat! Shalat bertemu dengan-Nya. Berdoa bertemu dengan-Nya. Berdzikir
bertemu dengan-Nya. Bahkan bekerja, bergaul, berumah tangga, berpesiar, dan
beraktifitas apa saja, bertemu dengan-Nya. ‘’Karena
ia sudah bersama dengan saya dimana pun saya berada. Segala masalah dan
anugerah selalu saya interaksikan dengan Dia, dan selalu dijawab-Nya. Setiap
saat, setiap waktu. Kenapa saya masih tidak yakin bahwa Dia ada?’’
Nah, kalau sudah demikian, Anda
tidak akan bisa menggoyahkan keimanannya. Dia telah haqqul yaqin atas apa yang dijalaninya. Kecuali, Anda bisa
memberikan keyakinan yang lebih dahsyat bahwa semua yang diyakininya itu
hanyalah ilusi. Salah lihat dan salah dengar, atau salah persepsi. Tapi, Anda
akan semakin tidak berkutik, jika ia lantas menampilkan bukti-bukti yang tak
terbantahkan, yang sudah dia dapatkan sepanjang perjalanan spiritualitasnya.
Bisa-bisa Anda sendiri yang bakal ‘runtuh’ menghadapinya.
Demikianlah Al Qur’an mengajari umat
Islam dalam mencapai keimanannya. Tidak boleh ikut-ikutan, tidak boleh
asal-asalan, dan tidak boleh sekedar menyandarkan kepercayaan. Keimanan harus
diperjuangkan. Keimanan mesti diperoleh lewat kepahaman. Keimanan harus
didapatkan lewat diskusi-diskusi yang intens. Dan kemudian dibuktikan dalam
kehidupan nyata. Sehingga, tidak heran orang-orang setingkat Nabi Ibrahim dan
Nabi Musa pun berusaha membuktikan keberadaan Allah sebagai Tuhan penguasa
jagat raya semesta, dimana seluruh makhluk memang hanya bergantung kepada-Nya.
‘’Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada (siapa saja)
mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan bulan
dan matahari?" Niscaya mereka akan menjawab: "Allah". Maka
kenapakah mereka (masih bisa) dipalingkan (dari realitas ini).’’ [QS. Al Ankabuut: 61].
Wallahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar