Panggil Saya…..”HAJI MANSYUR”
Oleh : pak
Agus Balung
Untuk kesekian kalinya saya mendapatkan ilham sebagai bahan tulisan buat artikel saya dari tamu
yang datang untuk konsultasi ke tempat saya. Hari itu tamu saya datang dari
Pamekasan, Madura. Sebenarnya keluhan beliau cuma stroke ringan dan selalu
pusing. Ditengah tengah kosultasi, beliau berceloteh, bagaimana kalau saya
ganti nama saja, biar sehat, gak sakit-sakitan, begitu kata beliau. Beliau berkata
demikian, karena terinspirasi saat
nonton acara metafisika di salah satu stasiun televisi, nara sumbernya
mengatakan bahwa dengan mengganti nama, dapat mengubah nasib sial menjadi
bernasib baik. Saya gak jawab, diam saja. Tapi rekan kerja saya bilang, : “Bisa saja, contohnya setiap selesai ibadah
haji, selalu diganti namanya.”
Jawaban rekan kerja saya itu membuat
saya penasaran. Lalu saya teringat peristiwa yang terjadi seminggu yang lalu.
Saat itu saya shalat maghrib di Masjid jami’ Ubi 8. Saya bertemu dengan seorang
kawan yang berasal dari tetangga desa, Bangsalsari, yang sudah saya kenal
sebelumnya, tetapi belum tau namanya.
Karena merasa sama sama berasal dari Jember, maka saya cepat sekali
merasa akrab, profesi kawan baru saya itu penarik becak. Nah, begitu kami bertemu
lagi dimasjid untuk sama sama shalat maghrib, dia dengan rasa percaya diri yang
tinggi mengulurkan tangannya, menjabat tangan saya dengan erat, sambil
mengenalkan diri : “Haji Mansyur”. Saya
agak terperangah mendengarnya, sampai
saya lupa menyebutkan nama saya.
Suatu peristiwa yang mungkin sangat
sederhana, bisa terjadi pada siapa saja, dan kapan saja. Tetapi tidak bagi
saya. Bagi saya, itu lebih cenderung sebagai proklamasi diri dari teman saya
itu, bahwa dia adalah seorang haji, walaupun dia seorang penarik becak. Rupanya teman saya itu butuh pengakuan dari
teman-temannya, terlebih lebih teman yang baru, seperti saya ini, bahwa dirinya
sudah haji, dan menurutnya saya harus tau itu.
Fragmen sebabak diatas memaksa saya
untuk buka buka literature tentang : “Perlukah
kita ganti nama setelah menunaikan ibadah haji”
Di antara kebiasaan jama’ah haji Indonesia sepulang
dari menunaikan ibadah haji adalah mengganti nama yang menurut mereka lebih
Islami. Selain itu, setelah pulang ke kampung halamannya mereka langsung mendapatkan gelar “Haji/Hajjah” di depan namanya.
Lalu
bagaimanakah yang sesungguhnya Islam memandang itu ?
Untuk
menjawab itu, mari kita simak fatwa dari Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah
Wal Ifta’ ketika diajukan pertanyaan : Apa hukum mengganti nama
sepulang dari haji sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan jama’ah haji
Indonesia? Mereka mengganti nama-nama mereka ketika di Makkah Al-Mukarramah
atau di Madinah Al-Munawwarah, apakah amalan seperti ini sunnah atau bukan?
Al-Lajnah
Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta’ memberikan fatwanya
sebagai berikut :
Dahulu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
mengganti nama-nama yang buruk dengan nama-nama yang baik. Nah, Jika
penggantian nama yang dilakukan oleh jama’ah haji Indonesia itu karena faktor
tersebut (mencontoh seperti yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam),
maka ini boleh,
Jadi bukan karena yang lain, misalnya karena
selesainya mereka dari ibadah haji ataupun ziarah ke masjid Nabawi untuk shalat
di dalamnya.
Adapun jika mereka mengganti nama-nama mereka itu
disebabkan karena mereka sedang di Makkah atau Madinah, atau karena selesai
dari melaksanakan ibadah haji misalnya, maka ini termasuk bid’ah, bukan sunnah.
Nah, selain itu, di Indonesia biasanya orang yang
sudah pernah melakukan ibadah haji, setelah pulang ke kampung halamannya
langsung mendapatkan gelar “Haji/Hajjah”
di depan namanya. Bagaimana sebenarnya hukum menggunakan gelar “Haji/Hajjah”
dalam islam?
Untuk yang satu ini, mari kita simak penjelasan
beikut ini.
Menurut Fatwa
Asy Syaikh Shalih As Suhaimi hafizhahullah
Begini fatwa beliau : gelar Haji/Hajjah
yang dipasang didepan namanya adalah perkara yang berbahaya sekali, sebagian
menggantungkan tanda di rumahnya, dengan harapan agar ia dipanggil “Haji Fulan”. Tidak diragukan lagi, bahwa perbuatan seperti
ini tidak boleh, dan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada perbuatan
riya’.
Para
shahabat yang berjumlah 120.000 orang, mereka juga telah menunaikan haji,
tetapi tidak seorang pun dari mereka yang menggunakan gelar “Haji/Hajjah”.
Penting
bagi kita untuk mengetahui, bahwa pada
dasarnya amalan yang diharapkan padanya pahala di sisi Allah, adalah amalan
yang dilakukan seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah, itu harus
disembunyikan. Tidak mengandung harapan untuk dipuji atau disanjung dan yang
semisalnya, agar mendapatkan pahala di sisi Allah.
Maka,
jika seseorang yang pergi haji kemudian ingin
dipanggil “Haji/Hajjah”, yang
jelas dan telah dimaklumi bahwa panggilan “Haji” di sini mengandung pujian.
Apalagi kalau sampai dia sudah pergi haji dan tidak mau dipanggil kecuali
dengan sebutan “Pak Haji”.
Dikhawatirkan
gugur amalannya, tiada pahala di sisi Allah.
Kemudian,
selain hal tersebut, haji itu kalah
utama dibandingkan shalat, shalat jauh lebih utama dibandingkan haji. Zakat
jauh lebih utama dibandingkan haji, puasa lebih utama dibandingkan haji. Toh, Shalat
tidak pernah digunakan sebagai gelar didepan nama orang yang ahli shalat,
begitu juga dengan zakat, zakat tidak pernah digunakan sebagai gelar, didepan
nama orang yang gemar mengeluarkan zakat.
Wallahu a’lam
bisshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar