Oleh : pak Agus Balung
Pernah seorang teman menceritakan pengalamannya pada
saya. Dikarenakan berbagai masalah yang
mendera dirinya, maka dia mendatangai seorang kyai kecil didesanya,
disampaikannya semua persoalan yang menimpanya,
memang pada umumnya di masyarakat kita, orang yang berpredikat sebagai ulama
atau kyai, atau mereka yang dinobatkan masyarakat sebagai ulama/kyai, maka disamping
sebagai tempat tumpuan bertanya dan nasehat segala sesuatu tentang agama, mereka sekaligus berperan sebagai psikolog kampung
dimasyarakat sekitar, sosok konsultan informal yang diharapkan dapat memberikan
solusi dari berbagai masalah di masyarakat. Dan
yang diceritakannya pada saya kali ini,
adalah kedatanganya yang kesekian kalinya ke kyai itu. Begini ceritanya.
Teman saya datang ke kyai tersebut jam 8 malam, eh, sampai
jam 12 tengah malam belum juga dipanggil menghadap. Boro boro diajak bicara,
diajak mendekatpun tidak. Memang awal datang sih dia diajak bicara, tapi
bicaranya kethus banget. “Koq datang lagi ?”
Teman sayapun menjawab : “Ya, kyai, sebab masalahnya belum
selesai”
“Ya, sudah, tunggu sana” katanya, sambil menunjuk satu sudut
teras majelisnya.
Dengan sikap patuh, teman saya itupun pergi kesudut yang
ditunjuk oleh kyai tersebut, dan dengan sabar menunggu giliran untuk
mendapatkan pencerahan atas dirinya yang sedang galau. Tak urung terselip juga rasa gatel di hati ketika dia melirik jam
tangannya. Amboi, sudah empat jam dia menunggu tanpa kepastian yang jelas. Maka dengan memberanikan diri, teman saya
menghadap kyai tanpa dipanggil terlebih dulu, saat itu dia melihat tamunya
tinggal beberapa orang lagi.
“Maaf kyai, sudah jam 12 malam, kapan giliran saya untuk
diberi kesempatan berbicara pada kyai ?”
Eh, ternyata dugaan teman tadi salah, walau tamu tinggal
sedikit saja, tapi jawaban kyai tetap saja membuat hati gak enak.
“Yang nyuruh kamu datang kesini, siapa ?”
“Gak ada kyai, saya datang sendiri”
“Ya sudah, tunggu saja dulu disana” sambil tangannya menunjuk
tempat teman saya semula duduk menunggu.
Masya Allah, andai teman saya tadi tidak punya khusnudz dzon,
positif thinking, niscaya dia sudah amat kesal bukan kepalang. Pasti akan
keluar kata kata pada kyai, tidak menghargai tamu, tapi ya itu lah, teman saya
menerima apa kata guru, dan dia memilih menerima dengan lapang dada perlakuan
guru terhadapnya saat itu.
Kira kira jam 1 dini hari, menjelang jam 2, teman saya baru
dipanggilnya. Kemudian beliau bertanya.
“Tau IBM gak ?”
Walaupun teman saya itu tau apa itu IBM, karena memang
pengetahuan informatikanya lumayan juga,
namun ternyata dia bingung juga. Apa hubungannya masalah saya dengan IBM
segala, tentu saja dalam hati. Dia gak berani bertanya langsung, dan teman sayapun menjawab : “ya, tau kyai”
“Nah, IBM itu punya
VPN, Virtual Private Network, jaringan jalur khusus. Ntar kamu saya
kasih VPN yang bisa jadi jalur khusus kamu berdoa pada Allah. Insya Allah
hutang kamu yang segede bukit, kempes deh.”
Kejadian ini terjadi sekitar tahun 2008, kata teman saya, dan
ternyata kyai kita yang satu ini paham banget dan akrab dengan istilah
tekhnologi.
Saat itu dalam hati teman saya bersuka cita, terbersiat dalam
benaknya dia akan menerima sesuatu yang
luar biasa, sesuatu yang gimana gitu, sesuatu yang besar yang bakal instan yang
membuat masalah dia jadi beres. Ternyata dugaan teman saya sepenuhnya tidak
benar. Malah dahinya sempat berkernyit dan ketawa kecil.
Pak Kyai masuk kedalam, sesaat kemudian beliau keluar lagi
sambil membawa dua buah penthol korek api. Penthoi korek api
tersbut dilempar kearah teman saya, seraya berkata :
“Nih, VPN buat kamu, gunakan yang bener, kinsya Allah
masalahnya beres, udah pulang sana.”
Ngasihnya keteman saya benar benar dengan dilempar, sebab
teman saya lagi bersila, sedang pak kyai berdiri. Dan teman sayapun pulang.
Bayangkan, kurang lebih menunggu selama 6 jam, dari sore
sampai dini hari, hasilnya cuma dua buah
penthol korek api itu saja, gak ada yang lain. Tak ada saran,
nasehat, apa lagi ilmu, tidak ada.
Dalam hati teman saya menggerutu, itu pasti. Tapi diapun berpikir, pasti ini ada maksud
yang terkandung didalamnya. Belajarnya kudu sedikit demi sedikit. Tapi apa maksudnya. Pelan pelan teman saya mikir.
Akhirnya dia mampu mengkaitkan dengan kalimat yang pak kyai ucapkan.
“Nah, IBM itu punya VPN, Virtual Private Network, jaringan
jalur khusus. Ntar saya kasih kamu VPN yang bisa jadi jalur khusus kamu berdoa
pada Allah. Insya Allah semua hutang kamu segede bukit akan kempes, deh.”
Atas ijin Allah, teman saya mampu mengkorelasikan dua buah penthol
korek api yang nyaris tanpa kata kata itu dengan kalimta singkat kyai.
Rupnya kita disuruh bangun malam. Jangan banyakin tidur. Sebuah penthol korek api dipakai buat
ngeganjel mata yang kanan, dan penthol
korek api yang satunya lagi dipakai buat ngeganjel mata yang kiri. Agar supaya
gak kebanyakan tidur. Masya Allah.
Bukankah Rasulullah menginformasikan pada kita, disaat orang
lain terlelap dibalik kehatangan selimut, sementara kita dianjurkan untuk bangun, mengambil air
wudhu, menghamparkan sajadah, lalu shalattul lail, berdzikir, dan berdoa pada
Allah, maka doa itu tanpa hijab langsung didengar Allah, tanpa hijab.
Satu hal yang bisa kita ambil hikmahnya dari pengalaman teman
tadi adalah, kita harus bersabar. Belajar itu harus sabar, mencari ilmu harus bersabar. Brikhtiar itu juga harus
bersabar. Kita sama sama berdoa pada Allah, agar Allah benar benar memberikan
ilmu yang bermanfaat pada kita, manfaat di dunia dan manfaat juga di akherat.
Apa guna kita mendapatkan manfaat didunia, tapi diakherat akan celaka, na’udzu
billahi mindzlik.
Sesuatu yang sedikit yang diberiNya manfaat dan ada ridhoNya,
niscaya akan menjadi sesuatu yang betul betul pengaruh positif bagi kehidupan
kita. Insya Allah
Semoga yang sedikit dan sederhana ini bermanfaat bagi kita
semua. Amin.