Oleh
: pak Agus Balung
Kisah ini yang saya kutip dari 30
kisah keajaiban sedekah yang saya copy paste dari blognya mas Didik Sugiarto.
Sebuah kisah yang didapat dari milis alumni Jerman, atau warga Indonesia yang
bermukim atau pernah bermukim di sana. Kisah ini layak untuk dibaca beberapa
menit, dan untuk direnungkan seumur
hidup. Insya Allah
Begini kisahnya :
Saya adalah ibu dari tiga orang anak
dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil
adalah Sosiologi. Sang dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya
harapkan setiap orang memilikinya.
Tugas terakhir yang diberikan ke
para siswanya diberi nama “Smiling”. Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar
dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan
mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu, setiap siswa diminta untuk
mempresentasikan di depan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah
bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir, tugas ini
sangatlah mudah. Setelah menerima tugas tersebut, saya bergegas menemui suami
saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi
ke restoran Mcdonald’s yang berada disekitar kampus.
Pagi itu udaranya sangat dingin dan
kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta
agar dia saja yang menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih
kosong. Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak
setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula
antri dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian. Suatu perasaan panic
menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada
menyingkir? Saat berbalik itulah saya membaui suatu “bau badan kotor” yang
cukup menyengat, ternyata tepat dibelakang saya berdiri dua orang lelaki
tunawisma yang sangat dekil. Saya
bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.
Ketika saya menunduk, tanpa sengaja
mata saya menatap laki laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan
saya, dan ia sedang “tersenyum” ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot
matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih saying. Ia menatap kearah saya,
seolah ia meminta agar saya dapat menerima’ kehadirannya’ ditempat itu. Ia
menyapa, “ Good Day! “ sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa
koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan
saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya ‘tugas’ yang diberikan
oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan tanganya dengan gerakan aneh
berdiri dibelakang temannya.
Saya segera menyadari bahwa lelaki
kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah
“penolong” nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata
dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka, dan kami bertiga tiba
tiba saja sudah sampai di depan counter. Ketika wanita muda di counter
menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki
ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan “kopi saja, satu
cangkir, Nona.” Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu
dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan di restoran disini, jika ingin duduk
didalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu).
Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.
Tiba tiba saja saya diserang oleh
rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat. Mata saya mengikuti
langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu tamu lainnya,
yang hampir semuanya sedang mengamati mereka. Pada saat bersamaan, saya baru
menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri
saya, dan pasti juga melihat ‘ tindakan’ saya. Saya baru tersadar setelah
petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang
ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi
(diluar pesanan saya) dalam nampan terpisah.
Setelah membayar semua pesanan, saya
minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan
pesanan saya ke meja tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa
nampan lainnya berjalan melingkari sudut kea rah meja yang telah dipilih kedua
lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu diatas
mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas penggung telapak dingin lelaki
bermata biru itu, sambil saya berucap, “ Makanan ini telah saya pesan untuk
kalian berdua.” Kembali mata biru itu menatap dalam kearah saya, kini mata itu
mulai basah berkaca kaca. Ia hanya mampu berkata, “ Terima kasih banyak,
Nyonya.”
Saya mencoba tetap menguasai diri
saya. Sambil menepuk bahunya saya berkata,” Sesungguhnya bukan saya yang
melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah
membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada
kalian.” Mendengar ucapan saya, Si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan
memeluk lelaki kedua sambil terisak isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh
kedua lelaki itu. Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan
meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh
dari tempat duduk mereka.
Ketika saya duduk, suami saya
mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata, “ Sekarang saya
tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk
memberikan ‘keteduhan’ bagi diriku dan anak anakku!”
Kami saling berpegangan tangan
beberapa saat dan saat itu kami benar benar bersyukur dan menyadari bahwa hanya
kerena bisikan-Nya-lah kami telah mampu memanfaatkan kesempatan untuk dapat
berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang membutuhkan. Ketika kami sedang
menyatap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul
oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu per satu menghampiri meja kami, untuk
sekedar ingin berjabat tangan dengan kami.
Salah satu di antaranya, seorang
bapak, memegangi tangan saya, dan berucap,” Tanganmu ini telah memberikan
pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya
diberi kesempatan oleh-Nya, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan
tadi kepada kami.” Saya hanya bisa berucap terima kasih sambil tersenyum.
Sebelum beranjak meninggalkan
restoran saya sempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki itu, dan seolah ada
magnet yang menghubungkan batin kami, mereka langsung menoleh kearah kami
sambil tersenyum, lalu melambai-lambaikan tangannya kearah kami.
Dalam perjalan pulang saya
merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma
tadi. Itu benar benar tindakan yang tidak pernah terpikirkan oleh saya.
Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa kasih sayang Allah itu sangat
hangat dan indah sekali. Saya kembali ke
kampus, pada hari terakhir kuliah dengan cerita ini di tangan saya. Saya
menyerahkan paper saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai
kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan
berkata, “ bolehkan saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?” dengan
senang hati saya mengiyakan.
Ketika akan memulai kuliahnya ia
meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca.
Para siswa pun mendengarkan dengan saksama cerita sang dosen, dan ruangan
kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki dosen dalam membawakan
ceritanya, membuat para siswa yang hadir diruang kuliah itu seolah ikut melihat
bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk
dideretan belakang di dekat saya diantaranya datang memeluk saya untuk
mengungkapkan perasaan harunya.
Diakhir pembacaan paper tersebut,
sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang
saya tulis di akhir paper saya.” Tersenyumlah dengan ‘hatimu’, dan kau akan
mengetahui betapa dahsyat dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu.”
Dengan cara-Nya sendiri, Allah telah
‘menggunakan’ diri saya untuk menyentuh orang orang yang ada di Mcdonald’s,
suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam
terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan satu pelajaran terbesar yang
tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu “penerimaan tanpa
syarat”.
Banyak cerita tentang kasih sayang
yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja
yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil
pelajaran bagaimana cara mencintai sesama dengan memanfaatkan sedikit harta
benda yang kita miliki, dan bukannya mencintai harta benda yang bukan milik kita,
dengan memanfaatkan sesama.
Orang bijak mengatakan, “ Banyak
orang yang datang dan pergi dari kehidupanmu, tetapi hanya ‘sahabat yang bijak’
yang akan meninggalkan jejak di dalam hatimu. Untuk berinteraksi dengan dirimu,
gunakan nalarmu. Tetapi untuk berinteraksi dengan orang lain, gunakan hatimu. Orang yang kehilangan uang, akan kehilangan
banyak, orang yang kehilangan teman, akan kehilangan lebih banyak lagi. Tapi orang yang kehilangan keyakinan, akan
kehilangan semuanya. Allah menjamin
akan memberikan kepada setiap hewan makanan bagi mereka, tetapi Dia tidak
melemparkan makanan itu ke dalam sarang mereka, hewan itu tetap harus
berikhtiar untuk bisa mendapatkannya.
Orang orang muda yang ‘cantik’
adalah hasil kerja alam, tetapi orang orangtua yang ‘ cantik’ adalah hasil
karya seni. Belajarlah dari pengalaman mereka, karena engkau tidak dapat hidup
cukup lama untuk bisa mendapatkan semua itu dari pengalaman dirimu sendiri.
Semoga bermanfaat bagi kita,
anda dan saya. Insya Allah, amin.
3 komentar:
Masya Allah, betapa dahsyatnya ya efek dari sebuah senyuman. Tapi aneh juga ya, banyak orang yang nasih enggan utk "senyum", katanya sih, utk jaga wibawa, wah, wah....
Bukan main, sip.....pak
Jaman sekarang senyum tu mahal banget, "Jaim" katanya, image harus dijaga, gk diobral, makanya gak smbarang kluarin senyuman
Posting Komentar