Oleh : pak
Agus Balung
Mundur selangkah untuk
dapat maju beberapa langkah adalah suatu hal yang dilakukan dalam kehidupan dan
merupakan kenyataan sehari-hari kegiatan kita. Ungkapan itu sendiri sebetulnya
mengacu kepada suatu sikap hidup yang amat penting untuk dipahami dengan baik,
yaitu sikap hidup berpikir dan bertindak stategis.
Tetapi meskipun “dalil” itu nampak mudah diucapkan, namun sebenarnya tidak semua orang dengan mudah melaksanakan. Karena “mundur selangkah” dapat mengesankan suatu kekalahan, maka orang yang tinggi hati biasanya tidak mau melakukannya, sebab kuatir dinilai sebagai orang yang kalah. Padahal, dengan tidak mau “mengalah” secara taktis (sementara) itu dia justru terancam akan mengalami kekalahan strategis yang lebih besar.
Dalam sebuah tembang Jawa disebutkan
ungkapan, Dedalane guna kalawan sakti wani ngalah duwue weksane. Terjemahnya,
secara sedikit bebas, ialah “Jalan menuju kemenangan dan ketangguhan ialah
sikap berani mengalah namun akhirnya memperoleh keunggulan”. Ini adalah isyarat
agar dalam hidup ini kita mengenali mana bagian dari kegiatan kita yang
bernilai alat (instrumental) dan mana pula yang bernilai tujuan (intrinsik),
mana yang jangka pendek (taktis) dan mana pula yang jangka panjang (strategis).
Selanjutnya, kita hendaknya menyadari bahwa yang instrumental dan taktis selalu
sekunder kedudukannya dibanding yang intrinsik dan strategis. Sedangkan yang
intrinsik dan strategi adalah primer.
Jika menyadari hal itu, maka kita
akan mampu mengambil sikap yang tepat dan tenang dalam menghadapi
situasi-situasi yang menghendaki agar kita bersedia mengorbankan hal yang
sekunder untuk mempertahankan dan menjamin tercapainya hal yang primer. Dengan
tenang dan penuh perhitungan kita akan mundur selangkah (mengalah atau “kalah”
dalam jangka pendek), agar supaya dapat maju beberapa langkah (yang akan
membawa kemenangan dalam jangka panjang).
Jika kita tidak sepenuhnya menyadari
persoalan itu, maka kemungkinan besar kita terjembab ke dalam sikap-sikap
mendahulukan “gengsi” yang semu, yang akan membuat tindakan kita menjadi
emosional, seperti yang dapat disaksikan pada banyak orang yang dalam hidup
sehari-hari tidak mau mengalah sama sekali. Kita tahu bahwa dari sudut lain
sikap itu juga bisa dipadang sebagai kekanak-kanakan.
Oleh karena itu menarik sekali
merenungkan mengapa agama selalu mengajarkan sifat dan watak kesabaran. “Sabar” (Arab: shabr) artinya tabah
menderita, yakni, sanggup menunda kesenangan sementara (seperti kesenangan
karena merasa “menang” dalam hal-hal sekunder) karena kita berharap dan yakin
akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih besar dan lama. Jadi sama dengan makna
tembang Jawa tadi, dan senafas dengan semangat pepatah Indonesia.
“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu,
bersenang-senang kemudian”.
Disebabkan sangat pentingnya sikap
hidup yang penuh kedewasaan itu, maka Kitab Suci memperingatkan kita semua agar
tidak tertipu oleh hal-hal yang bersifat segera, sambil melupakan hal-hal yang
akan kita temui di belakang hari (Q., 75: 20 dan Q., 76: 27). Dan bahwa takwa
kepada Allah itu terkait erat dengan sikap hidup memandang jauh ke depan, tidak
hanya untuk di sini dan kini saja (Q., 59: 18).
Sumber:
Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, diterbitkan oleh: Penerbit Mizan, bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, dan Center for Spirituality & Leadership (CSL), Jakarta, Mizan, 2006.
Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, diterbitkan oleh: Penerbit Mizan, bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, dan Center for Spirituality & Leadership (CSL), Jakarta, Mizan, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar