Oleh : pak Agus Balung
Kita semua tidak pernah meragukan,
bahwa semua orang pasti pernah merasakan bahagia. Tetapi masalahnya :
Bagaimanakah kita bisa merasakan kebahagiaan itu bisa lebih lama di bersemayam
dalam hati kita? Apa kiat-kiatnya agar
kita bisa mempertahankan perasaan bahagia tersebut dalam diri kita.
Mempertahankan rasa bahagia memang tidak gampang. Ada orang
yang bekerja sangat keras, namun yang ia
dapat bukan kebahagiaan dan ketenangan, melainkan kekeringan hidup. Ini
merupakan pertanda, bahwa tidak secara otomatis orang yang bekerja keras akan
mendapatkan kebahagiaan. Ada orang yang kehidupannya terlihat sangat santai,
tetapi justru pada saat yang bersamaan, rasa bahagia itu langgeng di dalam
dirinya.
Jadi, bahagia dan kebahagiaan tidak bisa diukur dengan
banyaknya materi yang kita kumpulkan, sehatnya badan kita, ataupun shalehnya
keturunan-keturunan kita. Tetapi sesungguhnya, kebahagiaan dan kesejahteraan
yang paling puncak adalah ketenangan jiwa kita.
Ada beberapa tips yang dihimpun para ulama setelah
memperdalami Al-Qur’an dan Hadits. Tips menjadi orang yang paling bahagia
tersebut adalah:
Pertama
: keimanan
menghapuskan keresahan.
Tidak ada kebahagiaan tanpa iman yang kuat. Tanpa keimanan,
orang-orang yang tidak memiliki prinsip keyakinan di dalam jiwanya hanya akan
mencapai kamuflase kehidupan. Sehingga, yang bisa menancapkan kebahagiaan di
dalam diri kita adalah keimanan. Keimanan seperti apakah yang dimaksud
tersebut?
Keimanan menghapuskan keresahan dan melenyapkan kegundahan.
Keimanan adalah kesenangan yang diburu oleh orang-orang yang bertauhid dan
hiburan bagi orang-orang yang ahli ibadah. Tauhid dan ibadah itu muaranya
adalah kebahagiaan dan ketenangan. Pertanyaannya: Bagaimana mewujudkan keimanan
yang bisa mengundang kebahagiaan? Bagaimana melakukan ibadah yang bisa
menghasilkan ketenangan?
Keimanan memang kepada Allah SWT. Ibadah memang semata-mata
untuk Allah, tidak dimaksudkan untuk untuk membahagiakan diri kita sendiri.
Maksudnya, kita beribadah bukan karena
ingin bahagia. Orang yang beriman dan beribadah karena mendambakan suatu
kebahagiaan dan ketenangan, maka seolah-olah kebahagiaan dan ketenangan
tersebut merupakan tuhan keduanya selain Allah SWT.
Iman dan ibadah itu tujuannya kepada Allah SWT, akan tetapi
dampak dari keimanan dan ibadah tersebut adalah ketenangan. Bukan tujuan kita
beriman dan beribadah supaya kita bahagia dan hidup tenang. Jika kita beriman
dan beribadah hanya untuk mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan, berarti kita
telah merendahkan posisi ibadah kita (misalkan shalat) hanya menjadi meditasi.
Tujuan dari meditasi adalah untuk mencapai ketenangan batin, dan juga
kebahagiaan rohani. Bagi Umat Islam, tujuan kita beribadah bukanlah untuk
memperoleh ketenangan batin, melainkan ketenangan batin itu hanya sebagai
akibat, bukanlah merupakan suatu tujuan.
Jika ada orang beribadah hanya untuk memperoleh ketenangan
duniawi dan juga ketenangan batin, maka belumlah ia dapat disebut sebagai
seorang mukhlishin (orang yang ikhlash).
Orang yang beriman dan beribadah hanya dengan tujuan
kebahagiaan, maka dia pasti akan memperoleh kebahagiaan serta ketenangan
tersebut. Tetapi, kebahagiaan dan ketenangan yang ia dapatkan itu tidaklah
permanen. Yang bisa mempermanenkan kebahagiaan dan ketenangan tersebut adalah ibadah
yang lillahi ta’ala.
Seringkali kita putus asa, misalkan kita sudah sering Shalat
Tahajjud dan Puasa Sunnat, tetapi mengapa hati kita tak pernah bisa tenteram,
serta tak pernah merasakan bahagia? Hal ini karena ibadah yang telah dilakukan
tersebut hanya bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan batin,
bukan untuk memperoleh ridha Allah SWT.
Kita bukan menyembah ketenangan batin, karena tujuan kita
beribadah bukanlah untuk mendapatkan ketenangan batin tersebut. Tujuan kita
beribadah adalah untuk memohon ridha Allah SWT. Adapun nantinya setelah
melakukan ibadah tersebut kita kemudian mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan,
maka itu merupakan bonus dari penghambaan diri kita kepada Allah SWT. Kita
jangan pernah kecewa jika setelah beribadah ternyata kebahagiaan dan ketenangan
tersebut tidak pernah muncul di dalam hati kita.
Apakah yang menyebabkan kebahagiaan tersebut? Kita mungkin
bisa mengatakan, ibadah. Tetapi, ibadah yang sangat intensif dan berkualitas
itu sebenarnya dipicu oleh ketenangan batin. Misalkan, jika kita sedang
mengalami stress, cemas, takut, atau sedang sakit, apakah kita bisa beribadah
dengan baik? Apakah ada ketenangan dalam beribadah tersebut? Jawabannya, tidak
ada. Jadi, kedua-duanya adalah saling tunjang-menunjang. Ibadah yang baik akan
melahirkan ketenangan batin. Ketenangan batin akan melahirkan kualitas ibadah
yang baik.
Dalam hal ini, yang patut diperhatikan adalah permulaan niat
kita (innamal a’malu bin-niat), yaitu: Innash-shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin, bukanlah li tatma innil qulub (untuk ketenangan jiwa).
Jika ada orang yang beribadah hanya bertujuan untuk
ketenangan batinnya, maka ia telah menurunkan kualitas ibadahnya menjadi
seperti meditasi. Sedangkan meditasi bisa dilakukan oleh orang yang tidak
bertuhan sekalipun. Yang penting, ketika meditasi tersebut ia bisa memfokuskan
perhatiannya, misalkan dengan membayang-bayangkan suatu tempat yang indah dan
tenang. Ketika bermeditasi, orang tersebut bagaikan sedang “fly” setelah
minum obat penenang ataupun mengkonsumsi narkotika. Sehingga, jika efek dari
obat tersebut habis, maka kembali ia mengalami ketidaktenangan.
Jadi, tips untuk menjadi orang yang paling bahagia adalah:
beriman dan beribadah semata-mata hanya karena Allah SWT. Bukanlah tujuan kita
untuk memperoleh kebahagiaan, ketenangan, serta ketenteraman batin, melainkan
semua itu hanyalah efek samping dari penyembahan (ibadah) kita kepada Tuhan.
Akan tetapi, Tuhan itu Maha Pengasih lagi Maha Adil.
Kebahagiaan yang diperoleh karena sebelumnya memang
diniatkan sebagai suatu tujuan, dibandingkan dengan kebahagiaan yang diperoleh
karena sebelumnya diniatkan hanya karena Allah SWT, maka kebahagiaan yang
pertama tidak permanen, sedangkan kebahagiaan yang kedua adalah permanen. Pada
yang kedua tersebut (yang diniatkan karena Allah SWT), bahkan kita akan
merasakan suatu ketenangan walaupun ibadah tersebut dilakukan ketika sedang
sakit. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Karena ibadah yang kita lakukan
hanyalah karena Allah SWT.
Ubahlah paradigma kita! Jika selama ini kita mungkin pernah
mendengar para penceramah yang mengatakan: ala
bi dzikrillah tatmainnil qulub (ketahuilah, bahwa dengan
mengingat Allah, maka kita akan mendapatkan ketenangan batin). Sehingga
muncullah di pikiran kita, bahwa untuk mendapatkan ketenangan batin, maka kita
harus menyembah Tuhan.
Hal tersebut tentunya
salah.
Janganlah motivasi ketenangan batin tersebut yang membuat
kita beribadah kepada Allah SWT, melainkan kita beribadah adalah untuk
mendapatkan ridha Allah SWT. Ridha Allah itulah nantinya yang akan melahirkan
kebahagiaan yang permanen. Tanpa ridha dari Allah, maka kita tidak akan
mendapatkan kebahagiaan yang permanen tersebut.
Jika selama ini kebahagiaan itu tidak permanen, mungkin
karena motivasi kita beriman dan beribadah bukanlah untuk mendapatkan
ridha-Nya, melainkan kita terlalu egois. Belum apa-apa, kita sudah mengharapkan
kebahagiaan dan ketenangan batin. Shalat Tahajjud yang rakaatnya
panjang-panjang, serta puasa dan ibadah-ibadah lainnya, dilakukan dengan
diboboti pamrih-pamrih yang sangat individual. Jadi, mana untuk Tuhan? Semuanya
hanya untuk dirinya sendiri. Pura-pura saja sujud, pura-pura saja rakaat
shalatnya banyak, tapi tujuannya bukan untuk Allah, melainkan hanya untuk
egoisme dirinya sendiri. Padahal, aqimish-shalata
li dzikri (dirikanlah shalat untuk menghayati dan mengingat Aku).
Seharusnya Shalat Tahajjud tersebut diniatkan untuk
memberikan sesuatu yang terbaik dan terindah kepada Tuhan. “Inilah kadoku
kepada-Mu ya Allah, sebagai tanda syukur terima kasihku kepada-Mu. Kuberikan
ibadahku yang sangat tulus kepada-Mu, tanpa diembel-embeli oleh tujuan-tujuan
jangka pendekku.” Kalau perlu tanpa berdo’a, karena Tuhan Maha Tahu. Dia lebih
tahu apa yang kita inginkan. Yang penting, munajatnya yang paling panjang,
bukan doanya. Selama ini mungkin kita tak pernah bermunajat, yang ada adalah
doa, yaitu daftar keinginan.
Kedua,
karena
adanya keimanan dan keyakinan yang sangat kuat tersebut, maka tingkat tawakkal
kita menjadi bertambah.
Semakin ma’rifat
kita menjadi klop, maka semakin keimanan kita itu mencapai sasaran. Semakin
ibadah kita hanya bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT, maka
perasaan pasrah diri (tawakkal)
pasti akan terwujud di dalam diri kita.
Jika perasaan tawakkal
itu muncul, maka yang lalu telah berlalu, dan yang telah pergi biarlah pergi.
Biarkanlah masa lampau itu berlalu, dan juga jangan membebani kita lagi. Karena
kita yakin bahwa Allah itu Maha Ada, Maha Adil, dan Maha Kuasa, maka kita
serahkan diri kita kepada-Nya. Orang yang sudah beriman seperti ini, itulah
orang yang telah mencapai ma’rifah
yang sesungguhnya.
Jangan dipikirkan yang telah berlalu, karena telah pergi dan
telah selesai. Orang yang selalu terbebani masa lampaunya, berarti ia telah
meragukan Allah sebagai Maha Pemaaf. “Fa
iza ‘azamta fa tawakkal ala-llah”. Setelah kita melakukan yang perfect
dan terbaik untuk Allah, maka kemudian ber-tawakkal-lah kita kepada
Allah. Tetapi jika kita telah melakukan dosa yang begitu banyak, lalu kemudian
kita ber-tawakkal kepada Allah tanpa sebelumnya didahului dengan
bertaubat, maka itu bukanlah disebut menyembah Tuhan, melainkan sebaliknya,
yaitu mengejek dan menghina Tuhan.
Kalau sudah seperti itu, maka akan muncul sikap penerimaan Qadha’. “Qadha’” adalah garis tangan. Karena garis tangan kita memang
sudah seperti ini, maka mau diapakan lagi. Kita sudah berusaha, tapi tetap saja
seperti ini. Namun, jika kita tak pernah berusaha, namun berpasrah saja dengan
garis tangannya itu, maka ini bukanlah dinamakan garis tangan, melainkan
kemalasan.
Yakinlah, bahwa doa dan ibadah akan mampu mengubah takdir.
Misalkan tertulis di Lauhul
Mahfudz, bahwa hari ini kita
akan mati. Kemudian lewat dari waktu kematian tersebut, ternyata kita tidak
mati. Apakah ini berarti bahwa Lauhul
Mahfudz tersebut salah?
Jawabannya, Lauhul Mahfudz tidaklah salah. Karena di
atas Lauhul Mahfudz masih ada Allah SWT.
Malaikat hanya bisa mengetahui sampai Lauhul Mahfudz, tetapi tidak ada
yang bisa memahami isi dari pengetahuan Tuhan.
Misalkan pada sebuah doa disebutkan: “Allahumma thawwil
umurana (Ya Allah, panjangkanlah
umur kami!)” Berkaitan dengan doa tersebut, bukankah telah ditetapkan di Lauhul Mahfudz, bahwa kita lahir pada tanggal sekian bulan sekian,
kemudian akan wafat pada tanggal sekian bulan sekian. Yang ada di Lauhul Mahfudz itu adalah catatan formal, sedangkan catatan de facto-nya hanyalah Allah yang tahu.
Terimalah qadha’
yang telah pasti dan rizki yang telah dibagi itu dengan hati yang terbuka.
Segala sesuatu itu ada ukurannya. Karena itu, enyahkanlah kegelisahan.
Jika kita sudah bersusah payah mencari rizki, tetapi
kemudian rizki yang didapatkan hanya itu saja, maka mungkin itulah yang terbaik
untuk kita. Memang sedikit, tapi itulah intinya berkah yang kita dapatkan.
Untuk apa kita mendapatkan banyak, tapi tanpa berkah. Mana yang lebih baik,
sedikit tapi berkah, atau banyak tapi tidak berkah? Maunya kita, yaitu banyak
tapi berkah. Seandainya ada pilihan, sedikit tapi berkah, atau banyak tapi
tidak berkah? Tentunya kita akan memilih sedikit tapi berkah. Buat apa banyak
tapi tidak berkah, kalau kemudian kita dimasukkan ke penjara.
Berikutnya, bahwa dengan mengingat Allah, hati akan menjadi
tenteram, dosa akan diabaikan, Allah akan menjadi ridha, dan tekanan hidup akan
terasa ringan.
Orang yang selalu merasakan beban hidupnya menjadi semakin
berat, maka orang tersebut adalah orang yang tidak ikhlas. Orang yang ikhlas
tidak akan pernah merasakan kelebihan beban di dalam hidupnya. Mengapa? Karena
ia akan mengembalikan semuanya kepada Allah. Orang yang selalu merasakan
kelelahan di dalam hidupnya juga merupakan gejala tidak ikhlas. Sepertinya ia
tidak ikhlas menjadi hamba di muka bumi ini. Sepertinya ia tidak ikhlas menjadi
khalifah di atas dunia ini.
Berikutnya, janganlah kita menanti ucapan terima kasih dari
sesama. Jika ada orang yang berbuat sesuatu dan kemudian menanti terima kasih,
itu pasti ia tidak ikhlas. Melelahkan hidup seperti itu. Cukuplah pahala dari
zat yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Tak ada yang harus kita lakukan terhadap orang yang iri dan
dengki kepada kita. Biarkan orang tersebut sibuk sendiri. Jangan kita layani
orang-orang yang dengki dan iri terhadap kita tersebut. Yang penting, hidup
kita lurus (shiratal mustaqim), jalan terus kita menuju
Allah, biarkanlah orang tersebut bersibuk ria berurusan dengan hatinya sendiri
yang tidak bersih.
(Disarikan dari Pengajian Husnul Khotimah, yang disampaikan oleh Prof.
Dr. H. Nasaruddin Umar M.A, pada tgl. 25 Februari 2008 di Masjid Agusng Sunda
Kelapa Jakarta)