Oleh : pak Agus
Balung
Berikut ini suatu true story dari seorang pelaku pemburu kesaktian yang saya kutip langsung dari Ghoib Ruqyah. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin. Begini kisahnya :
Menjadi orang sakti itu mahal harganya. Banyak hal yang harus dikorbankan. Bila pengorbanan itu hanya sebatas materi, waktu dan tenaga tidaklah mengapa. Semua itu hanya bersifat sementara. Tapi kalau harus mengorbankan akidah, maka jangan coba-coba menjadi orang sakti. Derita berkepanjangan di akhirat segera menanti. Karena untuk menjadi sakti, mau tak mau harus bekerja sama dengan jin, seperti dituturkan Dida, mantan dukun yang bertaubat dan telah menamatkan hafalan al-Qur’an. Berikut petikan kisahnya.
Menjadi orang sakti itu mahal harganya. Banyak hal yang harus dikorbankan. Bila pengorbanan itu hanya sebatas materi, waktu dan tenaga tidaklah mengapa. Semua itu hanya bersifat sementara. Tapi kalau harus mengorbankan akidah, maka jangan coba-coba menjadi orang sakti. Derita berkepanjangan di akhirat segera menanti. Karena untuk menjadi sakti, mau tak mau harus bekerja sama dengan jin, seperti dituturkan Dida, mantan dukun yang bertaubat dan telah menamatkan hafalan al-Qur’an. Berikut petikan kisahnya.
Sejak kecil, aku memang punya cita-cita ingin menjadi
orang yang sakti mandraguna. Ditembak lakak-lakak, ditombak cengengesan.
Darah orang sakti mengalir deras dalam diriku. Kakek terbilang orang sakti. Di
kampungku ia sangat terkenal. Untuk mendapatkan kesaktian itu, kakek rela
berpuasa selama empat puluh hari dengan tetap bertengger di atas pohon kelapa.
Puasa empat puluh hari saja, banyak yang sudah tidak
sanggup, karena bukan ritual sembarangan. Tapi kakek sanggup melakukannya
dengan tetap bertahan di atas pohonkelapa selama empat puluh hari. Semangat
yang membajalah yang membuat kekek mampu bertahan. Semua itu dilakukan
untuk mewujudkan impian menjadi orang sakti. Karena itu, ketika kusampaikan
keinginanku menjadi orang sakti, ibu tidak melarang. Toh, lelakon ngelmu
itu bukan barang asing bagi ibu.
Pergulatanku dengan dunia kesaktian dimulai sejak aku
duduk di bangku SMP. Awalnya, aku
bergabung dengan perguruan silat di kampungku bersama teman-teman.
Latihan-latihan fisik menjadi menu harian. Selain itu, aku juga nyantri di beberapa tempat.
Lelakon dengan puasa pun mulai kulakukan.
Sebenarnya, aku belum diperbolehkan puasa. Masih
kecil, katanva. Hanya karena keinginan menjadi orang sakti begitu kuat,
larangan itu tidak kuhiraukan. Aku nekat puasa yang terbilang berat untuk anak
seusiaku. Selama tiga hari, aku hanya berbuka dengan tiga suap nasi. Nasi
dikasih air kemudian diaduk. Air nasi kemudian diminum seteguk, dua teguk.
Kemudian nasinya dimakan tiga suap. Tidak boleh lebih. Setelah itu tidak boleh
makan lagi, hingga sahur. Memang tidak ada larangan untuk sahur. Tapi karena
mulut terasa pahit, aku pun malas sahur. Praktis tiga hari hanya makan tiga
suap nasi setiap buka.
Tiga hari pertama aku lulus. Dilanjutkan dengan puasa
tujuh hari. Meski badan terasa lemas, tapi aku masih sanggup menyelesaikanrrya.
Terakhir puasa dua puluh satu hari.
Puasanya memang berat sekali. Apalagi orang di
sekitarku tidak ada yang berpuasa. Hanya aku sendiri. Cobaannya begitu berat
kurasakan. Susah tidur. Ketika ibu menggoreng ikan asin saja, aku sudah ngiler. Karena saking pinginnya. Setelah menyelesaikan puasa dua puluh satu hari, aku
bisa melakukan gerakan-gerakan silat yang selama ini tidak pernah kupelajari.
Sukses berpuasa selama tiga puluh satu hari, membuat
tekadku semakin kuat. Aku pun mulai berkelana dengan beberapa teman. Sesekali
aku berguru ke Jawa Tengah. Tetapi aku tinggal di JawaTimur yang perbatasan
dengan Jawa Tengah.
Kalau ada orang sakti, kudatangi. Biasanya aku datang
bersama teman-teman seperguruan. Pernah, ketika bertandang ke ’orang sakti’ aku
diisi dengan tenaga dalam tingkatan menengah. Setelah diisi langsung dicoba.
Memang, ketika ada teman yang memukuliku, dia langsung terpental. Waktu itu aku
heran, kok bisa begitu. Aku pun menganggap itu adalah kelebihan
yang dlberikan Allah SWT.
Selama berkelana, orang tuaku berpesan, agar aku tidak
bekerja sama dengan jin. “ltu nggak boleh,” katanya. Sepengetahuan orang tuaku
dukun-dukun iru bekerja sama dengan jin. Tapi apa yang kupelajari berbeda
dengan ilmu perdukunan. Aku wiridan dengan ayat-ayat al-Qur’an atau doa yang
berbahasa Arab. Jadi, mereka tidak melarang.
Wiridan Dua
Juta Kali
Masa-masa SMA tidak jauh berbeda. Aku masih bergelut
dengan dunia kesaktian. Entah sudah berapa tempat yang kudatangi. Selain itu,
aku juga mulai membiasakan diri bermalam di kuburan. Lebih dekat dengan
orang-orang’sakti’ yang jasadnya terbaring di dalam tanah, pikirku. Bagi
kebanyakan orang, kuburan adalah tempat yang angker. Jangankan bermalam di
sana, untuk melintas siang hari saja banyak yang tidak berani. Rasa takut itu
seakan sudah hilang dari diriku. Bagiku, bermalam di kuburan tidak berbeda
dengan bermalam di rumah sendiri. Aku merasa nyaman saja di sana. Terlebih aku
merasa dapat lebih dekat dengan orang-orang ‘sakti’ di sana.
Selepas SMA, aku melanjutkan kuliah di sebuah
perguruan tinggi swasta di Surabaya, Jawa Timur. Aku masuk fakultas sastra
Inggris. Awalnya, kujalani masa perkuliahan dengan senang. Hingga suatu ketika,
teman-teman di fakultas mengadakan kegiatan yang bernuansa Islami. Saat itulah,
aku tertegun dengan bacaan al-Qur’an yang diperdengarkan di awal acara. Terasa
ada desiran-desiran halus yang merasuk ke dalam jiwa. Ada dorongan yang mengarahkanku
untuk menjadi seorang penghafal al-Qur’an.
Dorongan yang kuat itu tak mampu lagi kutahan. Hingga
akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan sastra Inggris dan bergelut dengan
al-Qur’an. Ketika kusampaikan keinginanku itu kepada orang tuaku, mereka tidak
melarang. Mereka hanya berpesan, agar aku serius dengan keputusanku. Menjadi
seorang penghafal al-Qur’an tidaklah semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan tekad
yang membaja agar tak luntur di tengah jalan.
Nasehat orang tua kusanggupi. Aku pun meninggalkan rumah
dengan satu tujuan. Mencari pondok pesantren tahfidz. Pilihanku adalah Banten,
Jawa Barat. Meski di Jawa Tengah juga ada pondok tahfidz, tapi aku lebih
memilih Banten. Lokasinya yang jauh dari rumah menjadi alasan tersendiri
mengapa aku memilih Banten. “Biar tidak pulang terus,” jawabku ketika ditanya
bapak.
Waktu pertama ke Banten itu seakan ada yang
membimbing. Bukan ke pondok tahfidz, tapi aku diarahkan ke pesantren yang
mengajarkan ilmu kesaktian. Ceritanya begini. Aku belum pernah ke Banten. Sementara
wilayah Banten itu luas dan banyak pesantrennya. Ketika sampai di terminal
Kalideres, Jakarta Barat, kondektur bertanya, “Mau kemana?” kujawab saja,
“Banten.” sambil kuserahkan uang dua ribu lima ratus rupiah. Ternyata aku
diturunkan di Cadassari. Di sana ada pesantren yang terkenal. Ongkos bis pun
juga pas. Dua ribu lima ratus rupiah. Sebenarnya, ketika tiba di daerah
Cadassari, rasanya aku sudah ingin turun saja. Sepertinya, hatiku cocok dengan
daerah tersebut. Padahal aku belum mendapat informasi apa-apa tentang
Cadassari. Apakah ada pondok pesantren tahfidz atau pondok pesantren yang
mengajarkan ilmu-ilmu Islam lainnya. Setelah bertanya kesana kemari, aku
disarankan untuk mondok di sebuah pesantren terkenal di sana. Kupikir, tidak
ada salahnya bila aku belajar di pondok tersebut. Toh, banyak juga santri dari
daerah lain yang juga punya tujuan yang sama denganku. Masalahnya, pondok
pesantren tersebut tidak mengkhususkan diri dalam hafalan al-Qur’an. Ia tak
ubahnya seperti pesantren lain yang bergaya salaf mengajarkan kitab
kuning. Kitab Kuning adalah sebutan untuk
kitab-kitab berbahasa Arab yang tidak berharokat.
Disanalah aku berlabuh. Meski di pesantren tersebut
tidak ada hafalan al-Qur’an, aku tidak terlalu kecewa, karena aku mendapat
gantinya. Cita-citaku menjadi ‘orang sakti’ dapat kembali terasah. Lelakon
puasa atau wiridan-wiridan tertentu kembali menjadi menu harianku.
Untuk menjadi orang yang ‘sakti’ aku mengamalkan Hizb Nashr yang diawali dengan puasa tujuh hari. Hari pertama,
berbuka dengan tujuh suap nasi. Hari kedua, dengan enam suap, begitu seterusnya
hingga hari ketujuh, aku tidak makan sama sekali. Berat memang. Tapi karena
tekad yang membaja, semua hambatan ltu seakan tidak ada artinya. Bersamaan
dengan puasa itu, aku juga harus wiridan ayat dan doa-doa tertentu setiap
selesai shalat. Nah, saat mewirid Hizb
Nashr itu ada keanehan.
Dari hidung, mata dan pori-poriku keiuar darah. Tapi
anehnya, aku tidak merasakan sakit. Menurut penjelasan yang kudengar, katanya,
darah itu keluar sebagai akibat dari suhu panas dalam badanku yang meningkat
saat merapal wirid Hizb Nashr. “Kamu tidak usah khawatir.
Itu tidak berbahaya. Kalau ingin menghentikannya, bacalah al-Qur’an, maka darah
akan terhenti dengan sendirinya.” kata guru memberi wejangan sebelum aku
memulai lelakon Hizb Nashr.
Aneh memang. Darah tidak lagi keluar dari hidung, mata
dan pori-pori begitu kubacakan al-Qur’an. Entahlah mengapa hal itu bisa
terjadi. Waktu itu aku tidak begitu mempedulikan. Aku hanya ingin menguasai
Hizb Nashr, tanpa banyak mempertanyakan keanehannya.
Hizb Nashr hanya sebagian dari ilmu kesaktian yang kupelajari. Terkadang, aku harus
memasang telinga lebar-lebar di mana ada guru yang sakti di Banten. Bila sudah,
dapat ke sanalah aku berguru.
Untuk menguasai sebuah ilmu aku pernah wiridan
sebanyak dua juta kali. Jumlah yang sangat besar memang. Untuk
menyelesaikannya, aku tidak keluar kamar selama empat puluh hari. Mencuci pakaian saja, aku
tidak sempat. Aku meminta tolong pada salah seorang temanku. Keluar kamar pun
hanya sesekali. itu pun hanya untuk berwudhu. Selebihnya aku duduk bersila diri
di kamar dengan terus wiridan.
Orang kampung yang lama tidak melihat kehadiranku di
tengah-tengah mereka penasaran. Mereka hanya mendengar kabar dari teman-teman
bahwa aku sedang lelakon di kamar. Mereka semakin penasaran. Kok lama sekali,
kata mereka. Aku memang akrab dengan warga sekitar. Tidaklah mengherankan bila
mereka penasaran. Mereka ingin rnasuk, tapi tidak kutanggapi. Pintu tetap
kukunci rapat. Akhirnya mereka menjebol jendela kamar. Begitu jendela kamar
terbuka mereka langsung lari terbirit-birit. Padahal aku hanva melihat sekilas
ke arah mereka. Katanya, mereka melihat seekor macan yang hendak menerkam.
Sementara dari wajahku terpancar cahaya yang menyilaukan.
Selama wiridan, aku merasakan ada cahaya yang
senantiasa menerangi kamar. Siang dan malam, cahaya itu tak pernah redup.
Cahaya itu berasal dari sumber yang berbeda-beda. Terkadang, ada cahaya yang
berasal dari sinar lampu. Sering kali cahaya iru berganti seperti cahaya bulan.
Pada saat yang lain berganti dengan cahaya matahari. Tepat di atas kepala.
Wajar memang bila ada yang membuka jendela kemudian terkejut.
Selain itu, aku juga sering didatangi orang. Ada yang
mengaku guruku. Ada pula yang mengaku sultan Hasanudin atau seoranq cewek
setengah badan. Mereka mengajakku dialog, tapi tak pernah kuhiraukan. Kubiarkan
mereka bicara semaunya, hanya kutatap sepintas sebelum akhirnya aku larut dalam
wiridan. Bagi orang yang terbiasa lelakon seperti diriku, pemandangan seperti
itu bukan barang baru Itu sudah lumrah.
Setelalah menyelesaikan wiridan dua juta selama empat
puluh hari, dilanjutkan lagi dengan puasa seiama 49 hari. (Yang sedang
kupelajari itu adalah ilmu taisir
maghrobi dan saiful maslul).
Menjadi Dukun
Sejak di Pesantren
Lima tahun setengah aku mondok di Banten. Dalam
rentang waktu itu banyak ilmu kesaktian yang kukuasai. Ilmu kebal, halimunan
(menghilang dari pandangan orang), tenaga dalam maupun ilmur pelet. Khusus
untuk ilmu halimunan, sejatinya orangnya tidaklah hilang. Hanya saja, ia tidak
nampak di mata orang lain. Seakan ada pembatas transparan yang menutup
pandangan mereka. Meski demikian, ilmu halimunan ada pantangannya. Ia tidak
boleh dipakai untuk mencuri. Kalau pantangan tersebut dilanggar, maka ilmu
halimunan akan hilang.
Dari berbagai ilmu kesaktian itulah aku bertahan hidup
di pesantren. Terus terang, aku tidak pernah meminta kiriman uang dari orang
tua di kampung. Sementara kebutuhanku terbilang besar. Kalau sekadar untuk
makan, memang tidak seberapa. Tapi pengeluaranku terbanyak adalah untuk belajar
ilmu kesaktian.
Untuk menguasai satu jenis ilmu saja dibutuhkan uang
yang tidak sedikit. Aku harus membayar mahar yang kadang berupa emas sampai
seratus gram. Semakin besar mahar yang diberikan, maka keampuhan ilmunya makin
hebat. Hizb Nashr misalnya. Sebelum mulai berpuasa tujuh hari, aku harus
menyembelih seekor kerbau. Dagingnya memang dimakan ramai-ramai. Tapi tetap
saja, aku harus menyediakannya. Bila belum tersedia kerbau, tentu aku tidak
bisa mempelajarinya.
Lalu dari manakah aku dapatkan uang? Bagi orang
sepertiku, untuk mendapatkanuang tidaklah terlalu sulit. Terlebih aku sudah
dikenal sebagai ‘orang sakti’ sejak merantau ke Banten. Entah bagaimana
ceritanya, ada saja orang yang datang kepadaku. Macam-macam alasanya.
Ada yang ingin diisi tenaga dalam. Ada pula yang ingin
belajar ilmu kesaktian atau juga minta dibantu agar cepat dapat jodoh. Dari
merekalah aku bertahan. Enaknya mondok di Banten itu satu orang menempati satu
kamar. Jadi aku tidak perlu khawatir bila tamu-tamuku mengganggu orang lain.
Ada yang datang dari Lampung, Jakarta atau Banten dan
sekitarnya. Tidak jarang pula ada yang mengundangku ke rumahnya. Aku sendiri
tidak tahu awalnya, bagaimana mereka tahu bahwa aku bisa mengobati.
Setelah lima tahun setengah di Banten, aku kemudian
merambah ke pesantren-pesantren di sekitar Banten. Ke Cianjur, Bandung, Garut
maupun pesantren lainnya. Aku pernah pindah ke sebuah pesantren di Cianjur,
Jawa Barat hanya dengan pakaian yang melekat di badan. Uanq pun hanya cukup
untuk bekal perjalanan. Selebih-nya, tidak tahu. Tapi aku yakin bahwa Allah itu
Maha Kaya.
Waktu menamatkan shahih Bukhari di Bandung pun begitu.
Kok, tiba-tiba ada yang datang. Ia minta diajari ilmu kesaktian. Orang tahu
saja, kalau aku punya ilmu. Padahal aku tidak bilang apa-apa kepada teman-teman
baruku. Dengan modal begitu, aku berkelana dari pesantren ke pesantren lain.
Kadang, sampai kelelahan mengobati pasien.
Terkadang, ada kiai yang berguru kepadaku. Waktu itu,
aku mondok di pesantren yang mengajar kitab fiqh. Kiai yang juga guruku itu pun
datang ke kamarku. Ia minta dikasih ilmu kesaktian. Awalnya, aku menolak. Aku
merasa tidak enak. Tapi kiai sedikit memaksa. “Mas,” katanya. Kiai memanggilku
dengan panggilan Mas. “Mas, kalau tahu dari dulu. Aa belajar sama Mas,”
katanya. Kutolak dengan halus, tapi kiai tetap memaksa. Akhirnya aku ajarkan
ilmu kesaktian dan pengobatan. Lengkap dengan wirid dan cara puasanya.
Perjalanan
Menuju Taubat
Tahun 2003, aku berpindah lagi ke sebuah pesantren di
Tangerang, Jawa Barat. Tepatnva di pondok Tahfidzul Qur’an. Setelah sepuluh
tahun berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain, barulah aku bertemu
dengan pesantren tahfidz.
Aku diingatkan kembali dengan tujuan awal merantau ke
Banten. Tak lain, adalah ingin menghafal al-Qur’an. Ternyata selama sepuluh
tahun itu, aku belum bertemu dengan pesantren yang tepat. Di sana aku tidak
bertahan lama. Karena tidak ada teman seusiaku yang juga menghafal al-Qur’an.
Kebetulan, saat itu ada seorang teman menunjukkan sebuah lembaga tahfidz di
Jakarta yang pesertanya bukan lagi anak-anak. Rata-rata mereka sudah lulus SMA.
Kuputuskan untuk bergabung bersama mereka. Nah, di
lembaga tahfidz tersebut, wawasanku tentang keislaman mulai terbuka. Aku mulai
banyak membaca sirah nabawiyah atau buku-buku lain yang mengupas keghaiban.
Hatiku tergugah, ketika aku merenungkan firrnan Allah
SWT. dalam surat al-Jin
ayat enam. Kubaca berulang-ulang. Kuresapi artinya secara mendalam.
Hingga akhirnya aku menarik kesimpuian bahwa apa yang kupelajari
selama ini ternyata menyimpang dari tuntunan. Ayat
keenam dari surat al-Jin mengatakan bahwa ada beberapa orang manusia yang
meminta bantuan kepada jin, dan itu hanya menimbulkan penderitaan semata.
Padahal ilmu kesaktian yang kupelajari selama sepuluh
tahun itu tidak terlepas dari bantuan jin, Misalnya ketika wiridan dua juta
itu, aku menggunakan apel jin atau kemenyan yang dibakar. Kutaruh apel jin
didepan tempat duduk. Lain kali, aku juga menggunakan hio seperti yang
digunakan orang Cina. Aku membaca wiridan dengan kemenyan mengebul. Selain itu,
aku baru menyadari bahwa ada sebagian doa yang kubaca adalah doa permintaan
bantuan kepada jin. Meski lafadznya berbahasa Arab. Tapi tetap saja doa itu
terlarang.
Sejak itu, aku menghentikan wiridan-wiridan yang biasa
kubaca setiap saat. Kuganti dengan ayat-ayat al-Qur’an, yang menyejukkan jiwa.
Selama mempelajari ilmu kesaktian hingga saat menghafal al-Qur’an aku memang
tidak merasakan adanya gangguan secara fisik maupun psikis. Tapi hal itu hukan
berarti dalam diriku tidak ada jinnya. Aku memiliki sekian banyak jin sebagai
hasil dari wiridan dan puasa yang kulakukan. Jin-jin tersebut yang membantuku
dalam pengobatan.
Aku yakin, ketika ilmu Kesaktian tidak lagi kuasah
dengan membaca wiridan-wiridannya, maka ilmu tersebut secara pertahan akan
menghilang. Seperti pisau yang tidak pernah diasah, maka pisau tersebut makin
lama makin tumpul. Untuk itu, aku senantiasa melakukan penjagaan diri dengan
membaca doa-doa perlindungan maupun mendengarkan kaset ruqyah terbitan Ghoib.
Tidak lupa pula aku senantiasa melakukan ruqyah mandiri dengan ayat-ayat al-Qur’an yang telah kuhafal.
Alhamdulillah, setelah tiga tahun di lembaga tahfidz,
aku berhasil menyelesaikan setoran hafalan. Kini, tinggal bagaimana aku bisa
membagi waktu agar hafalan al-Qur’an tidak menguap begitu saja. Praktek
perdukunan itu telah kutinggalkan di belakang. Kini, jika ada pasien yang
datang berobat, aku tidak lagi menggunakan ilmu-ilmu kesaktian yang
pernah kupelajari selama sepuluh tahun. Tapi justru aku meruqyahnya dengan
ayat-ayat al-Qur’an maupun hadist yang shahih.
Dalam beberapa kesempatan aku juga diundang mengisi
kajian membongkar kesesatan ilmu kesaktian yang selama ini sebagiannya
diajarkan di pesantren.
( Sumber : Ghoib ruqyah )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar