TERNYATA BERSYAHADAT
SAJA BELUM CUKUP
Oleh
: pak Agus Balung
Memang, sebenarnya,
orang yang sudah bersyahadat, mengakui
bahwa Allah sebagai Tuhan, dan Muhammad sebagai Rasul, maka secara syariat orang
tersebut sudah bisa disebut sebagai orang Islam. Tetapi, para ulama berpendapat
bahwa keislaman semacam itu belum
dianggap cukup oleh Allah. Karena, masih bersifat seremonial dan formalitas
belaka. Berislam harus merasuk ke dalam jiwa, menjadi sebuah kepahaman dan
berujung pada keyakinan tak tergoyahkan, yaitu iman yang “haqqul yaqin” sebagaimana
yang telah kita bahas pada
tulisan sebelumnya di blog ini juga.
Keimanan adalah level paling dasar
dalam menjalani proses beragama. Orang beragama yang tidak beriman bisa
dimaknai sebagai belum beragama dalam arti yang sesungguhnya. Barangkali hanya
formalitas belaka, semisal hanya Islam KTP dan pakaiannya saja. Berislam dengan
cara demikian tentu bukanlah yang dimaksudkan oleh Al Qur’an Al Karim. Karena,
‘Islam’ itu bermakna proses berserah diri hanya kepada Allah Tuhan Semesta
Alam.
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah
beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi
katakanlah: "Kami telah tunduk", karena ” iman” itu “belum masuk” ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun amalanmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [QS. Al Hujuraat: 14]
Keimanan adalah sebuah pemahaman
yang utuh untuk menindak lanjuti syahadat yang sudah di ikrarkan. Ketika
keimanan itu sudah memasuki sanubari kita, apakah lantas sudah selesai proses
berislam kita? Ternyata belum. Berislam tak cukup hanya menjadi beriman.
Karena, keimanan ini hanya bersifat internal di dalam diri kita. Keimanan yang
kokoh harus diaplikasikan dalam perbuatan nyata, yang selaras dengan
nilai-nilainya keimanan itu. Tidaklah cukup, seseorang yang sudah meyakini
bahwa kejujuran itu baik, tetapi ia belum menerapkan kejujuran dalam hidupnya.
Belum cukup pula, seseorang yang sudah meyakini Allah itu ada, tetapi setiap
hari dia seperti tidak sedang bersama Allah.
Seseorang yang sudah mengimani
Kebesaran Allah, misalnya, dia tidak akan menjadi sombong dalam kesehariannya.
Cara bergaulnya ramah dan rendah hati. Karena, ia sudah memahami betapa kecil
dan kerdil dirinya dibandingkan Sang Maha Besar. Demikian pula orang yang sudah
mengimani bahwa Allah Maha Pemurah, dengan sendirinya ia akan menjadi seorang
yang dermawan kepada sesama, meniru sifat-sifat-Nya. Nilai-nilai keimanannya
teraplikasi dalam kehidupan nyata. Inilah yang disebut sebagai Takwa itu.
Jika keimanan bersifat internal
dalam jiwa sebagai kepahaman dan komitmen, maka ketakwaan bersifat eksternal
dalam bentuk perbuatan alias amal kebajikan. Karena itu, dalam ayat berikut ini
Allah mengajari agar keimanan kita dinaikkan kualitasnya menjadi ketakwaan.
Sebuah perjuangan untuk menerapkan nilai-nilai keimanan dalam kehidupan nyata,
yang diistilahkan sebagai haqqa
tuqaatihi, bertakwa
kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya.
‘’Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dengan takwa yang sebenar-benarnya kepada-Nya. Dan janganlah kamu mati,
melainkan dalam keadaan berserah diri (kepada Allah).’’ [QS. Ali Imran: 103].
Dan menariknya lagi, ketakwaan yang
sudah teraplikasi dalam amal perbuatan itu pun masih harus dilanjutkan lagi
menjadi sebuah pengakuan spiritual tentang dominasi Allah dalam segala lini
kehidupannya. Sehingga, ayat di atas masih mengimbau agar orang-orang bertakwa
menjadi orang yang berserah diri diistilahkan
sebagai muslimun.
Walaa tamuutunna illa wa antum muslimuun – janganlah kalian
mati kecuali sudah dalam keadaan berserah diri kepada Allah.
Begitulah memang tingkatan kualitas
seseorang dalam menjalani agama Islam. Dimulai dari komitmen yang bersifat
internal dalam jiwa, diaplikasikan dalam perbuatan nyata sebagai amal
kebajikan, dan berakhir dalam pengakuan yang sangat mendalam tentang dominasi
Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang menjadi pusat dari segala perjalanan
batinnya. Inilah puncak kualitas yang harus kita tuju, sebagaimana telah kita
ikrarkan dalam shalat-shalat shalat kita.
‘’Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku. Dan aku adalah orang yang
pertama-tama berserah diri (hanya kepada Allah)". [QS. Al An’aam: 162-163].
Wallahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar