Oleh : pak
Agus Balung
Judul tersebut merupakan merupakan curhat yang disampaikan oleh saudari kita yang ada di Malang, Jawa Timur. Semoga tulisan inii bisa bermanfaat bagi pembaca lainnya.
Saudari kita yang berinisial Y
bercerita bahwa yang terpikat oleh dukun berbaju kyai bukan dirinya, tapi
orangtuanya. Orangtuanya suka datang ke dukun yang dianggap oleh sebagian orang
sebagai kyai. Ia pernah diajak ke tempat tersebut. Tapi ia menolak, sehingga
orangtuanya marah. Ibunya sering marah kalau diingatkan bahwa memakai rajah dan
jimat itu syirik dan dilarang Islam. Bahkan ia dianggap sebagai anak durhaka,
tidak menurut pada orangtua. Ia takut kalau ‘disumpahin’ Ibunya.
Kita sangat salut atas semangat dakwah saudari kita
ini. Ia bersikap kritis terhadap adanya penyimpangan yang ada di sekitarnya.
Yang benar memang harus dikatakan benar, dan yang salah harus dinyatakan salah,
agar masing-masing tampak jelas dan tidak membingungkan orang lain. Termasuk
tindakan kedua orangtua kita sendiri.
Itulah sikap yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Walaupun begitu kita harus mengambil langkah yang tepat dan bijak, agar kebenaran yang akan kita sampaikan bisa diterima oleh obyek yang kita tuju. Lalu penyimpangan yang ada bisa terkikis atau hilang, cepat atau lambat.
Itulah sikap yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Walaupun begitu kita harus mengambil langkah yang tepat dan bijak, agar kebenaran yang akan kita sampaikan bisa diterima oleh obyek yang kita tuju. Lalu penyimpangan yang ada bisa terkikis atau hilang, cepat atau lambat.
Makna
“Kyai” yang menjadi bias
Kyai adalah sebutan terhadap seseorang yang dipandang dan diakui
sebagai ulama’ Islam, begitulah Prof. Dr. J.S Badudu mendefinisikannya dalam
kamus Bahasa Indonesia. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, sebutan kyai
penggunaannya telah melebar dan meluas. Tidak hanya diberikan kepada orang yang
mumpuni dalam ilmu agama, tapi juga disandangkan kepada yang lainnya.
Di Jawa Tengah ada seekor kerbau yang dijuluki kyai Slamet. Dan sering kali kita jumpai dalam masyarakat kita, apabila ada orang yang tingkah lakunya bak ‘preman’, lalu prilakunya berubah dan rajin ibadah, teman-temannya pun memanggilnya kyai.
Di Jawa Tengah ada seekor kerbau yang dijuluki kyai Slamet. Dan sering kali kita jumpai dalam masyarakat kita, apabila ada orang yang tingkah lakunya bak ‘preman’, lalu prilakunya berubah dan rajin ibadah, teman-temannya pun memanggilnya kyai.
Begitu juga ketika ada orang yang
berjubah, bersorban atau berpeci putih, orang sekitarnya pun terkadang
memanggilnya kyai, walaupun pengetahuan agamanya minim. Karena penggunaan kata
kyai yang meluas itulah akhirnya sebutan kyai menjadi bias, bahkan sering
disalah gunakan dan dijadikan obyek canda, dan ada juga yang memanfaatkan
sebagai kedok bisnis.
Tapi yang jelas, kita sebagai umat
Rasulullah telah diwarisi dua parameter, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Siapa
pun orangnya, santri atau kyai, murid atau ustadz, masyarakat awam atau
terpelajar, tingkah lakunya harus ditimbang dengan keduanya. Kalau apa yang dia
katakan atau yang dia lakukan ternyata menyimpang dari dua parameter tersebut,
maka kita tidak boleh mengikutinya. Mereka juga manusia biasa, bukan nabi atau
rasul yang ma’shum (terjaga dari dosa). Kemungkinan salah dalam tindakan atau
perkataan pasti ada, alias sangat mungkin.
Yang benar-benar kyai atau ulama’
saja terkadang bisa salah, apalagi kalau ternyata sebutan kyai yang
disandangnya ternyata hanya kamlufase atau kedok saja. Dukun berbaju kyai, atau
peramal bergaya ulama’. Sosok seperti itulah yang harus kita waspadai.
Dalam masalah penggunaan rajah atau
jimat. Rasulullah telah tegas melarang umatnya untuk memakainya. “Barangsiapa
yang
memakai
jimat,
maka
ia
telah
berbuat
syirik.”
(HR.
Ahmad
dan
Thabrani).
Jadi penolakan saudari kita ini sudah benar, hanya saja cara penolakannya itu yang harus bijak dan tidak kasar. Kalau Anda ingin memberi penjelasan tentang dilarangnya penggunaan jimat, Anda bisa minta bantuan orang ketiga. Seorang kyai atau ulama’ yang nasihatnya didengar oleh orangtua. Karena terkadang orangtua mengedepankan egonya, saat mendengar nasihat dari anaknya sendiri. Sehingga ia gengsi menerima nasihat anak, meskipun isinya benar.
Jadi penolakan saudari kita ini sudah benar, hanya saja cara penolakannya itu yang harus bijak dan tidak kasar. Kalau Anda ingin memberi penjelasan tentang dilarangnya penggunaan jimat, Anda bisa minta bantuan orang ketiga. Seorang kyai atau ulama’ yang nasihatnya didengar oleh orangtua. Karena terkadang orangtua mengedepankan egonya, saat mendengar nasihat dari anaknya sendiri. Sehingga ia gengsi menerima nasihat anak, meskipun isinya benar.
Dalam masalah yang berkaitan dengan
sesuatu yang bisa merusak tauhid, kita harus tegas dalam mengambil sikap, namun
tetap santun dan elegan. Sebagaimana yang Allah pesankan, “Dan jika keduanya (orangtua)
memaksamu
untuk
mempersekutukan-Ku
dengan
sesuatu
yang
tidak
ada
pengetahuanmu
tentangnya,
maka
janganlah
kamu
mengikuti
keduanya,
dan
pergauilah
keduanya
di
dunia
dengan
baik,
dan
ikutilah
jalan
orang
yang
kembali
kepada-Ku.
Dan
hanya
kepada-Ku
lah
kembalimu,
lalu
Kuberitakan
kepadamu
apa
yang
telah
kamu
kerjakan.”
(QS.
Luqman:
15).
Rasulullah bersabda, “Tidak ada
ketaatan bagi makhluq bila (dalam perintahnya) ada unsur kemaksiatan terhadap
Sang Khaliq.” (HR. Ahmad, Thabrani)
Cintai, sayangi dan berbaktilahlah pada kedua orangtua. Berikan pencerahan dengan penuh hormat dan kecintaan. Iringilah dakwah Anda dengan do’a, sebagaimana yang telah dilakukan oleh seorang shahabat yang bernama Abu Hurairah. Dengan pendekatan lembut dan cinta serta do’anya dan do’a Rasulullah, akhirnya sang ibu tercinta sadar dan masuk Islam seperti yang diharapkannya. Semoga Allah segera membuka pintu hati orangtua Anda tercinta untuk menerima kebenaran yang ada.
Cintai, sayangi dan berbaktilahlah pada kedua orangtua. Berikan pencerahan dengan penuh hormat dan kecintaan. Iringilah dakwah Anda dengan do’a, sebagaimana yang telah dilakukan oleh seorang shahabat yang bernama Abu Hurairah. Dengan pendekatan lembut dan cinta serta do’anya dan do’a Rasulullah, akhirnya sang ibu tercinta sadar dan masuk Islam seperti yang diharapkannya. Semoga Allah segera membuka pintu hati orangtua Anda tercinta untuk menerima kebenaran yang ada.
Memilih Pengobatan yang Sesuai Syari’at
Ini point yang paling penting. Saat
berobat janganlah berprinsip: “Yang penting sembuh, masa bodoh dengan cara apa
kita diobati atau disembuhkan. Prinsip ini jelas telah melanggar pesan
Rasulullah. Beliau pernah bersabda, “Berobatlah kalian, wahai
hamba
Allah.
Tapi
janganlah
kalian
berobat
dengan
yang
haram.”
(HR.
Abu
Daud).
Lalu bagaimana kita memilih praktik
pengobatan yang sesuai syari’at? Agar kita tidak tertipu oleh dukun yang
berpenampilan ustadz, atau orang pinter yang berbaju kyai. Bagaimana cara
membedakan praktik pengobatan yang menyimpang dengan yang sesuai syari’at?
Dewasa ini banyak sekali praktik
pengobatan yang ditawarkan ke masyarakat luas, selain pengobatan medis yang
negri maupun yang swasta. Mereka menamakan diri sebagai pengobatan alternatif.
Dari pengobatan alternatif yanga ada, ada yang berbau mistik dan ada juga yang
tidak mistik. Ada yang bernuansa intrik dan rekayasa, dan ada juga yang berbekal
dengan ketrampilan dan pengetahuan.
Yang mistik melibatkan jin dan
syetan dalam praktiknya. Islam telah melarang umatnya untuk berobat kepada
orang yang berkolaborasi dengan jin atau syetan. (Lihat QS. al-Jin: 6).
Kedatangan kita ke tempat praktik yang seperti itu berarti mendukung dan
melestarikan praktik menyimpang, dan Islam melarang hal itu. (QS. al-Maidah:
2).
Sedangkan jika kita mendatangi praktik pengobatan yang berunsur intrik dan rekayasa, berarti kita membuka diri untuk dijadikan obyek permainan dan penipuan.
Sedangkan jika kita mendatangi praktik pengobatan yang berunsur intrik dan rekayasa, berarti kita membuka diri untuk dijadikan obyek permainan dan penipuan.
Sedangkan tempat praktik yang
berbekal pengetahuan, ketrampilan/skill dan technologi, maka kita diperbolehkan
untuk memanfaatkannya, selama tidak ada unsur yang haram dalam persyaratan yang
diminta atau dalam teknik praktik pengobatannya.
Mungkin karena persaingan yang
ketat, atau memanfaatkan kebodohan masyarakat, atau karena faktor ekonomi dan
desakan kebutuhan hidup. Akhirnya banyak orang yang membuka praktik pengobatan
yang menyimpang dari syari’at Islam, dan dikemas dengan baju serta atribut
Islam. Agar masyarakat muslim Indonesia yang mayoritas ini merasa nyaman dan
aman saat memakai jasa mereka. Padahal mereka sebenarnya dukun yang berbaju
kyai. Atau kekufuran yang dibungkus label islam. Asatghfirullah.
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar