Oleh
: pak Agus Balung
Qurratu
a‘yun adalah suatu inti atau esensi kebahagiaan. Misalnya, tujuan dari rumah
tangga ialah untuk menciptakan sakînah, yang dalam bahasa lain ialah qurratu
a‘yun. Seperti ungkapan doa, Dan
mereka yang berdoa, “Tuhan,
jadikanlah istri-istri kami dan keturunan kami cendera mata (sebagai penyenang
hati) bagi kami, dan jadikanlah kami teladan bagi orang yang bertakwa (Q.,
25:74).
Esensi kebahagiaan adalah surga. Di
dalam surga setidaknya ada sakinah. Banyak sekali gambaran mengenai surga.
Tetapi rupanya yang paling menarik bagi Nabi adalah di dalam surat Al-Sajdah
ketika disebutkan, Tiada seorang pun tahu cendera mata apa yang masih
tersembunyi bagi mereka sebagai balasan atas amal kebaikan yang mereka lakukan
(Q., 32:17).
Itulah surga. Surga itu tidak ada
seorang pun yang tahu. Bagaimana dengan gambaran di dalam Al-Quran?. Itu
semuanya adalah simbol, metafora, gambaran-gambaran populer. Karena itu, Nabi
kemudian menyampaikan sebuah hadis qudsi (firman Allah tetapi kalimatnya dari
Nabi), “Aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku
yang saleh sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata dan tidak pernah
terdengar oleh telinga serta tidak pernah terbetik dalam hati manusia. Dan
kalau kamu mau (kata Nabi), bacalah (ayat al-Qur’an itu), tidak seorang pun
mengetahui esensi kebahagiaan yang dirahasiakan baginya sebagai balasan untuk
amal perbuatan baiknya (HR Bukhari).
Di dalam surga kita akan merasa
aman, salâm, dan sebagainya. Dalam suatu stadium tingkat tertinggi yang
bersifat ruhani, sebetulnya itu tidak bisa digambarkan. Itu hanya bisa dialami.
Untuk mengalaminya pun perlu usaha yang sungguh-sungguh, yang dalam bahasa Arab
disebut juhd-un. Dari perkataan juhd-un (usaha yang sungguh-sungguh) diambil
perkataan jihâd (jihad). Jihad tidak hanya berarti fisik seperti perang, tetapi
juga jihâd-u ‘l-nafs, jihad melawan diri sendiri atau ijtihâd menggunakan
seluruh kemampuan pikiran. Bahkan juga mujâhadah, atau spiritual exercise, olah
ruhani. Jadi tidak hanya olahraga, olah jasmani, juga tidak hanya olah jiwa,
olah nafsani, tetapi juga olah ruhani. Maka, sebetulnya kebahagiaan ialah dalam
kelapangan ini, yang sebetulnya tempat di mana terletak adanya rahmat Allah
kepada kita.
Ketika Allah memuji Nabi Muhammad
sebagai orang yang lapang dada, maka itu dikaitkan dengan rahmat Allah. Bukankah Allah telah berfirman dana surah Ali
Imron ayat : 159 “Karena rahmat dari Allah jugalah
maka engkau bersikap lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau kasar dan
berhati tegar niscaya mereka menjauhi kamu. Maka maafkanlah mereka dan mohonkan
ampun buat mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan. Maka
jika engkau sudah mengambil keputusan bertawakallah kepada Allah, karena Allah
mencintai orang yang tawakal” (Q.,
3:159).
Sumber:
Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Penyunting: Budhy Munawar-Rachman, Editor: Ahmad Gaus AF, et.al., diterbitkan oleh: Penerbit Mizan, bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, dan Center for Spirituality & Leadership (CSL), Jakarta, Mizan, 2006.
Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Penyunting: Budhy Munawar-Rachman, Editor: Ahmad Gaus AF, et.al., diterbitkan oleh: Penerbit Mizan, bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, dan Center for Spirituality & Leadership (CSL), Jakarta, Mizan, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar